Kau akan tahu sedang berada di dalam dunia industri ketika belum genap satu tahun, tepatnya 8 bulan lalu, kau begitu dielukan. Dipuja sedemikian rupa sebagai pembawa kejayaan. Tetapi sekarang, semua berubah. Perhatian yang dulu didapat kini berubah menjadi kekhawatiran.
Di dalam industrialisasi, yang pokok adalah efektivitas dan efisiensi, lebih dari itu hanyalah pemanis belaka. Dalam pabrik, misalnya, hari ini pekerjaan yang kau lakukan tidak sesuai dengan target, atau setidaknya tidak menyenangkan buat si mandor, maka tak peduli beberapa waktu lalu kau berhasil memenuhi atau bahkan melewati target, punishment tetap diberlakukan. Paling tidak kuping panas akibat omelan dari atasan.
Demikian pula yang terjadi dalam sepak bola. Antonio Conte adalah nama yang tengah berada di tepi jurang itu. Kekalahan demi kekalahan yang diderita Chelsea menjadi sebab kegundahannya. Ia dengan sekuat tenaga berusaha menenangkan diri di tengah terpaan media-media Inggris yang brutal.
Bayangkan saja, bagaimana reaksi Anda ketika ada segerombolan teman kerja yang sudah membuat taruhan tentang sosok yang akan menggantikan posisi Anda, padahal mereka tahu bahwa kursi tersebut belum berpindah orang?
Itu yang terjadi pada pelatih-pelatih di Inggris ketika tengah digosipkan akan dipecat. Mau tak mau kita mesti balik lagi menengok kredo ihwal efisiensi, bahwa kekosongan jabatan mestinya tak berlangsung terlalu lama, dan kalau boleh atau bahkan harus, hal semacam itu sudah ditentukan jauh-jauh hari.
Beberapa media Inggris belakangan membuat prediksi ihwal siapa yang bakal menjadi pengganti Antonio. Nama yang kemudian muncul dengan persentase paling tinggi adalah Luis Enrique, bekas pelatih Barcelona.
Kekalahan dalam empat laga secara beruntun memang seperti palu godam yang menghantam kepala pendukung Chelsea. Bahkan di tiga laga terakhir, kekalahan selalu identik dengan selisih tiga gol. Sebuah tanda bahwa lini belakang sedang porak-poranda.
Kekalahan atas Bournemouth menaikkan level didih pada setiap dada suporter Chelsea yang khusyuk. Seperti tak cukup dengan skor telak, Anda mesti disadarkan bahwa penyebab terjadinya bencana di Dean Court tampak belum diselesaikan. Dan benar saja, di laga selanjutnya, Tiemoue Bakayoko dengan begitu lincahnya piawai dalam membuat kesalahan.
Baca juga: Malfungsi Sistem dan Peran Tiemoue Bakayoko di Chelsea
Sebuah umpan spektakuler yang sedikit melengkung jatuh di kaki Troy Deeney membuat banyak mata yang menyaksikannya berubah menjadi tampang nanar. Belum lagi dengan aksi tackling dari belakang yang diniatkan mencuri bola justru menjadi petaka. Untuk urusan ini, Bakayoko mesti memaksa N’Golo Kante untuk memberikannya kelas khusus dalam urusan mengeksekusi blind spot guna mencuri bola dari kaki lawan ketika kita berada di balik punggung mereka.
Bakayoko adalah dosa terbesar Conte dalam beberapa pertandingan Chelsea. Tapi memberikannya sedikit waktu untuk mengembalikan performa The Blues rasanya bukan tindakan buruk. Toh, ia masih lebih baik dan terhormat ketimbang dengan yang terjadi pada musim 2015/2016 di bawah asuhan si cerewet dari Portugal.
Posisi empat rasanya bukanlah sebuah aib yang mesti cepat-cepat dihilangkan, mengingat ada pola yang seringkali menaungi Chelsea beberapa tahun terakhir. Tentang musim kedua yang tak pernah mudah, sepertinya ada semacam power syndrome yang menjangkiti skuat Chelsea setelah juara. Musim ini, Conte terlampau bebal untuk mengubah taktik. Beberapa komposisi yang seringkali diturunkan malah membawa bencana.
Dikutip dari Tifo Football yang menyatakan bahwa Conte memiliki nilai rata-rata kemenangan yang cukup baik, yakni 70,3%, sama seperti Pep Guardiola. Sedikit bersabar (dan ikhlas) mungkin bisa menenangkan. Klise sih, tapi mau bagaimana lagi. Memangnya tak bosan mengulang pola itu lagi?
Seseorang mesti membisiki telinga Roman Abramovich agar tahu bahwa kekacauan akhir-akhir ini bukan semata-mata ulah Conte. Sejak lama Conte mengeluh dengan skuat tipis Chelsea. Dengan padatnya jadwal, khususnya pada Desember lalu, tentu dengan bangku cadangan yang hanya diisi oleh pemain-pemain muda minim pengalaman, adalah tantangan tersendiri.
Mempertahankan Conte adalah keputusan yang sangat masuk akal. Biarlah sesekali Chelsea menghormati proses. Menikmati keterpurukan untuk nanti menjadi pelajaran di musim selanjutnya. Lagipula kita semua tahu bahwa perebutan gelar juara di Liga Inggris musim ini sudah hampir pasti menjadi milik Manchester City.
Di mata pendukung, Conte tak seperti pelatih The Blues sebelumnya. Kali ini suara-suara yang menentang pemecatan Conte ramai terdengar. Di hadapan petaka bernama Watford kemarin, ketika papan skor memperlihatkan kenahasan, terdengar sorak-sorai dari tribun tempat pendukung Chelsea berada, “Antonio… Antonio.. Antonio”.
Gemuruh teriakan itu mungkin adalah tanda sekaligus pernyataan: “Tak mengapa, Roman. Berilah waktu untuknya.”
#ConteStay
Author: Rizal Syam (@rizArt_)