Namanya pernah menjadi salah satu pengedor jala lawan yang paling efektif. Tak perlu peluang yang betul-betul matang, ia bisa memaksimalkannya menjadi gol yang cantik. Daniel Sturridge, begitu tenang di daerah berbahaya lawan. Ia melihat celah yang sempit, memindahkan bola ke kaki kiri, dan melepaskan sepakan mendatar. Begitu kalem Strurridge di depan gawang lawan.
Liverpool pernah memiliki salah satu trio paling berbahaya di Liga Primer Inggris. Tiga pemain tersebut adalah Luis Suarez, Raheem Sterling, dan Strurridge itu sendiri. Ketiganya menghadirkan perpaduan kreativitas, daya juang, ketajaman, dan cantiknya gol. Penampilan ketiganya sudah seperti ibadah misa di akhir minggu.
Yang disayangkan adalah The Reds tak bisa mempertahankan trio tersebut lebih lama. Ketajaman Suarez menjadi magnet bagi banyak klub besar sebelum akhirnya ia memilih Barcelona. Usia muda dan potensi yang besar, membuat Sterling dipinang Manchester City. Sturridge? Ia bertahan bersama Liverpool, klub yang membangkitkan kembali kariernya.
Mungkin Sturridge merasa berutang budi kepada Liverpool, mungkin tidak. Namun yang pasti, ia memilih bersetia setelah Liverpool “menyelamatkan” kariernya yang tak begitu berwarna ketika memperkuat Chelsea. Ia memenangi Liga Champions bersama The Blues. Namun Sturridge tak pernah menjadi “bagian penting” dari sejarah itu.
The Reds membelinya di waktu yang tepat, ketika Sturridge berada di usia emas. Liverpool memberinya skuat yang mendukung, memberinya kepercayaan untuk selalu bermain di setiap minggunya. Adalah Brendan Rodgers, yang justru mampu membuka kotak potensi Sturridge. Membuatnya menjadi salah stau finisher paling efektif di Inggris.
Liverpool berinvestasi dengan cantik. Dana transfer mencapai 13 juta paun tak terbuang sia-sia ketika Sturridge menyajikan salah satu penampilan penyerang yang sudah dirindukan Liverpool sejak “anak emas” mereka, El Nino, Fernando Torres, hengkang ke Chelsea. Sturridge, dengan harganya yang “murah”, menghadirkan barang yang lebih mewah ketimbang Andy Carroll yang berharga lebih mahal.
Datang di paruh musim 2012/2013, Sturridge langsung menggeber mesin golnya. Musim itu, dari 21 penampilan, pemain yang saat ini berusia 28 tahun, mencetak 11 gol dan lima asis. Musim berikutnya, ketika membela Liverpool untuk satu musim penuh pertamanya, rekening gol Sturridge mencapai 22, dengan catatan asis sejumlah sembilan.
Musim 2013/2014, boleh dikata, merupakan puncak performa Sturridge untuk Liverpool. Musim di mana Liverpool “hampir” menjadi juara. Sayangnya, sama seperti kisah-kisah karier pesepak bola brilian yang memudar, cedera datang tanpa diundang.
Musim 2014/2015, Sturridge sempat absen hingga 167 hari karena cedera pinggul, membuatnya melewatkan 16 pertandingan. Selain pinggul, hamstring Sturridge juga bermasalah. Absen hingga 71 hari, Sturridge tak bermain di 18 pertandingan. Setelah itu, badai cedera datang silih berganti.
Jika menyimak tabel dari Transfermarkt di atas, terutama setelah musim 2014/2015, rentang cedera Sturridge selalu berdekatan. Hanya sekitar satu atau satu setengah bulan saja Sturridge sehat dan bugar. Setelah itu, kembali, Liverpool tak bisa lagi memaksimalkan dirinya. Opsi apa yang dimiliki Liverpool? Berbelanja pemain.
Setelah Suarez dilego dan Sterling dijual, sementara Sturridge bergumul dengan cedera, Liverpool disibukkan dengan upaya membeli penyerang yang baru. Sayangnya, beberapa nama yang didatangkan, tak bisa atau setidaknya belum mampu menduplikasi ketajaman Sturridge.
Berikut beberapa nama penyerang yang didatangkan Liverpool: Iago Aspas dari Celta Vigo, Mario Balotelli dari AC Milan, Divock Origi dari Lille, Rickie Lambert dari Southampton, Danny Ings dari Burnley, Christian Benteke dari Aston Villa, Roberto Firmino dari Hoffenheim, dan Dominic Solanke dari Chelsea.
Dari deretan nama-nama di atas, hampir semuanya gagal. Praktis, hanya Firmino yang menjadi pembelian sukes. Itupun baru terlihat di musim ketiganya, 2017/2018, setelah Jürgen Klopp akhirnya menemukan komposisi lini depan terbaiknya.
Baca juga: Mendirikan Altar Persembahan untuk Roberto Firmino
Komposisi terbaik itu berisi Firmino sebagai penyerang tengah, diapit Mohamed Salah di kanan, dan Sadio Mane di kiri. Ketiganya disokong oleh Philippe Coutinho. Fab Four adalah sematan media untuk keempat pemain penuh vitalitas itu. Dan seperti itulah, Sturridge hanya menjadi cameo yang muncul ketika tak terlalu dibutuhkan.
Badai cedera, bahkan sampai saat ini, membuat Sturridge kehilangan sentuhan terbaiknya. Ia tak lagi kalem di depan gawang. Ia tak lagi jeli melihat pergerakan bek lawan. Ia tak lagi efektif memanfaatkan peluang, bahkan yang paling manis sekalipun. Perlahan, Kopites akan melupakan penyerang dengan selebrasi gol yang ikonik ini.
Tahun 2018 adalah tahun Piala Dunia. Masih ada hasrat besar yang bersemayam dalam diri Sturridge untuk bisa bermain di kompetisi terbesar di dunia itu. Namun, pembaca pasti memahami bahwa ia harus bebas dari cedera dan bermain secara rutin. Tentu, saat ini, Sturridge tak akan bisa mendapatkannya bersama Liverpool.
Apakah Sturridge akan hengkang demi kelanjutan kariernya? Atau Sturridge akan bertahan, berjuang lepas dari belenggu cedera dan menemukan lagi dirinya yang begitu “dingin” mengeksekusi peluang?
Ada beberapa klub yang mungkin bisa menjadi destinasi di bulan Januari. Mulai dari Southampton, Newcastle United, Crystal Palace, West Ham United, atau bahkan Everton. Semua klub itu membutuhkan tenaga baru di lini depan. Kelima klub itu, mungkin, tak bisa menghadirkan gairah yang sama yang dirasakan Sturridge bersama Liverpool. Namun, kelimanya bisa memberikan kebahagiaan bermain seluas mungkin.
Pada akhirnya, bola keputusan kembali ke kaki Sturridge. Jalan mana yang akan ia tempuh? Untuk mengingatkan Kopites akan ketajaman Sturridge sekaligus bekal supaya tak melupakannya, silakan suntuki gol-gol cantik Sturridge ini:
https://www.youtube.com/watch?v=BbbBeJhNG_k
Author: Yamadipati Seno (@arsenalskitchen)
Koki Arsenal’s Kitchen