Nasional Bola

Pensiunnya Sang Jenderal dari Manado, Firman Utina

7 November 2014 menjadi hari yang selalu diingat sepanjang karier Firman Utina. Partai final Liga Super Indonesia 2014 yang mempertemukan antara Persipura Jayapura dengan Persib Bandung, laga mesti berlanjut ke babak adu penalti setelah skor imbang dari waktu normal hingga babak perpanjangan waktu. Penendang keempat Persipura, Nelson Alom, gagal menjalankan tugasnya dengan baik. Harapan besar ada di pundak Achmad Jufriyanto yang merupakan penendang kelima Persib.

Firman sadar bahwa saat itu ia sama seperti pemain lain dan para suporter Persib yang hanya bisa berharap. Ia berlutut bersama para pemain lainya dan terus berdoa. Muhammad Ridwan menjadi pemain yang paling keras suaranya dalam berdoa sementara pemain lain mengamini. Sembari melihat Achmad Jufriyanto berjalan menuju kotak penalti, pikiran Firman melayang jauh. Kumpulan memori kemudian muncul di benaknya, bagaimana ia selalu berhasil membawa kesebelasan yang ia bela ke tahap tertinggi.

Tetapi di Persib Bandung, menjadi sesuatu yang spesial bagi sosok Firman Utinan. Tantangannya berbeda ketimbang ketika ia berada di kesebelasan lain. Ada misi mustahil sebelum tahun 2014 tersebut yang selalu diusung. Yaitu tentang bagaimana dirinya bisa membawa kesebelasan berjuluk Maung Bandung tersebut menjadi juara setelah puasa selama hampir dua dekade. Maka, keberhasilan meraih gelar juara akan menjadi momen yang sangat bersejarah. Dan Firman ingin menjadi bagian dari waktu yang bersejarah tersebut.

Sejak meninggalkan Persma Manado, dan memulai petualangannya di Persita Tangerang, Firman selalu mengecap kesuksesan. Ia memang gagal membawa Persita menjadi juara di Liga Indonesia tahun 2002, karena takluk dari Petrokimia Putra. Akan tetapi, partai final tersebut menjadi momentum yang mengangkat nama Firman Utina ke jajaran teratas.

Berlanjut ketika ia hijrah ke Arema Malang, dan berhasil membawa kesebelasan tersebut meraih gelar Copa Indonesia dalam dua edisi beruntun. Hattrick dan gol indah yang diciptakannya di partai final Copa Indonesia 2005 semakin membuat nama Firman Utina terbang tinggi. Saat itu, ia sudah tidak lagi dikategorikan sebagai pemain muda berbakat, tetapi sebagai pemain matang dengan kualitas kelas satu.

Dari Arema, Firman kemudian bergabung ke Pelita Jaya. Boleh jadi ia di sana memang nirgelar, tetapi saat itu Firman bergabung bersama tim super berisikan pemain-pemain bintang di kancah sepak bola Indonesia. Di klub tersebut pula, ia bermain pertama kali bersama Supardi Nasir dan Muhammad Ridwan, di mana kemudian mereka bersama-sama pergi dari satu klub ke klub lain dan menjadi juara.

Sempat berseragam Persija Jakarta, di mana Firman menggunakan nomor punggung 8+7, karena nomor punggung 15 sudah dikenakan oleh Aliyuddin, Firman kemudian mendarat di Sriwijaya FC. Hampir serupa dengan yang terjadi di Pelita Jaya, di tim Elang Sriwijaya, Firman bergabung dengan para pemain bintang lain. Gelar Liga Super Indonesia kemudian berhasil dipersembahkan Firman untuk bumi Palembang.

Di tempat yang sama, Firman kemudian mengantarkan Persib Bandung meraih gelar juara nasional setelah 19 tahun. Sudah terrekam dalam sejarah bagaimana kemudian Achmad Jufriyanto berhasil menjalankan tugasnya dengan baik sebagai penendang kelima Persib. Di akhir hari, Firman bersama rekan-rekan setim lainnya pun kemudian mengangkat trofi.

Selama hampir dua dekade karier sepak bola profesionalnya, Firman merupakan jaminan trofi bagi siapapun klub yang mengontraknya. Bahkan di musim terakhirnya, ia juga terlibat dalam kesuksesan Bhayangkara FC meraih gelar juara Go-Jek Traveloka Liga 1.

 

Terkait cerita Bukit Jalil tahun 2010

Firman merupakan satu dari sekian pemain yang memiliki karier yang bagus baik di klub maupun di tim nasional. Karena biasanya, ada beberapa pemain yang hanya sukses di klub, atau fenomena yang tidak biasa yaitu hanya bagus ketika bermain untuk tim nasional. Firman memiliki catatan karier yang juga cemerlang sejak memperkuat timnas pelajar Indonesia pada tahun 2000.

Total ia bermain di empat Piala AFF, dua edisi SEA Games, dan beberapa penampilan di ajang kualifikasi Olimpiade, Piala Asia, maupun Piala Dunia. Firman juga termasuk dalam generasi emas sepak bola Indonesia yang tampil di Piala Asia 2007. Ketika itu, Indonesia menjadi tuan rumah bersama Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Rasanya agak sulit mencari pemain seperti Firman. Semua tahu bagaimana pemain kelahiran Manado, 15 Desember 1981 ini dikenal karena operan-operan dengan kualitas terbaik. Selain itu, ia juga dikenal sebagai pemimpin yang karismatik baik di dalam maupun di luar lapangan.

Firman merupakan sedikit pemain di posisi gelandang yang kemudian mendapatkan kehormatan sebagai kapten tim nasional Indonesia. Istilah jenderal lapangan tengah sangat terasosiasi dengan sosok seorang Firman Utina. Atribut inilah yang rasanya jarang ada di gelandang-gelandang generasi saat ini seperti Hargianto, Hanif Sjahbandi, bahkan dalam diri si bocah ajaib, Evan Dimas Darmono.

Di antara kegemilangan kariernya, ada satu hal yang masih sangat mengundang banyak tanda tanya. Yaitu soal kasus yang terjadi di pertandingan putaran pertama final Piala AFF 2010. Ketika itu, Indonesia secara mengejutkan takluk dari Malaysia dengan skor 3-0. Padahal, skuat Garuda yang kala itu ditangani oleh Alfred Riedl, tampil luar biasa sepanjang turnamen.

Desas-desus menyebutkan bahwa ada beberapa penggawa timnas yang terlibat suap sehingga memilih mengalah dalam pertandingan tersebut. Nama Firman terseret lantaran ia merupakan deputi kapten tim saat itu. Dalam sebuah obrolan santai bersama penulis di pertengahan tahun 2017, Firman sedikit memberikan klarifikasi terkait apa yang sebenarnya terjadi di Stadion Bukit Jalil, 26 Desember 2010.

“Saya terkejut karena setelah final (AFF 2010) banyak beredar jika Firman Utina terlibat suap. Padahal banyak yang tidak tahu bahkan untuk sekadar bertanding di laga tersebut, saya sampai mengorbankan banyak hal. Sebenarnya saya memaksakan diri untuk bermain, karena dokter tim saat itu menyebut bahwa saya tidak bisa bermain. Saya bersikeras, karena istilahnya saya ingin berjuang sampai akhir, sampai kaki saya benar-benar sudah tidak bisa digerakkan lagi.”

“Pertandingan memang saya akui berjalan tidak sesuai dengan perkiraan. Kami kemasukan dengan cepat. Memang ada beberapa kejadian yang boleh dibilang mengherankan. Tetapi ya, mungkin saat itu memang bukan rezeki kami. Saya pernah bilang ke Bepe (Bambang Pamungkas) ‘Gua bersumpah kalau memang gua terlibat suap, karier gua setelah ini (Piala AFF 2010) bakal hancur. Dan gua memohon keadilan kepada Allah jika yang memang terlibat suap, maka karier dia yang akan hancur setelah ini’,” ucap Firman.

***

Vladimir Vujovic, bek asing asal Montenegro, menyebutkan bahwa sepak bola Indonesia akan kehilangan ketika pemain seperti Firman, Ponaryo Astaman, Bambang Pamungkas, dan Ricardo Salampessy, gantung sepatu. Menurutnya pemain yang disebutkan di atas merupakan contoh bagi generasi selanjutnya. Bagaimana bermain untuk tim, memberikan segalanya untuk tim, melepaskan seluruh ego pribadi, dan berjuang bersama tim.

Bukan hanya para penggemar klub-klub yang pernah dibela Firman saja yang akan merasa kehilangan, tetapi juga rasanya seluruh rakyat Indonesia akan merindukan sosok jenderal dari Manado ini beraksi di Lapangan.

Selamat pensiun, legenda!

Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia