Nasional Bola

4 Desember: Diego Mendieta yang Merana di Akhir Hayatnya

“Aku tidak minta gaji penuh, cuma mau pulang biar bisa ketemu keluarga”

Kurang lebih seperti itulah isi pesan singkat yang dikirimkan Diego Mendieta ke rekan-rekan terdekatnya, di saat ia hidup merana dengan beragam penyakit yang diidapnya, dan tidak ada biaya untuk mengobatinya.

Jangankan biaya berobat, uang untuk menyambung hidup saja hampir tidak ada. Selama empat bulan lamanya, gaji Diego tidak dibayar oleh klub yang mempekerjakannya saat itu, Persis Solo, dengan nominal tunggakan gaji mencapai 120 juta rupiah.

Bahkan, tidak hanya gaji yang ditunggak Persis saat itu, tapi juga kekurangan uang muka kontrak Diego. Ketiadaan dana inilah yang sampai membuat Diego kesulitan membayar uang penginapan. Padahal, saat itu kompetisi telah usai dan seharusnya klub sudah melunasi semua kewajibannya pada pemain.

“Pemain asing di Persis tidak tinggal di mes. Diego memilih tinggal di tempat kos-kosan yang setahu saya saat itu belum dibayarkan dua bulan. Dia dan pemain lain termasuk saya, juga setelah kompetisi Juni lalu, selama empat bulan, gaji kami belum dibayar,” ungkap Dede Pranata, kiper PSMS Medan saat itu, dikutip dari Sindonews.

Kabarnya, di periode hidupnya terkatung-katung saat itu, Diego hanya dapat menggantungkan diri dari uang iuran Pasoepati untuk dirinya dan bantuan tiga kerabat dekatnya dari Paraguay.

Duka dini hari di RS Moewardi

4 Desember 2012, tepat di hari ini lima tahun yang lalu, menjadi salah satu periode terkelam di sepak bola Indonesia. Akibat kasus penunggakan gaji, nyawa salah seorang pemain harus melayang, meninggalkan seorang istri dan tiga orang anak.

Diego sebelumnya sempat dirawat di RSI Yarsis Solo dan PKU Muhammadiyah Solo, tapi karena kondisinya kian memburuk, akhirnya ia dirawat intensif di RS Moewardi Solo, sejak 27 November 2012. Tim dokter saat itu mengatakan bahwa Diego terkena cytomegalovirus yang menyerang otak, mengidap jamur kandidiasis yang tersebar dari tenggorokan hingga saluran pencernaan, dan terjangkit demam berdarah

Ia pun harus dirawat di ruang ICU, tapi nyawanya tetap tak tertolong. Diego Mendieta, pemain bernomor punggung 33 yang juga pernah berseragam Persitara Jakarta Utara dan PSSB Bireun, telah pergi meninggalkan dunia ini di usia 32 tahun.

Sungguh pedih melihat nasib Diego di ujung hayatnya. Di saat ia bekerja keras membanting tulang demi menghidupi keluarganya di Paraguay, ia justru sangat kesulitan untuk sekadar membiayai hidupnya sendiri. Dengan tujuan ingin berkarier cemerlang di negeri orang, ia justru harus meregang nyawa di negara yang bukan tempat kelahirannya.

Sebuah kondisi yang begitu kejam. Seorang manusia harus kehilangan nyawa, akibat manusia-manusia lainnya yang tidak mau kehilangan kepentingan. Diego bahkan hanya minta tiket pulang, tapi tetap tidak ia dapatkan hingga napas terakhirnya.

Untuk menyambung hidupnya, ia bahkan sampai rela bermain tarkam di Klaten, sekitar dua bulan sebelum sakit. Konon, bayaran yang didapatnya untuk satu putaran turnamen mencapai 800 ribu rupiah. Ia sebenarnya hendak mendapat tawaran tarkam kedua di Pedan, tapi nyawanya sudah lebih dulu melayang.

“Baru sekali bergabung dengan kami. Orangnya enak, tapi kasihan nasibnya seperti itu,” ujar salah satu pengurus PS Kalimosodo, saat menceritakan pengalaman Diego bermain untuk timnya, dikutip dari SuperSkor.

Jenazah Diego kemudian diterbangkan ke kampung halamannya pada 5 Desember 2012 dari Bandara Adi Soemarmo Solo. Segala beban tagihan yang dimiliki klub kepada almarhum juga akhirnya dilunasi pada saat yang sama.

“Sudah kami realisasikan semua dan kami transfer ke rekening pribadi istri mendiang yang ada di Paraguay sebesar 131 juta rupiah. Dengan rincian 4 bulan gaji 21 juta rupiah dikali 4 bulan, kekurangan dan DP kontrak Diego senilai 47 juta rupiah dan 50 juta rupiah untuk kepulangan ke Paraguay,” terang Totok Supriyanto pada Kompas.

Kasus meninggalnya Diego Mendieta tidak hanya menjadi duka, tapi juga noda sepak bola Indonesia. Kabar duka ini juga sudah sampai di telinga asosiasi pesepak bola internasional, FIFPro, dan setelah diusut ternyata saat itu ada 21 klub lain yang juga terjerat kasus penunggakan gaji.

Jangan sampai peristiwa serupa terjadi lagi, tidak hanya di negara kita, tapi juga di belahan dunia lainnya. Sepak bola modern bagi para aktornya, seharusnya menjadi mata pencaharian, bukan menjadi arena pesakitan.

Author: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)
Milanisti paruh waktu yang berharap Andriy Shevchenko kembali muda dan membawa AC Milan juara Liga Champions Eropa lagi.