Dunia Asia

Didominasi Peserta Tamu, S-League di Singapura Tak Lagi Bersahabat bagi Talenta Lokal

Sepak bola Singapura mengalami penurunan drastis terutama setelah keberhasilan mereka meraih gelar juara Piala AFF pada tahun 2012 lalu. Dalam beberapa tahun ke belakang, Singapura sudah tidak lagi ditakuti di wilayah Asia Tenggara. Bahkan, perkembangan bakat-bakat sepak bola di Singapura kalah jauh ketimbang para pesaing seperti Thailand, Myanmar, Vietnam, dan juga Indonesia.

Salah satu penyebab penurunan yang dialami oleh Singapura adalah terhentinya produksi bakat-bakat sepak bola di negara tersebut. Setelah generasi Shahril Ishak dan Noh Alam Shah, Singapura belum lagi bisa melahirkan generasi yang berkualitas. Persoalan ini ditenggarai salah satu penyebabnya adalah fenomena yang terjadi di kompetisi domestik. Sejak tahun 2015, gelar juara di Liga Singapura selalu didominasi oleh tim “tamu” yang ikut serta berkompetisi di sana.

Seperti perlu diketahui, kompetisi Liga Singapura atau S-League memberikan jatah kepada para tim asal negara lain untuk berkompetisi di sana. Hal ini pula yang sempat membuat PSPS Riau berencana untuk hijrah ke sana. Di musim kompetisi terkini ada dua tim “tamu” yang bermain di Liga Singapura, yaitu DPMM dari Brunei Darussalam, dan Aliberex Niigata dari Jepang.

Sebelumnya sudah ada Etoile FC dari Prancis, Sporting Afrique yang mewakili negara-negara Afrika, atau Super Reds dari Korea Selatan. Dua negara, Malaysia dan Cina, mengirimkan tim satelit mereka ke Liga Singapura. Sementara Malaysia, sang negara tetangga, mengirimkan timnas usia muda mereka yaitu Harimau Muda A dan Harimau Muda B, untuk berkompetisi di Liga Singapura. Cina mengirimkan tim satelit dalam bentuk klub yaitu Sinchi FC, Liaoning Guangyuan, Dalian Shide Siwu, dan yang terakhir adalah Beijing Guoan Talent, yang terakhir berkompetisi pada tahun 2010 lalu.

Pada awalnya, kedatangan tim asing ini diharapkan akan meningkatkan level sepak bola Singapura. Dalam kondisi yang sama, kehadiran tim-tim tersebut juga diharapkan bisa mempermudah klub untuk merekrut pemain asing. Dan lebih jauh lagi yaitu mencari pemain yang tepat terutama ketika program naturalisasi sedang begitu populer di negara seluas 719 kilomenter persegi tersebut.

Meskipun demikian, yang terjadi selanjutnya justru sebaliknya. Tim-tim asing tersebut mendominasi sepak bola Singapura terutama dalam tiga tahun terakhir. Setelah gelar juara jatuh kepada DPMM dari Brunei pada kompetisi tahun 2015, dalam dua edisi beruntun setelahnya, trofi juara Liga Singapura selalu menjadi milik Albirex Niigata, tim satelit dengan nama sama yang berasal dari Jepang.

Superioritas tim asing ini kemudian berpengaruh kepada sulit berkembanganya bakat-bakat lokal Singapura. Karena untuk menghadapi para tim asing ini, tim-tim asli Singapura kemudian mengandalkan pemain asing. Contoh kecil bisa dilihat bagaimana daftar pencetak gol terbanyak Liga Singapura musim ini yang di dominasi oleh para pemain asing.

Hanya ada sedikit nama pemain asli Singapura yang berada di daftar teratas. Bahkan, nama yang ada di sana adalah Shahril Ishak yang sudah mulai uzur. Ke mana generasi teranyar sepak bola Singapura seperti Adam Swandi, Taufik Suparno, dan Fandi bersaudara?

Terbayang apa yang terjadi seandainya ada tim “tamu” yang berkompetisi di sepak bola Indonesia. Ada pemain naturalisasi saja sudah kepayahan, apalagi ini ada tim asing yang ikut berkompetisi di kancah sepak bola Indonesia. Indonesia, dalam hal ini, patut sedikit bersyukur.

Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia