Eropa Inggris

Pep Time, Modal Manchester City untuk Menjadi Juara

Manchester City akan menghadapi rival sekota sekaligus saingan terberat dalam perburuan gelar Liga Primer Inggris musim ini, Manchester United (MU). Namun sepertinya, David Silva dan kolega akan menganggap laga ini sama dengan pertandingan lainnya. Keunggulan delapan poin dari MU menjadi alasannya setelah City berhasil tampil impresif sepanjang musim dengan catatan 14 kemenangan dari 15 pertandingan, dan hingga saat ini tentunya The Citizens menjadi kandidat utama juara liga.

Pasukan yang dikomandoi oleh Pep Guardiola ini memang terhitung perkasa, beberapa kali kemenangan dengan skor mencolok berhasil diraih, seperti ketika mengalahkan Stoke City dengan skor 7-2, Watford dengan skor 6-0, Crystal Palace dan Liverpool dengan skor sama, 5-0. Namun, bukan kemenangan luar biasa itulah yang menjadi modal utama Cty untuk menjadi juara, melainkan kemampuan mereka untuk mampu menang melalui gol yang tercipta di pengujung laga, yang akibatnya memunculkan frasa “Pep Time”.

Sebelumnya, penggemar Liga Primer Inggris tentu kenal dengan yang namanya Fergie Time. Frasa yang satu ini muncul menyusul keberhasilan Manchester United pada zaman Sir Alex Ferguson untuk mendapat kemenangan lewat gol yang dicetak di menit-menit akhir jelang laga usai. Kini, giliran Pep Time-lah yang mengambil panggung.

Sesudah menunjukkan kebrutalan skuatnya kala menghabisi beberapa tim dengan selisih minimal lima gol, dalam tiga laga terakhir secara berturut-turut di Liga Primer Inggris, City berhasil mencuri kemenangan lewat gol yang tercipta di 10 menit terakhir waktu normal.

Yang pertama adalah dalam laga tandang melawan klub promosi, Huddersfield Town, ketika Raheem Sterling berhasil mencetak gol kemenangan di menit 84. Southampton menjadi korban kedua setelah lagi-lagi Sterling, yang sedang berulang tahun hari ini, mengubah skor menjadi 2-1 di menit 90+5 lewat gol tendangan pisang yang cantik. Yang terakhir baru saja terjadi di laga minggu lalu melawan West Ham.

City yang tertinggal terlebih dahulu berhasil membalikkan kedudukan di menit 83 lewat gol David Silva. Total kemenangan City yang berasal dari gol menit akhir di Liga Primer Inggris ini menjadi empat setelah mereka juga pernah melakukan hal serupa kala melawan Bournemouth di matchday ketiga Liga Primer Inggris.

Lalu, mengapa hal seperti ini menjadi modal besar untuk City dalam perburuan trofi Liga Primer Inggris?

Mental juara memang sudah seringkali disebut-sebut sebagai hal yang vital, namun yang lebih penting lagi, Guardiola mampu mengaplikasikan mentalitas yang timnya miliki ke performa yang ditunjukkan di lapangan. Apabila ditilik ke belakang, lawan-lawan yang menjadi korban Pep Time adalah tim yang secara kualitas di bawah City.

Tim-tim tersebut bermain dengan defensif setelah mampu menyamakan kedudukan, atau setelah keunggulannya disamakan oleh Sergio Aguero dan kolega untuk mengincar hasil seri. Permainan defensif yang mereka tunjukkan tentunya mampu membuat frustrasi banyak tim, namun di sinilah Guardiola dan skuatnya patut diberi kredit.

Alih-alih pusing sendiri karena melihat 10 pemain outfield berada di kotak penalti, Guardiola mampu memberikan instruksi untuk timnya agar tetap sabar dan mencuri gol lewat serangan yang mematikan dan clinical. Mantan manajer Barcelona ini tentunya tidak terburu-buru dan merusak skemanya dengan melempar semua penyerang tanpa pikir panjang, seperti yang Arsene Wenger lakukan ketika ingin menyusul ketertinggalan dari MU minggu lalu.

Sebagai contoh, dalam laga melawan Southampton lalu, Guardiola tahu bahwa skuatnya mampu tampil dominan dengan skema yang sama, namun ia butuh pemain yang lebih segar untuk mendapatkan kemenangan. Akhirnya, ia memasukkan duo Silva, David dan Bernardo, menggantikan Gabriel Jesus dan gelandang Ilkay Gündogan.

Karena itu, permainan mereka tetap seimbang dan pada akhirnya lini pertahanan Southampton runtuh karena kesabaran City untuk melakukan serangan secara konstan.

Melalui hal ini, skuat City juga berhasil menunjukkan kualitasnya. Mereka mampu menjaga kualitas mereka di saat lawan sudah mulai lelah karena digempur habis-habisan. Kemampuan untuk menjaga kebugaran secara 90 menit penuh ini pantas dipuji, karena dengan itu mereka mampu memanfaatkan satu kesempatan yang terbuka akibat kelelahan lawan dan meraih kemenangan.

Dalam laga melawan Southampton, bek The Saints terbukti luput menjaga Sterling yang masih mampu berlari kencang dan tak menutup ruang tembaknya, yang salah satu faktornya diakibatkan oleh kelelahan. Serupa dengan West Ham, dua bek The Hammers, Angelo Ogbonna dan Declan Rice, juga gagal mengantisipasi pergerakan David Silva ke arah mulut gawang dan berakibat pada kekalahan tim mereka.

Ini menunjukkan bahwa skuat City mampu tetap konsisten dalam melakukan serangan secara 90 menit. Batu sekuat apapun jika ditetesi air secara terus-menerus pun akan keropos, dan kegigihan inilah yang harus dipuji dari skuat City.

Memang, kemewahan skuat Manchester City menjadi faktor lain dari kemampuan Guardiola untuk menciptakan Pep Time. Manajer asal Spanyol itu mampu mempertahankan skema karena kualitas pemain cadangannya tak berbeda dengan tim utamanya. Namun, alih-alih berbicara tentang mental juara yang mulai membosankan, ada baiknya memberi kredit atas apa yang dilakukan Guardiola secara taktikal dan skuat City secara fisikal.

Kehebatan Guardiola dalam meracik skema serta kemampuan fisik pemain City untuk melakukan serangan konstan selama 90 menit adalah hal utama yang membuat frasa Pep Time muncul, dan hal itu menjadi modal utama City untuk juara.

Author: Ganesha Arif Lesmana (@ganesharif)
Penggemar sepak bola dan basket