Bagi pesepak bola, usia 26 tahun adalah momen dimana mereka tengah berada di titik puncak karier. Selain kedewasaan secara mental, mayoritas pemain sepak bola yang berada di usia tersebut memang telah mengenyam cukup banyak pengalaman serta punya teknik yang semakin baik.
Walau di masa sekarang, banyak juga pesepak bola yang justru tampak matang ketika usia mereka bahkan baru menyentah kepala dua. Tak jarang pula, banyak pesepak bola yang malah jadi late bloomer alias baru merekah dan matang saat umur mereka sudah melewati angka 30 tahun atau bahkan mendekati masa pensiun.
Membahas usia 26 tahun, ingatan saya terbang ke beberapa pesepak bola yang kariernya justru terhenti di usia ini. Padahal, ketika itu mereka tengah menikmati salah satu momen paling berkesan dalam kariernya. Penyebab karier mereka berakhir bukanlah cedera parah yang tak kunjung sembuh sehingga fisik mereka terganggu. Perjalanan pemain-pemain ini berakhir di usia 26 tahun akibat meregang nyawa di atas lapangan hijau. Berikut beberapa nama itu:
Eri Irianto
Eri mulai diperhitungkan namanya di kancah sepak bola nasional usai menunjukkan potensi besarnya kala berseragam Petrokimia Putra di Liga Indonesia I musim 1994/1995 silam. Sebagai pemain muda, kontribusi Eri cukup membantu langkah kesebelasan berjuluk Kebo Giras itu melenggang hingga babak final Liga Indonesia. Sayangnya, di babak final Petrokimia harus bertekuk lutut dihadapan wakil Jawa Barat, Persib Bandung.
Begitu musim tersebut kelar, Eri hijrah ke Malaysia untuk membela Kuala Lumpur FA. Namun petualangannya di negeri jiran tidak berlangsung lama. Sekembalinya ke Indonesia, Eri bergabung dengan klub asal kota Surabaya, Persebaya.
Bersama tim Bajul Ijo, performa Eri tampak semakin menonjol. Perannya sebagai gelandang sentral begitu krusial. Tak hanya cekatan dalam memutus alur serangan lawan, sesekali Eri juga berhasil mencetak gol bagi Persebaya dengan caranya yang khas, tendangan geledek dari luar kotak penalti.
Akan tetapi, kisah tragis menimpa pemain yang sempat mengenakan seragam tim nasional Indonesia selama 10 kali ini. Pada tanggal 3 April 2000, Persebaya menjamu PSIM Yogyakarta di stadion Gelora 10 November dalam lanjutan Liga Indonesia musim 1999/2000.
Di laga tersebut, Eri bertabrakan dengan pemain PSIM asal Gabon, Samson Noujine Kinga. Tabrakan yang cukup keras menyebabkan Eri pingsan dan harus dibawa ke Rumah Sakit (RS) Dokter Soetomo, Surabaya.
Setelah lama tak sadarkan diri, pada malam harinya Eri menghembuskan nafas terakhir yang konon akibat serangan jantung.
Sebagai penghormatan, Persebaya lalu memensiunkan nomor punggung 19 milik Eri dan menamai mes mereka yang terletak di Jalan Karanggayam 1, dengan nama Wisma Eri Irianto.
Jumadi Abdi
Sosok yang satu ini mulai naik daun saat membela klub asal kota kelahirannya, Persiba Balikpapan, di pertengahan tahun 2000-an. Layaknya Eri, Jumadi juga dikenal sebagai salah satu gelandang pekerja keras di Liga Indonesia.
Karakternya ini pula yang kemudian menarik minat Pelita Krakatau Steel Cilegon dan Persikota Tangerang menggunakan jasanya dalam mengarungi Liga Indonesia. Sampai akhirnya, Jumadi mudik ke Kalimantan Timur di tahun 2008. Namun pada kesempatan ini, dirinya tak lagi membela tim Beruang Madu, Persiba, melainkan klub asal kota Bontang, Pupuk Kaltim (PKT).
Bersama klub yang kemudian berganti nama jadi Bontang F.C. ini juga, Jumadi meregang nyawanya di atas lapangan.
Peristiwa itu terjadi tatkala Jumadi dan rekan-rekannya di PKT Bontang bersua dengan Persela Lamongan di stadion Mulawarman, Bontang, pada tanggal 7 Maret 2009. Laga ini sendiri merupakan lanjutan kompetisi Liga Indonesia musim 2008/2009.
Di tengah laga yang memang berlangsung cukup alot dan keras ini, Jumadi jadi korban hantaman kaki pemain dari kubu Laskar Joko Tingkir, Deny Tarkas. Kejadian tersebut bermula dari keberhasilan Jumadi menerobos sektor tengah Persela.
Ketika dirinya mampu melepaskan diri dari kepungan beberapa pemain Persela, datanglah Deny dari arah depan yang kemudian melayangkan kakinya tinggi-tinggi sehingga terjangannya tersebut mengenai perut Jumadi. Pemain yang identik dengan rambut gondrongnya ini pun terkapar di tengah lapangan.
Melihat kondisi tersebut, tim medis segera menandu Jumadi keluar lapangan dan membawanya ke RS Pupuk Kaltim. Di sana, Jumadi mendapat perawatan intensif. Namun luka yang diakibatkan oleh tabrakan tersebut cukup serius, mengingat bahwa pull sepatu Deny Tarkas telak menghantam perut Jumadi hingga membuat usus halus Jumadi sobek dan bocor.
Efeknya pun fatal, kotoran yang ada di organ tersebut menyebar ke organ-organ yang lain dan menyebabkan nyawa Jumadi tak bisa diselamatkan.
Jumadi meninggal dunia tepat sepekan pascakejadian tersebut dan yang lebih ironis lagi, ia tiada tepat sehari setelah ulang tahunnya yang ke-26.
Akli Fairus
Dibanding Eri dan Jumadi, nama Akli Fairus mungkin jadi yang paling asing di telinga pencinta sepak bola Indonesia. Karier dari figur yang berposisi sebagai penyerang ini memang banyak dihabiskannya di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Pascalulus dari Universitas Syiah Kuala, ia hilir mudik ke beberapa klub di NAD sebelum akhirnya mendarat di Persiraja Banda Aceh di tahun 2010. Bersama kubu Laskar Rencong, penampilan Akli meningkat secara signifikan.
Sayangnya, badai yang menerpa sepak bola Indonesia akibat dualisme di tubuh induk organisasi sepak bola Indonesia (PSSI), membuat karier Akli meredup. Sang pemain pun akhirnya hijrah ke PS Pidie Jaya untuk menyelamatkan kariernya. Namun tak berselang lama, Akli bergabung kembali dengan Persiraja.
Di klub yang pernah melahirkan sosok penyerang buas dalam diri Irwansyah ini pula kisah pilu Akli terjadi. Adalah laga Divisi Utama antara Persiraja versus PSAP Sigli di musim 2013/2014 yang jadi pertandingan pamungkas buat Akli di sisa hidupnya.
Pada pertandingan yang diselenggarakan pada 10 Mei 2014 itu, Akli mengalami tabrakan dengan penjaga gawang PSAP, Agus Rohman. Ketika laga memasuki injury time, Persiraja mendapat peluang emas di depan gawang PSAP setelah tembakan seorang pemain Persiraja gagal ditangkap dengan sempurna oleh Agus.
Melihat bola liar itu, Akli pun menyongsongnya demi mencetak skor, sayangnya di momen itu pula kaki Agus menerjang perut Akli. Sang goalgetter pun terkapar sambil mengerang kesakitan. Dirinya lantas ditandu keluar lapangan.
Akan tetapi, menurut kabar yang beredar luas, Akli tak langsung dibawa ke rumah sakit pascakejadian tersebut dan dibiarkan duduk kesakitan di bench. Baru pada petang harinya Akli dirujuk ke rumah sakit.
Hingga akhirnya pada 15 Mei 2014, Akli yang sudah dirawat selama lima hari tak sanggup lagi bertahan. Sebab kondisi luka dalam yang didapatnya usai terkena tendangan Agus sudah terlalu parah.
***
Kejadian semacam ini merupakan sebuah tragedi dan mencoreng sepak bola Indonesia. Dalam permainan, fair play harus selalu dijunjung tinggi bagaimanapun situasinya. Dari ketiganya kita memetik banyak pelajaran berharga supaya di masa yang akan datang, takkan ada Eri, Jumadi atau Akli yang lain.
Sepak bola harus tetap berjalan tanpa ada satu nyawa pun yang melayang hilang.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional