Kolom

Ketika Tak Ada Lagi Andrea Pirlo…

Bersama Jürgen Klopp, saya rasa, sosok Andrea Pirlo layak dimasukkan dalam kategori ‘pesepak bola yang tak akan mungkin bisa kita benci’. Lahir di Flero, Brescia, pria yang sebagian besar kariernya dihabiskan untuk memukau pencinta sepak bola dengan visi dan umpan ajaibnya ini, hadir di tengah-tengah keluarga yang berada dan mapan. Satu alasan yang kemudian membuat kariernya tak pernah dimotivasi oleh uang dan ketenaran.

Dia melompat dari masing-masing big three Serie A, Internazionale Milano, AC Milan, hingga Juventus, tanpa pernah dicaci sebagai sang Judas, atau ia yang berkhianat. Pirlo memang bukan Judas, ia adalah, mengutip ucapan Gianluigi Buffon, “Ketika ia (Pirlo) bilang akan bergabung bersama kami (Juventus), saya langsung percaya, Tuhan itu ada.” Ya, mungkin, di Italia, Pirlo ada Yesus itu sendiri.

Selain Juan Roman Riquelme, Pirlo layak dimasukkan sebagai pemain yang menikmati sepak bolanya sebagai medium untuk bersenang-senang, bukan semata untuk bertanding. Ada makna yang benar-benar diresapi oleh Pirlo, sebagai pesepak bola idealis, yang membuatnya mudah sekali dicintai. Menolak bergabung dengan dream team Barcelona di era Pep Guardiola karena konon sulit meninggalkan peluang bermain gim dengan Alessandro Nesta, hanya semakin menjustifikasi bahwa selepas Riquelme, masih ada pemain yang membuat sepak bola bukan ajang kejar-mengejar trofi belaka.

Kalau kamu seorang pemula di dunia bal-balan, dan baru lahir di era Pirlo sudah menjadi legenda besar dan bahkan sudah akan pensiun, untuk mengakui hebatnya Pirlo, coba tengok ucapan Gennaro Gattuso berikut: “Ketika melihatnya (Pirlo) bermain, dan melihat bola bekerja di kakinya, saya selalu bertanya kepada diri sendiri, ‘apakah saya benar-benar seorang pesepak bola?’”

Kredit: Andrea Pirlo

Namun, ternyata ia masih manusia biasa…….

Hanya satu hal yang membuat seorang Pirlo nyatanya masih manusia biasa. Usai kekalahan dramatis di Istanbul oleh Liverpool, Pirlo yang terluka batinnya, mengucap sendu, “Aku memikirkan akan pensiun usai pertandingan itu, sebab semua terasa tak masuk akal lagi. Istanbul benar-benar melukaiku. Orang perlu memasukkan nama penyakit baru dengan sebutan ‘sindrom Istanbul’. Berkat itu, aku merasa bukan lagi seorang pemain sepak bola. Parahnya lagi, aku merasa bukan seperti manusia.”

Kalimat yang terasa dalam dan menohok.

Namun, hidup ternyata tak pernah benar-benar jahat kepada sang maestro. Setahun berselang, ia mengangkat trofi Piala Dunia 2006 setelah musim penuh skandal yang menimpa sepak bola Italia. Anda masih ingat no-look pass Pirlo untuk gol krusial Italia yang dicetak Fabio Grosso? Ya, itu mahakarya yang luar biasa. Setahun setelahnya, ia kembali bertemu Steven Gerrard dan Liverpool, untuk menuntaskan luka lama di Istanbul. Takdir berkelindan dengan sempurna di karier Pirlo, manis dan pahit, dalam satu jalur bersamaan.

Kredit: Andrea Pirlo

Pirlo dalam kerangka taktik

Melihat Pirlo bekerja adalah perihal melihat wujud nyata bekerja dengan otak. “Kita bermain (sepak bola) dengan otak, sebab kaki hanya alat saja.” Kalau kita orang Inggris, mungkin kita akan menertawakan kalimat Pirlo tersebut. Untungnya, kita orang Indonesia, dan kita harus benar-benar meresapi kalimat pria yang perawakannya mirip Severus Snape ini.

Pirlo adalah pemain sederhana, dengan kualitas kelas satu. Sederhana adalah caranya bermain dan menetapkan posisi. Ia tahu tak punya tekel kualitas terbaik. Ia bukan pelari kencang dan punya fisik yang bagus layaknya Gattuso, misalnya. Di suatu wawancara, Pirlo sempat bilang, satu yang paling ia benci adalah pemanasan sebelum laga.

Maka dari itu, Pirlo, sang maestro, sang metronom, bermain dengan cara yang sederhana saja. Menyediakan posisi sebaik mungkin untuk menerima bola, dan mengantarkan bola dengan tingkat akurasi yang luar biasanya selalu kelas atas. Deep-lying playmaker, peran yang diemban Pirlo hampir di sebagian besar kariernya, perlu diubah namanya. Peran itu harusnya bernama Pirlo’s role, karena pada masanya, tak ada yang mampu melakoni peran itu sebaik Pirlo.

Keengganannya kepada latihan fisik pula yang membuatnya, di usia 38 tahun, merasa cukup dengan sepak bola. Ia memang seperti anggur tua di dalam botol yang tersimpan lama. Semakin tua, semakin nikmat. Tapi, Pirlo, sang maestro itu, sudah merasa lelah. “Di usia saat ini, sangat sulit menjaga kebugaran. Saya sudah tidak merasa fit sepanjang pekan dan saat ini, pensiun terasa masuk akal.” Itu pula yang mungkin sering sekali kita melihat cuplikan video di mana Pirlo hanya berdiri diam mematung kala timnya terakhir ini, New York City FC, menghadapi sepak pojok dari lawan.

Pria karismatik tersebut sudah lelah. Ia tak perlu membuktikan apa-apa lagi kepada dunia. Kariernya sudah terlalu luar biasa, dan kualitasnya semasa bermain akan menjadi memori yang tak akan lekang oleh waktu.

Grazie, maestro.