Laga Sevilla melawan Liverpool pertengahan pekan lalu menyisakan banyak cerita. Publik Sevilla sudah menunggu-nunggu kedatangan Liverpool. Bagi mereka, Liverpool membawa kenangan manis final Liga Europa 2016 di Basel. Saat itu, dua gol Coke dan satu gol Kevin Gameiro membalikkan keunggulan satu gol The Reds di babak pertama yang dicetak Daniel Sturridge.
Warga Andalusia, terutama kota Sevilla, sama sekali tak ada masalah dengan orang-orang Inggris. Sebagai salah satu kota di Eropa yang paling banyak dikunjungi wisatawan, bahkan dinobatkan Lonely Planet menjadi destinasi wisata wajib tahun 2018, warga Sevilla sudah akrab dengan para pelancong asal Britania Raya. Banyaknya alternatif maskapai berbujet murah juga semakin membuat ibu kota Andalusia ini semakin terekspos dengan kedatangan turis Inggris. Apalagi di musim gugur, Sevilla menjadi impian para warga Inggris untuk mencari cahaya matahari.
Namun, kunjungan Liverpool ke stadion Ramon Sanchez Pizjuan pada 21 November 2017 lalu disambut sangat serius oleh para pendukung Sevilla. Beberapa pendukung garis keras masih menyimpan dendam atas perkelahian dengan hooligans Liverpool di Basel pada tahun 2016 lalu. Mereka juga seolah ingin menciptakan ‘neraka’, mengingat hampir di setiap media olahraga, klub Inggris itu yang lebih diunggulkan dari mereka.
Sejam sebelum pertandingan berlangsung, saya sedang duduk-duduk di balkon lantai dua Nervion Plaza, sebuah mal pusat perbelanjaan yang terletak pas di depan Stadion Pizjuan. Saya sedang menikmati segelas sangria ketika mendengar suara ribut-ribut di bawah.
Dengan bergegas, saya mengikuti beberapa pengunjung mal lain yang ingin melihat sumber keramaian. Ternyata di jalanan depan stadion, para ultras Biris Norte (tribun utara stadion) sedang menabuh ‘genderang perang’. Mereka bernyanyi-nyanyi sambil menyalakan flare, menunjukkan bahwa kali ini Sevilla bukan tempat liburan yang nyaman bagi para pemain Liverpool.
Lima belas menit menjelang pertandingan berlangsung, saya sudah berada di tribun pers. Berbeda dari biasanya, area khusus jurnalis tersebut dipadati para kuli tinta berbahasa Inggris. Tribun penonton juga penuh sesak, tak terlihat satu pun tempat duduk kosong di Stadion Pizjuan yang berkapasitas 42.500. Tiket pertandingan memang sudah ludes terjual bahkan sebelum penjualan daring dibuka seminggu menjelang pertandingan.
Antusiasme para Sevillistas nyaris berakhir dengan kekecewaan besar. Kelengahan barisan belakang Los Nervionenses dalam menghalau sepak pojok berhasil dimanfaatkan para barisan penyerang Liverpool yang berbuah gol Roberto Firmino pada menit ke-2 babak pertama. Tak sampai dua puluh menit kemudian, Sadio Mane mencetak gol lewat proses yang sama. Ketegangan lalu memuncak pada menit ke-30 ketika Firmino mencetak gol ketiga Liverpool pada menit ke-30.
Babak pertama yang berakhir dengan ketertinggalan tiga gol tuan rumah atas Liverpool membuat suasana stadion terkesan mencekam. Hampir setiap detik, terdengar siulan yang ditujukan kepada para pemain mereka sendiri. Untungnya, hujatan berubah menjadi harapan ketika Sevilla mulai bangkit di babak kedua dengan gol Wissam Ben Yedder pada menit ke-51.
Sambil memantau berbagai percakapan para jurnalis Spanyol di Twitter, saya berkesimpulan bahwa respons Sevilla tersebut membubungkan keyakinan Sevilla akan mampu meng-Istanbul-kan Liverpool. Benar saja, Ben Yedder mencetak gol kedua lewat titik penalti beberapa menit kemudian. Uniknya, biang kerok terjadinya penalti adalah pemain lokal Sevilla yang memperkuat Liverpool, Alberto Moreno.
