Eropa Inggris

Sebongkah Cinta untuk Raheem Sterling di Usia ke-23

Apabila ada pesepak bola muda berbakat yang justru malah mendapat kebencian yang begitu besar, pesepak bola itu bernama Raheem Shaquille Sterling. Di usianya yang masih di bawah 23 tahun, Sterling seringkali dibuat tidak nyenyak tidurnya oleh suporter sepak bola Inggris, para pundit, dan tentunya media di Negeri Ratu Elizabeth sana.

Publik sepak bola Inggris menganggap Sterling sebagai pemain yang serakah dan mata duitan, terutama setelah pindah dari Liverpool ke Manchester City. Memang, mungkin kehidupan pemuda yang memiliki darah Jamaika ini tak jauh dari kontroversi, namun sepertinya publik sepak bola Inggris lupa bahwa Sterling bisa menjadi orang yang membawa sepak bola The Three Lions harum kembali. Oleh karena itu, tak ada salahnya memberikan cinta bagi pemain sayap yang satu ini.

Sterling lahir di Kingston, ibu kota Jamaika, 23 tahun yang lalu. Keluarganya hijrah ke Inggris saat usia Sterling kecil baru menginjak lima tahun. Meskipun begitu, bakat sepak bolanya sudah terlihat sejak ia kecil. Ia kemudian didaftarkan untuk bergabung dengan salah satu akademi sepak bola yang ada di London, akademi milik klub Queens Park Rangers (QPR).

Tujuh tahun bersama QPR, bakat Sterling muda terendus oleh Rafael Benitez yang saat itu menangani Liverpool. Akhirnya, manajer asal Spanyol tersebut memboyong sang pemain sayap muda ke Anfield di bulan Februari tahun 2010.

Bersama klub Merseyside itu kemudian Sterling membuat gebrakan. Ia mampu tampil menawan di tim junior Liverpool, hingga akhirnya mencatatkan debut di tahun 2012 sebagai pemain pengganti di Liga Primer Inggris sebagai pemain pengganti ketika masih berusia 17 tahun. Musim 2012/2013, Sterling memantapkan diri sebagai salah satu pemain utama di tim senior Liverpool, meskipun pada dasarnya ia masih bisa bermain bagi tim U-18.

Waktu tampilnya bagi The Reds sebanyak 24 kali di Liga Primer Inggris dan sembilan kali di Liga Europa. Seiring musim berganti, performa pemain yang memiliki gaya lari yang khas ini semakin menggila. Di musim 2013/2014, kombinasinya bersama Luis Suarez dan Daniel Sturridge berhasil membawa Liverpool finis di posisi kedua Liga Primer Inggris, dan Sterling pun menjadi peraih Golden Boy tahun 2014.

Liverpool bahkan sempat dituding terlalu mengeksploitasi Sterling yang bahkan baru berumur 19 tahun saat itu, namun tak dapat dipungkiri memang performanya sangat bagus sehingga tak salah juga apabila Brendan Rodgers begitu mengandalkannya saat itu.

Meskipun begitu, di musim berikutnya, sorotan mulai datang kepada penyerang sayap yang memiliki kecepatan luar biasa ini. Dari segi permainan, ia dituding terlalu serakah dan lama menguasai bola. Penyebab dari hal ini diduga karena ia mulai jemawa akibat banyaknya puja-puji yang ia dapatkan.

Sisi personalnya yang tak menyangkut performa di lapangan pun ikut terbawa, seperti isu bahwa ia sudah memiliki banyak anak dari banyak pacar, kepergok menghisap shisha, hingga tuduhan kekerasan seksual yang tak terbukti. Akibat hal ini, ia menerima banyak kritikan dari media setempat.

Namun, tak ada yang lebih menyakitkan ketimbang disoraki oleh pendukung sendiri. Suporter Liverpool sempat menyorakinya ketika Sterling ketahuan menolak kontrak baru yang disodori oleh klub. Menurut agennya, Aidy Ward, tak peduli berapapun jumlah uang yang ditawarkan oleh manajemen klub, kliennya tak akan memperbarui kontraknya.

Sudah jelas bahwa Sterling memang ingin pindah, dan jika dilihat secara jernih, bukan uang yang menjadi motivasinya. Namun, hal ini sepertinya tak dapat diterima oleh suporter Liverpool. Memang, cara Sterling untuk menyampaikan keinginannya tidak sepenuhnya pantas, namun hal ini menunjukkan ambisinya yang sesungguhnya, mengingat Liverpool kala itu kembali terpuruk selepas kepergian Suarez.

Puncaknya adalah ketika Sterling absen di pra-musim 2015/2016 Liverpool di Asia. Menurut pihak klub, tak hadirnya pemain timnas Inggris yang satu ini karena penyakit yang ia derita, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa keinginannya untuk pindah yang menjadi penyebab ia absen. Kontan saja, kritikan tak hanya datang dari para Kopites, namun juga dari legenda klub.

Akhirnya, perkara sekaligus cerita Sterling bersama Liverpool berakhir ketika sang pemain direkrut oleh Manchester City di awal musim tersebut dengan biaya mencapai 49 juta paun, menjadikannya sebagai pesepak bola Inggris termahal sepanjang sejarah kala itu.

Namun, musim pertamanya di City tak berjalan sesuai harapan. Sterling gagal berperforma baik, dan penampilannya dianggap tak menjustifikasi harganya yang mahal. Kritikan keras pun datang, namun satu yang sepertinya dilupakan bahwa saat itu usianya baru 21 tahun, usia yang masih terlampau muda untuk tampil bagus secara konsisten.

Keberuntungan akhirnya menghampiri Sterling ketika di musim berikutnya Pep Guardiola masuk menjadi manajer City menggantikan Manuel Pellegrini. Bersama Pep, perlahan-lahan Sterling mulai menunjukkan kemampuannya yang sempat meredup kala bergabung bersama City. Di musim keduanya bersama Pep, tepatnya di musim ini, Sterling benar-benar memantapkan diri sebagai pemain kunci City.

Ia dan pemain muda lainnya, Leroy Sane, menjadi tumpuan The Citizens di kedua sisi sayap penyerangan mereka. Pep memang harus diberikan kredit, terutama setelah memaksa manajemen klub untuk mempertahankan pemain bernomor punggung 7 ini, setelah di awal musim lalu, Sterling dikabarkan akan menjadi bagian untuk penebusan Alexis Sanchez dari Arsenal. Pep juga yang mampu memanfaatkan kemampuan Sterling secara optimal dan melatihnya menjadi lebih baik lagi.

Namun, salah apabila menyebut bahwa hanya karena kehadiran Pep, Sterling mampu bersinar kembali. Memang pada dasarnya, Sterling adalah pemain muda yang bagus dan memiliki bakat yang luar biasa hebat. Mungkin kritikan-kritikan yang ia terima sebelumnya telah membentuknya menjadi sekarang ini, namun sudah saatnya ketika melihat apa yang ia lakukan saat ini, untuk memberikan cinta kepadanya.

Happy birthday, Sterling!

Author: Ganesha Arif Lesmana (@ganesharif)
Penggemar sepak bola dan basket