Seorang laki-laki dibangun oleh banyak hal, salah satunya rasa akan keindahan. Bagi seorang Italiano, soal rasa adalah perkara penting. Senyum yang menggoda, kedipan mata yang eksotis, dan gerak bahu yang tegas. Gianluca Pagliuca dibangun oleh tiga hal itu, terutama senyumnya yang menggoda, yang menyimpan gejolak karier di balik lipatan bibir.
Yang mampir di ingatan, ketika kita berbicara legenda kiper Italia, nama-nama seperti Dino Zoff, Angelo Peruzzi, dan Gianluigi Buffon. Zoff menegaskan bahwa Italia dibangun oleh imajinasi dan penjaga gawang kelas dunia, Peruzzi adalah malaikat penjaga masa-masa kejayaan Juventus di masa lalu, dan Buffon adalah kekasih Italia.
Nama Pagliuca ada di sela-sela kebesaran mereka. Ia penjaga gawang kelas dunia, punya segala bekal menjadi yang terbaik. Namun, namanya sungguh sulit untuk berada di tengah perbincangan dengan topik penjaga gawang legendaris di Italia, atau mungkin di dunia. Nama Pagliuca juga bersanding erat dengan kekecewaan.
Pagliuca adalah anggota tim “Sampdoria itu”, sebuah tim yang berisi pemain-pemain genius, petarung, dan paham makna rasa akan keindahan.
Akhir periode 1980 hingga periode 1990-an adalah periode emas Serie A Italia, yang diisi pemain-permain terbaik di dunia, pelatih revolusioner, dan klub yang superior. Internazionale Milano yang dilatih Giovanni Trapattoni merengkuh Scudetto dengan margin 11 poin pada tahun 1989, Napoli menjadi juara pada tahun 1990 dengan Diego Maradona sebagai katarsis, AC Milan-nya Arrigo Sacchi dua kali menjuarai kompetisi Eropa, Internazionale mengumpulkan trio dahsyat daru Jerman; Lothar Matthäus, Jürgen Klinsmann, dan Andreas Brehme, Milan tak kalah dengan trio Belanda; Marco van Basten, Frank Rijkarrd, dan Ruud Gullit, Juventus punya Roberto Baggio dan Zinedine Zidane. Liga para dewa.
Romansa bersama Sampdoria
Dan di ujung periode emas itu, musim 1990/1991, sebuah “tim kecil” mendobrak dominasi para dewa. Sampdoria, yang diasuh Vujadin Boškov, pelatih dengan pesona Eropa Timur itu menjadi yang terbaik. Il Samp bermetamorfosis di bawah tangan dingin Boškov. Musim itu, skuat Sampdoria diisi pemain-pemain kelas satu.
Roberto Mancini, kreator berkelas. Gianluca Vialli, yang menjadi cappocanoniere dengan 19 gol, Pietro Vierchowod, bek tengah ganas yang begitu paham makna bekerja sekeras mungkin, dan tentu saja, Gianluca Pagliuca yang tangguh. Vierchowod dan Pagliuca betul-betul menjadi pengingat bahwa musim itu, Sampdoria siap menghadapai para dewa.
Sampdoria berlari cepat musim itu. Mereka bahkan sudah dinyatakan sebagai juara ketika liga masih menyisakan empat pertandingan. Laga yang menjadi penentuan adalah ketika Sampdoria menenuk Internazionale dengan skor 2-0. Laga itu, sepenuhnya menjadi Sampdoria ketika Pagliuca mementahkan sepakan penalti Lothar Matthäus.
Boškov menyebut keberhasilan timnya memenangi Scudetto sebagai pencapaiannya yang paling indah dan terasa begitu manis. “Saya menjadi juara di liga yang paling sulit dan paling seimbang di dunia, apalagi ini gelar pertama untuk Sampdoria sejak setengah dekade belakangan. Rasanya seperti ketika anak pertama Anda lahir.”
Keberadaan Pagliuca sangat krusial. Puja dan puji, sembah dan penghargaan banyak disematkan untuk Mancini atau Vialli yang begitu tajam di lini depan. Namun, tanpa Pagliuca di bawah mistar gawang, Sampdoria tak akan bertahan lama di atas ring ketika bertarung dengan para dewa.
Pagliuca, sosoknya tak mungkin tak tertangkap oleh mata. “Penolakan senyap”-nya akan kaos penjaga gawang lengan panjang terasa sangat ikonik. Dan yang paling menggugah adalah kebiasaannya mendirikan kerah kaos. Sikap yang menegaskan bahwa ia “ada” di sana dan para dewa tak akan mudah mengalahkan para manusia “mortal” ini.
Di balik rahangnya yang tegas, Pagliuca menyimpan senyum eksklusif. Matanya yang sayu, justru terasa misterius, seperti menyimpan tantrum yang sudah terpendam selama beberapa dekade. Poni rambutnya yang jatuh di sisi kiri, menjelaskan kepribadiannya yang penuh gairah. Seperti ketika ia diisukan sudah meniduri 100 wanita dan menyandang status “Cassanova” itu.
Maskulinitas Pagliuca berpendar, timbul-tenggelam, bersatu dengan kualitasnya sebagai penjaga gawang. Ia sungguh cekatan, nyalinya penuh. Pagliuca adalah salah satu dari sedikit penjaga gawang yang begitu tangguh menghentikan sepakan jarak dekat lawan. Refleknya kelas satu, begitu cekatan.
Tiga kegagalan
Kariernya penuh gejolak, kekecewaan yang meluap, yang selalu mengiringi kerja kebahagiaan. Tercatat, tiga kali ia gagal di partai puncak Piala Champions. Di usia 21 tahun, ketika akhirnya berhasil menggeser Guido Bistazzoni, Pagliuca kalah oleh Barcelona di laga puncak dengan skor 2-0. Saat itu, Barcelona masih ditangani Johan Cruyff, dan dalam proses membangun warisan yang masih bertahan sampai saat ini.
Musim 1991/1992, sekali lagi, Sampdoria bertemu dengan Barcelona di kompetisi yang sudah berubah nama menjadi Liga Champions. Saat itu, El Barca menyandang status sebagai dream team yang diisi Hristo Stoichkov, Julio Salinas, Michael Laudrup, dan Pep Guardiola. Anak-anak asuhan Boškov yang tidak diunggulkan justru bermain lebih tenang, sementara skuat Barcelona seperti menahan sebuah beban besar di laga puncak.
Sampdoria bahkan menahan tim impian Barcelona ini hingga babak perpanjangan waktu, setelah selama 90 menit, pertandingan berakhir sama kuat 0-0. Pertahanan Sampdoria yang solid baru bisa didobrak Barcelona pada menit 112 lewat sepakan keras dari Ronald Koeman.
Kegagalan itu juga menjadi penanda awal berakhirnya romansa Sampdoria. Vialli, dipinang Juventus dengan nilai transfer 12,5 juta paun, sebauah rekor saat itu. Sementara itu, Boškov dipecat lalu melatih AS Roma. Mancini dan Pagliuca sendiri memutuskan bertahan.
Mulai saat itu, Sampdoria sepeti hanya menjadi pijakan bagi beberapa nama sebelum bergabung dengan klub yang lebih besar. Dari Juan Sebastion Veron, Ariel Ortega, Clerence Seedorf, hingga Christian Karembeu. Puncaknya adalah tahun 1999, ketika Sampdoria kehilangan sinar dan terdegradasi. Pagliuca sendiri meninggalkan Sampdoria pada tahun 1994 untuk bergabung bersama Internazionale
Saat itu, Internazionale tengah dalam masa “membangun”. Dana dalam jumlah besar mereka belanjakan untuk mendatangkan beberapa pemain bintang. Namun sayang, Internazionale tidak terlalu akrab dengan gelar juara, bahkan ketika memiliki pemain-pemain seperti Dennis Bergkamp, Roberto Baggio, Nazario Ronaldo, dan Youri Djorkaeef.
Situasi itu diperparah dengan sikap Massimo Morati yang terlalu mudah memecat pelatih. Alhasil, tak ada kestabilan di tengah skuat Internazionale. Ketika membela Internazionale, Pagliuca turut bermain ketika mereka kalah dari Schalke di final Piala UEFA. Inilah kegagalan ketiga bagi Pagliuca. Hingga saat ini, belum ada pemain yang menyamai catatan pedih Pagliuca.
Setelah masa-masa bersama Internazionale, Paglica bermain untuk Bologna, sebelum akhirnya pensiun bersama Ascoli.
Ingatan tentang Pagliuca bukan ingatan yang jernih akan prestasi. Ia pernah berjaya, berada di puncak kejayaan. Namun, narasi kegagalan juga melekat erat pada diri Pagliuca. Seiring waktu, melupakan Pagliuca menjadi pekerjaan yang lebih mudah ketimbang merawat warisannya.
Ia, dengan rona rupawan, fascino Italiano, pesona seorang Italia. Jangan sampai romansa dan ingatan itu lepas.
Selamat ulang tahun Gianluca. Sehat selalu.
Author: Yamadipati Seno (@arsenalskitchen)
Koki Arsenal’s Kitchen