Pencapaian pemain Muslim asal Mesir, Mohamed Salah, terbilang fantastis. Pasalnya, ia mampu mencetak 20 gol sebelum Natal. Jumlah itu akan terus bertambah mengingat performa sang pemain yang tengah menggila. Saat ini, Salah bahkan menduduki puncak top skor sementara di Premier League.
Salah hanyalah satu dari sekian banyak pemain Muslim yang mengadu nasib di negara Inggris. Di Chelsea ada N’Golo Kante yang musim lalu terpilih sebagai pemain terbaik Liga Inggris. Kante tampil brilian sepanjang musim bersama The Blues. Beberapa pakar bahkan berani menyebut, klub milik Roman Abramovich itu tidak akan jadi kampiun tanpa kehadiran sosok Kante di lini tengah.
Nasib baik kedua pemain tersebut, berbanding terbalik dengan para pemain muslim di kasta bawah Liga Inggris. Bukan, mereka bukan tampil buruk atau menunjukkan performa negatif di lapangan. Pemain Muslim bernasib nahas karena mereka kerap jadi sasaran ujaran kebencian.
Adapun hal itu dikeluhkan manajer operasional FC Peterborough, Imtiaz Ali. Dikutip dari Sky News, Ali berkata, “Kami mendapatkan komentar rasis terhadap pemain Asia kami, juga beberapa komentar Islamofobia, karena hal itu tampaknya menjadi tren dewasa ini.” Komentar-komentar itu dilengkapi gestur pesawat menabrak bangunan yang merujuk pada peristiwa 9/11 di Amerika Serikat.
Zeeshan Ali, pemain FC Peterborough yang menjadi korban, juga mengeluhkan praktik Islamofobia. “Mereka mengejek janggut lebat kami, mengapa tidak dicukur saja. Apa yang kau lakukan di sini? Segeralah angkat kaki sebelum kau dideportasi, dasar teroris”. Ujaran-ujaran seperti itu jamak dijumpai setiap akhir pekan. Hal itu secara mental jelas memengaruhi pemain. Para pemain Muslim tentu tidak dapat bermain lepas karena mereka bermain di bawah ancaman. Bahkan, beberapa dari mereka sudah mengajukan surat pengunduran diri kepada manajemen FC Peterborough.
Kejahatan verbal semacam itu membuat Zeeshan kembali berpikir tentang cita-citanya menjadi pemain sepak bola. “Apakah saya harus bangun setiap Sabtu untuk menerima ini (ujaran kebencian)? Apa saya harus selalu tersenyum menerima perlakuan seperti itu?,” keluh Zeeshan.
Pemain Muslim lainnya juga bernasib sama seperti Zeeshan adalah penyerang sayap Newcastle United, Yasin Ben El-Mhanni. Ia mengungkap bahwa ujaran kebencian terhadap Muslim sangat kental di turnamen kasta bawah. Sebelum dikontrak oleh The Magpies, Yasin bermain untuk Farnborough FC dan Lewes FC. Di sana, ia dan rekan-rekannya sesama Muslim mengalami hinaan secara teratur. Mengapa secara teratur? Karena setiap pekan, Muslim menjadi sasaran ujaran kebencian.
Yasin berkata, “Ketika saya bermain di kasta bawah, banyak teman saya dan saya mendapat komentar seperti pengebom bunuh diri dan teroris. Hal itu cukup sering kami terima dan mengganggu. Hal itu memengaruhi anda secara mental, baik di dalam maupun luar lapangan. Terkadang, saat Anda mendapatkan pelecehan di lapangan, hal itu akan memengaruhi kehidupan Anda dalam beberapa hari, bahkan berminggu-minggu. Tentu sangat sulit untuk mengalaminya.”
Tidak hanya di lapangan ataupun luar lapangan, serangan verbal itu juga muncul di laman Facebook resmi FC Peterborough dan para pemain Muslim. Melalui Facebook, FC Peterborough mengunggah ujaran-ujaran itu dengan harapan, publik yang masih punya akal sehat bereaksi dan segera mengutuk Islamofobia. Benar saja, notifikasi segera dipenuhi oleh klub-klub di seluruh Inggris Raya yang berbagi kisah serupa. Hal itu memperlihatkan bahwa bahaya Islamofobia telah menyebar luas dan menjangkiti olahraga sepak bola.
Lantas dari mana ujaran kebencian terhadap pemain Muslim berasal? Sebuah organisasi anti rasisme dan diskriminasi yang bermarkas di London, Kick It Out, melakukan sebuah riset tentang kasus rasisme yang terjadi di sepak bola. Hasilnya, terjadi lonjakan kasus pasca peristiwa Brexit.
Brexit adalah singkatan dari “Britain exit,” yang mengacu pada keputusan referendum Inggris 23 Juni 2016 silam untuk meninggalkan Uni Eropa. Peristiwa ini adalah manuver politik karena diadakan pemungutan suara dari seluruh warga negara Inggris, Irlandia Utara, Wales, dan Skotlandia, untuk memutuskan apakah Britania Raya harus keluar dari Uni Eropa atau tidak.
Sekilas, tiada hubungan langsung antara Brexit dengan Muslim. Namun, harus diketahui bahwa salah satu isu yang membuat Inggris akhirnya memutuskan keluar adalah jumlah manusia yang menjadi beban. Fakta bahwa situasi dan kondisi ekonomi Inggris saat itu terbebani karena populasi penduduk mereka yang melonjak dari tahun ke tahun. Hal ini mau tidak mau dikaitkan oleh politikus dengan jumlah imigran yang bermukim di Inggris. Sialnya, mayoritas imigran di Negeri Ratu Elizabeth ialah pemeluk agama Islam.
Troy Townsend, salah satu staf Kick It Out di bidang edukasi, menyatakan bahwa dirinya selalu khawatir tentang Brexit dan efeknya terhadap kehidupan sosial. “Orang merasa memiliki negara ini, komunitas di masyarakat, bahwa kau tidak lahir disini, tu merupakan bentuk awal dari rasisme dan tindakan diskriminasi,” cetus Townsend saat diwawancara Sky Sport.
Dia menjelaskan mengapa sepak bola jadi sasaran ujaran kebencian. Hal ini karena sepak bola memiliki para pemain dengan latar belakang yang beraneka ragam. Bahkan orang Inggris sendiri acapkali kalah saing dengan mereka yang berstatus pendatang. Townsend menambahkan, “Mengapa orang yang akan berjabat tangan sebelum pertandingan harus menyaksikan hal-hal seperti itu? Napas (semangat) permainan macam apa yang dimainkan sekarang ini? Karena jelas dimainkan dengan napas di mana pelaku telah mengidentifikasi penentangan mereka dengan cara tertentu. Tidak boleh ada pertandingan yang dimainkan dalam situasi seperti itu.”
FA sebagai lembaga yang berwenang mengurusi urusan sepak bola di Inggris jelas jadi sorotan. Kasus ujaran kebencian di ranah sepak bola sudah pada tahap meresahkan. Namun, FA belum juga bertindak. Bahkan menurut pengakuan Imtiaz Ali, prosedur untuk mengajukan protes ke FA terlalu rumit. “Butuh waktu lama dan hanya mengandalkan kesaksian tunggal seorang wasit,” kata Ali.
Dengan kalimat telengas, manajer FC Peterborough itu menambahkan, “FA pada kasus rasisme hanya bersikap lip service saja. Jika mereka (FA) serius, harusnya pelaku rasis diganjar kartu merah. Hal ini yang tidak terlihat, karena FA laiknya sekumpulan pria kulit putih paruh baya yang bersifat demografis. Mereka seolah tidak menyadari kasus (Islamofobia) ini, apa yang sedang terjadi di lapangan, khususnya pada kompetisi level bawah. Sungguh tidak banyak yang mereka (FA) lakukan untuk menyelamatkan kami.”
Hal ini diakui Kick It Out. Sebagai organisasi independen, Kick It Out menjadi salah satu yang gencar mengkritisi FA. Mereka terus berupaya supaya pelaku rasis di sepak bola dihukum seberat-beratnya. Tak peduli apakah itu pemain, manajer, penonton, bahkan ofisial pertandingan sekalipun.
Menurut pengakuan Townsend, telah ada enam kasus rasisme yang dilaporkan ke FA dalam tiga setengah tahun belakangan. Akan tetapi, kasus itu selalu menguap begitu saja dengan alasan-alasan seperti: kasus tidak terbukti, tidak punya bukti cukup, pernyataan tidak konsisten, sampai wasit tidak melihat atau mendengar. Hal itu cukup memperlihatkan bahwa FA belum siap memerangi segala bentuk tindakan diskriminatif di Inggris.
Lantas bagaimana jika ujaran kebencian terhadap pemain sepak bola terjadi di Indonesia? Apakah PSSI akan bertindak sama lambannya dengan FA? Jangankan ujaran kebencian, kasus almarhum Banu Rusman saja sampai detik ini tak jelas kelanjutannya.
Author: Agung Putranto Wibowo (@agungbowo26)