Akhirnya Sevilla benar-benar membalikkan peristiwa Istanbul yang bersejarah itu kepada lawannya. Pemain pengganti Guido Pizarro lagi-lagi memanfaatkan kesalahan lini belakang lawan untuk menyamakan kedudukan 3-3 di injury time. Setelah gol penyama kedudukan dramatis itu, seisi stadion Pizjuan serasa meledak. Para penonton di depan saya bahkan nyaris terjatuh dari kursi mereka akibat kegirangan.
Suasana riuh usai gol ketiga Sevilla ke gawan Liverpool🔥🔥🔥. pic.twitter.com/HsxLKe81zS
— Football Tribe 🇮🇩 (@FootballTribeID) November 21, 2017
Memori kebangkitan The Reds dari ketertinggalan tiga gol di babak pertama atas AC Milan di Istanbul pada tahun 2005 lalu secara otomatis kembali ke benak setiap penonton. Namun kali ini, Liverpool-lah yang terkena bencana membuang keunggulan tiga gol. Sepanjang babak kedua, memang terlihat jelas Jordan Henderson dan kawan-kawan terlalu cepat puas hingga akhirnya diberondong kebangkitan Sevilla.
Sebagai penonton netral, saya benar-benar terhibur dengan enam gol yang terjadi di pertandingan tersebut. Bergegas saya menuju ruang konferensi pers untuk mendengar komentar pelatih kedua tim atas hasil ini. Lagi-lagi, ruang konferensi pers sudah dipadati para jurnalis yang sebagian besar berbahasa Inggris, bahkan beraksen Scouse (aksen khas wilayah Merseyside, Liverpool).
Saya merasa terhibur sendiri selama sekitar sepuluh menit mendengar penuturan pelatih Liverpool, Jürgen Klopp. Pelatih asal Jerman ini sama sekali tak segan-segan mengkritik performa anak-anak asuhnya, terutama di babak kedua. Meski demikian, ia menekankan kegagalan mempertahankan keunggulan tersebut adalah kesalahan kolektif. “Sejak peluit pertama babak kedua, kami berhenti bermain sepak bola,” katanya menyimpulkan.
Satu insiden menarik terjadi ketika seorang jurnalis Spanyol mencoba memancing Klopp dengan mengulik kegagalannya menaklukkan Sevilla baik bersama Mainz maupun Liverpool. Klopp sempat terlihat kesal, mungkin karena harga dirinya terusik. Ia sempat berseru, “Do you want to make it personal, huh?” Sebelum kemudian ia menahan emosinya dan menjawab diplomatis, “ya, beginilah sepak bola, kita tak bisa memprediksi hasilnya dengan mudah.”
Di sisi lain, pelatih Sevilla, Eduardo Berizzo, lebih kalem menyikapi hasil tersebut dengan pernyataan, “Ini adalah hasil yang baik, saya bangga atas perjuangan pasukan saya.” Pada saat itu, saya merasa tak terlalu tertarik karena reaksi Berizzo cenderung monoton dibanding Klopp sebelumnya.
Namun, ternyata sebuah kabar sedih muncul ke permukaan sehari setelah pertandingan tersebut. Berizzo didiagnosis menderita kanker prostat dan harus segera menjalani perawatan. Simpati pun mengalir dari seluruh dunia untuk mendoakan kesembuhan pria Argentina tersebut.
Lawatan Liverpool ke Sevilla pada pertengahan November 2017 tersebut pasti akan menyisakan kesan tersendiri untuk waktu lama. Saya sendiri sudah menempatkan laga tersebut sebagai salah satu laga terseru yang pernah saya saksikan langsung.
Author: Mahir Pradana (@maheeeR)
Mahir Pradana adalah pencinta sepak bola yang sedang bermukim di Spanyol. Penulis buku ‘Home & Away’.