Saat itu di tengah paruh kedua, pertandingan mandek karena asap masuk ke lapangan dari mainan suporter yang sedang dinyalakan. Dirasa tidak kondusif, Match Commissioner meminta wasit menghentikan pertandingan. Pemain berjalan ke pinggir lapangan, menenteng lelah di antara ketidakpastian kapan laga akan dilanjutkan.
“Suporter dimohon tidak menyalakan smoke bomb. Kasihan para penggawa yang sudah meluangkan waktu dan mengerahkan tenaga untuk bermain,” ujar announcer Stadion Maguwoharjo melalui pengeras suara kala PSS Sleman menjamu Kuala Lumpur FA dalam ajang Coppa Sleman 2018.
Tak hanya sekali announcer mengucapkan imbauan tersebut. Beberapa orang masih mengipasi bom asap dengan syal. Beberapa yang lain mengangkat lagi flare yang baru saja dinyalakan. Laga tetap terhenti sementara.
Tak adil rasanya jika hanya membicarakan mereka. Pendukung tim lain yang telah melakukan hal serupa sebelumnya juga sama luputnya. Rasanya tak perlu juga meminta mereka mengucapkan alibinya. Alasannya akan selalu sama: kreativitas.
Akhir-akhir ini suar, bom asap, petasan dan semacamnya mudah sekali dijumpai di sudut-sudut teras stadion di Indonesia. Benda seharga 50 sampai 150 ribu rupiah itu seakan menjadi atribut wajib untuk mendukung tim pujaan.
Sebenarnya sudah ada peraturan dari FIFA, AFC, bahkan PSSI mengenai larangan terhadap benda-benda yang dikategorikan sebagai pyrotechnic, termasuk suar dan bom asap. Tapi apa boleh buat, suporter kita memang buta regulasi. Entah tidak mau tahu, entah tahu tetapi tidak mau mematuhi.
Menjabarkan regulasi pun sepertinya sudah tidak berguna. Toh, menurut sejarahnya, kelompok suporter memang ada kecenderungan untuk mengingkari aturan. Jangankan regulasi yang hanya berbentuk tulisan, polisi yang wujudnya ada sambil membawa pentungan dan gas air mata saja berani mereka hantam.
Suporter merasa regulasi membatasi kreativitas mereka, padahal sama sekali tidak. Sepak bola butuh suporter, butuh pendukung, butuh penikmat, mana mungkin aturan dibuat untuk membelenggu kreativitas mereka. Tujuan regulasi dibuat adalah melindungi pertandingan dari hal-hal yang mengganggu termasuk asap yang mengepul dari mainan penonton.
Suporter seringkali menggaungkan kalimat “without fans, football is nothing”. Buktinya Pelita Jaya berpindah-pindah kandang dari Jakarta, Solo, Cilegon, Purwakarta, Karawang, hingga Soreang untuk mencari animo.
Memang betul pertandingan sepak bola tanpa suporter memang tak berarti apa-apa. Suporter adalah salah satu penyokong tim, baik sebagai sumber dukungan maupun sumber dana. Namun menjadi keliru jika suporter menganggap diri mereka lebih besar dari pertandingan yang dilakoni tim itu sendiri.
Pada mulanya, tujuan menyalakan suar dan bom asap adalah untuk menunjukkan kreativitas dengan harapan pemain dapat merasakan dukungan yang besar dari pendukungnya. Namun seiring berjalannya waktu, agaknya bermain benda pyrotechnic ini perlahan menjadi sebuah kewajiban untuk menunjukkan identitas kelompok suporter. “Inilah kami, kelompok suporter yang menyalakan suar!”
Namun tanpa mereka sadari, apa terjadi adalah sebaliknya. Bukannya identitas yang terpampang, mereka justru sedang kehilangan identitas sebagai suporter. Mereka sedang melenceng dari hakikat “hanya” sebagai pendukung timnya.
Tak bisa didebat bahwa suporter hadir untuk mendukung tim kebanggaannya berlaga. Tanpa mengecilkan arti penting hadirnya suporter di tribun, suporter selalu terbentuk setelah tim pujaannya lahir terlebih dahulu. Ketika ada laga yang melibatkan tim tersebut, mereka datang memberikan dukungan.
Sebelas pemain berjibaku di lapangan, ribuan pendukung bernyanyi di atas teras. Punggawa meratapi kekalahan, suporter bersorak memberikan semangat tambahan. Segenap tim merayakan kemenangan, suporter melompat kegirangan. Suporter ada karena pertandingan ada. Itu suporter yang ideal.
Kalau suporter ada karena pertandingan ada, kemudian apakah patut jika mereka menyalakan suar, bom asap atau semacamnya yang pada akhirnya akan menghentikan jalannya laga? Jika pemain berhenti berlaga, mereka mau men-support siapa?
Suporter yang seperti itu sejatinya sedang kehilangan identitas sebagai pendukung. Mereka merasa sebagai tontonan utama melebihi sajian pertarungan 22 pemain di atas lapangan hijau, sampai-sampai dengan tudung kreativitas mereka menghalalkan segala tindakan yang dapat mengganggu jalannya laga.
Perasaan tersebut tentu merupakan sebuah kekeliruan. Karena dalam sepak bola tak pernah ada yang lebih penting dari pertandingan itu sendiri.
Author: Andhika Gilang (@AndhikaGila_ng)