Sepak bola Eropa seakan diterpa badai. Banyak sekali bintang-bintang sepak bola yang kemudian memutuskan untuk pensiun. Atau, ada beberapa yang lain memutuskan untuk kembali ke klub yang membesarkan mereka. Dengan kata lain, hanya tinggal beberapa tahun lagi saja sebelum mereka pensiun. Kepergian dari Phillip Lahm, Xabi Alonso, Andrea Pirlo, serta Francesco Totti dari lapangan hijau, tentu menyisakan kenangan yang luar biasa. Belum lagi Gianluigi Buffon yang mengindikasikan hal hampir serupa.
Sebenarnya bukan hanya sepak bola Eropa saja yang mesti siap dengan kehilangan. Bagi para penikmat sepak bola lokal, atau sepak bola Indonesia pun, mesti mengalami kewaspadaan yang serupa. Banyak fenomena-fenomena yang menunjukan bahwa sebuah generasi akan pergi dan segera datang para pengganti.
Bagi generasi milenial, maka ingatan tentang sepak bola yang paling banyak memiliki kesamaan tentunya adalah dimulai pada Piala Tiger (kini Piala AFF) 2002, atau beberapa ada yang menyebutkan bahwa dimulai dari Piala Tiger 2004. Ini kemudian terus berlanjut ke Piala AFF 2007, juga pada tahun yang sama, Indonesia bersama dengan Thailand, Malaysia, dan Vietnam, menjadi tuan rumah bersama Piala Asia. Kemudian terjadi sedikit pergeseran dan masuknya generasi baru di Piala AFF 2010.
Ponaryo Astaman baru saja mengumumkan pensiun dari kancah sepak bola profesional. Ia mengikuti jejak rekannya yang sudah lebih dulu gantung sepatu dan memutuskan berkarier di dunia kepelatihan, yaitu Elie Aiboy dan Hendro Kartiko. Tentu masih segar dalam ingatan bagaimana nama-nama ini memperkuat Indonesia di Piala Tiger 2004, di mana Boaz Solossa menjadi bintangnya.
Baca juga: Selamat Pensiun, Ponaryo Astaman!
Pensiunnya Ponaryo menjadi semacam alarm atau penanda bahwa para pemain yang berada satu generasi dengan dirinya sebentar lagi akan melakukan hal yang serupa. Karena beberapa hari kemudian, tandem Ponaryo di timnas Indonesia Piala Asia 2007, Syamsul Bachri, ikut menyatakan pensiun dari sepak bola profesional.
Ke depannya kita tidak akan bisa lagi melihat Ricardo Salampessy atau Hamka Hamzah, dengan ketenangan serta kercedasannya menghentikan penyerang lawan. Kita tidak akan lagi bisa melihat Zulkifli Syukur atau Ismed Sofyan dengan umpan-umpan terukur yang mereka lepaskan. Kita tidak akan lagi melihat bagaimana operan-operan visioner yang dilepaskan oleh Firman Utina dan kita tidak akan melihat lagi Bambang Pamungkas mencetak gol ke gawang lawan.
Terutama setelah keberhasilan meraih gelar juara Piala AFF usia muda di Sidoarjo pada tahun 2013 lalu, sepak bola Indonesia memunculkan idola-idola baru, juga kemudian muncul idola-idola lain pada tahun-tahun selanjutnya. Generasi terkini mungkin lebih akrab melihat bagaimana Febri Hariyadi berlari kencang mengobrak-abrik pertahanan lawan, ketimbang ketika Elie Aiboy atau Mahyadi Panggabean melakukan hal yang sama di waktu-waktu sebelumnya.
Generasi pengganti boleh jadi memiliki kematangan serta kemampuan yang lebih lengkap ketimbang generasi-generasi sebelumnya yang ada di kancah sepak bola Indonesia, tetapi apakah mereka akan memiliki sifat atau attitude yang sama seperti para senior mereka? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.
Setiap generasi memiliki kesan yang sangat berbeda, karena ketika penulis membicarakan betapa hebatnya Achmad Jufriyanto misalnya, keluarga penulis lain yang berusia lebih tua menyebut bahwa menurut mereka bek yang hebat adalah Bejo Sugiantoro atau Charis Yulianto. Atau bagi yang lebih uzur lagi mungkin akan menyebut nama Robby Darwis, misalnya.
Maka, nikmatilah aksi para para pemain seperti Firman Utina, Ricardo Salampessy, Hamka Hamzah, Zulkifli serta Bepe, ketika mereka masih bisa berlari di lapangan. Karena seperti yang sudah banyak diketahui, kita baru merasakan esensi dari segala sesuatu setelah hal tersebut benar-benar hilang dari kehidupan kita.
Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia