Kolom Eropa

Paradoks Son Heung-Min untuk Tottenham Hotspur

Di Liga Primer Inggris musim lalu, dari 24 pertandingan yang dijalani, Tottenham Hotspur berhasil mengumpulkan 45 poin. Bermain dengan jumlah partai yang sama di musim 2016/2017 ini, mereka justru berhasil mengumpulkan lima poin lebih banyak ketimbang musim sebelumnya. Namun dalam kenyataanya, mereka justru tampak lebih kesulitan pada musim ini.

Tottenham hanya mampu menang sekali dari tiga laga perdana mereka di Liga Primer Inggris musim ini. Mereka bahkan sering ditahan imbang oleh tim-tim yang berperingkat lebih rendah seperti Bournemouth, West Bromwich Albion dan termasuk juga, sang juru kunci klasemen, Sunderland. Mereka juga cukup sering kehilangan poin ketika menjamu tim peringkat atas lain di kandang mereka sendiri.

Banyak yang menyebutkan bahwa penyebab kesulitan yang dialami oleh klub asal London ini disebabkan oleh cedera yang dialami dua sosok penting di lini pertahanan, Jan Vertonghen dan Danny Rose. Sehingga mereka cukup kesulitan apalagi pengganti keduanya, Kevin Wimmer dan Carter-Vickers adalah para pemain muda yang masih sangat minim pengalaman. Meskipun demikian, sebenarnya ada permasalahan lain yang bahkan lebih pelik.

Didaratkan dari Bayer Leverkusen pada musim lalu, penyerang sayap asal Korea Selatan, Son Heung-Min perlahan mulai membuktikan kualitasnya. Sempat kesulitan hidup di London yang riuh karena sebelumnya tinggal di Leverkusen yang cenderung tenang, Son kemudian bisa beradaptasi dengan baik. Dan hal tersebut juga mempengaruhi penampilannya di lapangan. Bahkan, Tottenham pada akhirnya sangat bergantung pada pemuda Asia berusia 24 tahun ini.

Secara produktivitas, Son memang kalah dari Harry Kane atau Dele Alli. Tetapi tujuh gol yang dibuat Son selalu terjadi ketika tim bermain dengan penampilan terbaiknya.

Son menyarangkan dua gol ketika Spurs menang 4-0 di kandang Stoke City pada 10 September tahun lalu. Kemenangan terbesar Tottenham sejauh ini. Ia juga mencetak gol ketika skuat asuhan Mauricio Pochettino menahan imbang Manchester City pada 21 Januari tahun ini.

Menilik statistiknya pun sebenarnya biasa saja. Ia bukan pemain yang paling baik dalam melepaskan operan, bukan yang paling akurat ketika menembak ke gawang lawan. Bahkan catatan melewati lawannya saja masih kalah baik ketimbang saingannya di posisi sayap, Erik Lamela.

Akan tetapi ada sebuah fakta yang bisa dibilang unik. Dari jumlah laga yang sudah dijalani, dari 10 pertandingan yang berakhir mengencewakan, Son tidak bermain penuh 90 menit.

Salah satu contoh lain, ketika dikalahkan oleh Manchester United pada 11 Desember tahun lalu. Son hanya bermain 56 menit. United kemudian berhasil mencetak gol pada babak kedua. Padahal sebenarnya Son adalah pemain yang paling banyak melakukan tekanan kepada lini pertahanan United.

Sementara ketika Son bermain penuh, tim selalu berhasil meraih kemenangan. Hanya sekali ketika Son bermain penuh dan tim tidak berhasil menang. Yaitu ketika mereka imbang melawan juara musim lalu, Leicester City, pada 29 September 2016.

Son jelas berbeda dengan banyak pemain lain dari Asia. Son memang memiliki sifat khas Asia dengan determinasi dan work rate yang sangat luar biasa. Ia begitu berbahaya di kotak penalti lawan karena bisa dengan tiba-tiba melakukan tembakan keras atau pergerakan yang membahayakan. Namun kehadirannya di skema penyerangan Tottenham justru terkadang membuat permasalahan lain muncul.

Ketika dimainkan bersama Harry Kane, Christian Eriksen, dan Dele Alli. Kehadiran Son yang dominan justru memadamkan penampilan ketiganya. Dengan kehadiran Son yang gemar menusuk ke area pertahanan lawan membuat Harry Kane menjadi kelewat santai memainkan perannya sebagai target man. Ia akan terlalu banyak menunggu ketimbang ikut bergerak. Karena itu cukup sering ketika Son bermain, Harry Kane bahkan sama sekali tidak berhasil menyarangkan gol ke gawang lawan.

Hal yang serupa terjadi kepada Eriksen dan Alli. Ketika Son bermain, kedua gelandang tersebut justru tidak menjadi agresif dan berbahaya seperti biasanya. Mereka justru menjadi lebih sering memberikan bola kepada Son, dan membiarkan Son melakukan sisa pekerjaan selanjutnya seperti membuat peluang untuk pemain lain.

Sejauh ini langkah yang diambil Pochettino adalah memberikan Son peran yang benar-benar klasik sebagai pemain sayap. Yang hanya bertugas untuk menyisir pertahanan lawan. Atau dalam kesempatan lain ia bermain menggantikan Christian Eriksen di skema tiga gelandang serang milik Spurs.

Sulit betul. Tidak dimainkan tim kesusahan menang. Dimainkan ia justru menyulitkan pemain lain. Apa sebaiknya Son Heung-Min menyeberang beberapa kilometer saja ke Colney, London?

Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia