Cerita

Mendidik Suporter Chelsea dengan Kampanye Melawan Anti-Semit

Di dunia Barat, khususnya Eropa, Holocaust menjadi isu yang mempunyai sensitivitas tinggi. Sejarah kelam tentang dibantainya jutaan manusia oleh Nazi menjadi alasan. Ia semacam isu 65’ di Indonesia. Namun seperti laiknya komunis di sini yang walaupun sudah dibantai tetap saja mendulang kebencian oleh masyarakat, begitu pun yang terjadi di Eropa sana.

Menjadi korban massal oleh Hitler tak membuat sentimen rasial terhadap bangsa Yahudi menjadi redam. Bentuk-bentuk tindakan rasis yang mengarah pada tindakan anti-semit banyak terjadi, termasuk dalam sepak bola.

Dengan alasan itulah klub yang bermarkas di Stamford Bridge, Chelsea, baru-baru ini menyatakan akan memulai kampanye melawan anti-semit. Kampanye ini sebenarnya sudah diumumkan sejak pertengahan Januari lalu, namun resminya baru dilakukan ketika laga melawan Bournemouth Kamis (1/2) dini hari kemarin.

Hal itu disampaikan oleh akun resmi Chelsea yang mengunggah sebuah video berisi para pemain Chelsea, baik senior, junior, serta ofisial tim yang tengah memegang sebuah badge bertuliskan “Say No To Anti-Semitism”.

Anti-semit sendiri adalah sebuah sikap permusuhan terhadap kaum Yahudi. Sikap prasangka ini bisa dalam bentuk cercaan atau bahkan penganiayaan secara fisik.

Kampanye tersebut rasanya lebih ditujukan kepada pendukung klub asal London Barat itu sendiri. Sebagaimana kita tahu, kelakuan suporter Chelsea memang kadang merepotkan. Mereka kerapkali melakukan tindakan rasis yang mendulang banyak kecaman. Pendukung Chelsea di Inggris memang dikenal sebagai suporter yang cukup rasis.

Seperti yang terjadi pada September tahun lalu, ketika itu Chelsea sedang melawat ke King Power Stadium, markas Leicester City. Alvaro Morata mencetak gol di menit ke 41, sesaat setelah itu terdengar nyanyian dari tribun penonton, tepatnya tribun di mana pendukung Chelsea berada. Mereka menyanyikan chant yang bersifat rasis terhadap kaun Yahudi. Chant tersebut sebenarnya sering ditujukan untuk rival sekota mereka, Totenham Hotspur, klub yang banyak mempunyai basis dukungan besar dari komunitas Yahudi di London.

Alhasil, manajemen Chelsea waktu itu mengecam tindakan rasis yang dilakukan pendukungnya. Kick It Out, sebuah lembaga anti rasisme pun turut mengkritik aksi tersebut.

Kelakuan pendukung Chelsea terhadap bangsa Yahudi ini seperti sebuah ironi. Betapa tidak, mereka seakan lupa bahwa Roman Abramovich, bos dari klub yang mereka dukung adalah seorang Yahudi. Bagaimana bisa Anda mencerca kaum Yahudi di klub tetangga sedangkan memuja klub yang dimiliki oleh pria berdarah Yahudi?

Maka bukan sesuatu yang mengagetkan jika kemudian Roman Abramovich mendukung penuh gagasan ihwal kampanye tersebut. Ia mungkin sering diprotes oleh kerabat Yahudi-nya menyangkut tindakan rasis pendukung Chelsea.

Roman adalah pebisnis berdarah Yahudi yang cukup dibanggakan oleh kaumnya. Laman Times of Israel pernah menerbitkan tulisan tentang kepopuleran Chelsea di Timur-Tengah dengan judul “’Jewish’ Chelsea is Mideast’s top team”.

Kampanye “Say No To Anti-Semitism” yang dibidani oleh Chelsea Foundation ini akan bekerja sama dengan beberapa lembaga anti-rasisme dan lembaga-lembaga Yahudi, seperti Holocaust Education Trust, Museum Yahudi, Kongres Yahudi, dan Anne Frank House.

Menajemen menyiapkan sebuah kegiatan yang diperuntukan bagi para pendukung dan staff untuk berkunjung ke bekas kamp tahanan Yahudi, dengan niat meningkatkan rasa empati terhadap korban Holocaust. Selain itu manajemen juga berencana mengadakan pemutaran Liga Terezin ­­­, sebuah film dokumenter yang bercerita tentang para tahanan Holocaust yang memainkan sepak bola di dalam penjara Nazi tahun 1942-1944.

Tak hanya itu, otoritas The Blues juga bakal mengundang Harry Spiro untuk berbagi kisah tentang dia dan keluarganya. Harry Spiro adalah penyintas Holocaust yang bernasib lebih baik ketimbang ribuan tawanan lainnya yang dibantai di kamp Theresienstadt semasa pemurnian ras Arya tengah gencarnya.

Inggris dan Rasisme

Kampanye Say No To Anti-Semitism adalah satu dari sekian banyak upaya dari pelaku sepak bola di Inggris untuk meredam tindakan rasisme. Sebuah laporan yang dipublis oleh ResearchGate berjudul “A Statistical study of racism in English football” menjlerentehkan bagaimana rasisme di sepak bola Inggris bisa menyelinap pelan.

Laporan tersebut secara rinci membandingkan statistik pertandingan yang diterima pemain beretnis mayoritas dengan mereka yang beretnis minoritas, juga bagaimana perlakuan wasit terhadap kedua pihak tersebut. Laporan ini secara khusus meneliti musim 2011/2012 Liga Inggris.

Hasilnya pemain yang beretnis minoritas cenderung mendapati hukuman yang lebih banyak, selain itu juga mereka (etnis minoritas) seperti memperoleh perlakuan yang berbeda dari pengadil lapangan.

Baru-baru ini manajemen West Ham United memberhentikan direktur rekrutmen akademi mereka, Tony Henry. Sebabnya adalah Tony dianggap bertindak rasis kepada pemain asal Afrika. Dalam sebuah wawancaranya, Tony dengan kesalnya mengatakan bahwa klub tidak menginginkan pemain Afrika karena dia menganggap mereka memiliki perilaku yang buruk serta menjadi penyebab kekacauan.

Rasisme seakan menjadi penyakit endemik dalam sepak bola Inggris. Walau begitu, upaya-upaya untuk terus menekannya tetap perlu dilakukan. Sebab syarat bermain sepak bola hanyalah berlari dan menendang, tak perlu ditambah dengan mempertanyakan warna kulit atau keyakinan.

Author: Rizal Syam (@rizArt_)