Kolom

Tony Pulis, Ia yang Bermain Sepak Bola Memakai Langit

Tiga hal yang saya ingat baik-baik dari Tony Pulis: topi, sepak pojok, dan bola-bola panjang. Publik Inggris hampir tak pernah memberi kredit besar untuknya, tapi satu hal yang pasti, terlepas dari jebloknya West Bromwich Albion (WBA) musim ini, Pulis hampir selalu selamat dari degradasi.

Sejak mengawali karier manajerial di Bournemouth, pria Wales berusia 59 tahun ini banyak berkubang di jajaran klub-klub medioker Britania. Gillingham, Bristol City, Plymouth Argyle, hingga dua periode bersama tim ikonik yang pernah memiliki relasi kuat dengan Pulis, Stoke City. Bersama Stoke pula, di masa Tony Pulis, pada 2010 lalu, muncul kalimat bersejarah kutipan Andy Gray itu, “can he do it on a cold, wet Wednesday night in Stoke?”

Kalimat ini, ditujukan oleh Gray, seorang komentator sepak bola, terhadap megabintang milik FC Barcelona, Lionel Messi. 2010 memang masih termasuk ke dalam masa di mana Messi, tak hanya menguasai Spanyol, tapi juga mendominasi Eropa dengan Pep Guardiola dan permainan sepak bolanya yang penuh daya magis itu. Tapi, ini kemudian mengundang reaksi, bisakah Messi, sang Messiah itu, melakukan semua magisnya di hadapan Tony Pulis, pada malam dingin di Stoke?

Selain periode kedua di bet365 Stadium bersama Stoke, Pulis hampir tidak pernah lama menukangi satu tim. Rataan tahun melatihnya hanya di kisaran 2,36 tahun, tanda bahwa dengan mengabaikan catatan di periode keduanya di Stoke yang berlangsung selama tujuh tahun, Pulis bukan sosok seperti David Moyes di Everton, yang begitu legendaris. Tapi, di Stoke pula, ia membangun mahakaryanya sendiri, dengan caranya sendiri.

 

Pulis di antara tenaga dan angkasa

Arsene Wenger pernah menyebutnya sebagai ‘The real Englishman with a lot of dignity’, untuk menjuluki salah satu lawan paling menyebalkan yang pernah dilawan Sang Profesor di Liga Inggris, selain Jose Mourinho, Sam Allardyce, dan Sir Alex Ferguson.

Pulis, memulai rezimnya di Stoke, dan di kemudian hari, dengan dua hal yang memorable: perpaduan antara tenaga dan bola-bola panjang. Dia merekrut Rory Delap, mengasahnya hingga menjadi salah satu long thrower terbaik di Liga Inggris. Berkat Pulis, Delap kerap memakai kelebihannya melempar lemparan ke dalam sebagai medium untuk membuat peluang mencetak gol.

Lihat daftar pemain yang diasuhnya di Stoke, kamu akan tahu Pulis adalah sosok filosofis, dengan caranya sendiri. Dari Robert Huth sampai Ryan Shawcross, atau Glenn Whelan sampai Jonathan Walters, semua adalah perpaduan yang sangat Pulis sekali. Kombinasi otot, keuletan, dan kerja keras. Berkat Pulis pula, 40 persen dari catatan 21 asis Delap bersama Stoke, dibukukan lewat kemampuan lemparan ke dalamnya yang berkesan itu.

Usai menangani Stoke, sempat satu periode di Crystal Palace, sang gaffer kemudian berlabuh di West Bromwich Albion, tempat di mana ia memantapkan pesonanya sebagai raja bola panjang dan pertahanan yang tangguh. Gareth McAuley dan Craig Dawson disulap menjadi bek tangguh di belakang, juga jangan lupakan tangan dingin Pulis yang mengubah Jonny Evans, yang habis kariernya di Manchester United, bersinar lagi di The Hawthorns.

Ada perpaduan dari tenaga lewat sosok seperti Claudio Yacob, James McClean, dan Salomon Rondon, dengan eksekutor bola mati jempolan seperti Chris Brunt. Pulis hampir tidak pernah mengkhianati filosofinya, tentang permainan bertahan dan bertenaga, bola panjang, dan detail-detail kecil saat sepak pojok.

Baca juga: Deretan Manajer Liga Primer Inggris yang Sudah Dipecat Musim Ini

Craig Dawson, dalam wawancaranya dengan media lokal di West Midlands, pernah berujar bahwa sang pelatih, begitu teliti dengan detail kecil saat persiapan sepak pojok dan tendangan bebas, baik saat bertahan ataupun menyerang. Ia sudah tahu harus ke mana bola dilepaskan saat mendapat sepak pojok atau tendangan bebas, dan juga sudah siap mengantisipasi ketika bola melambung masuk ke kotak penaltinya di situasi bola-bola mati.

Bersama Pulis, West Brom tidak pernah bermain cantik seperti yang masyarakat Inggris inginkan tentang sepak bolanya, tapi, sebelum musim ini, dia tak pernah terjerembab di jerat relegasi bersama tim asal West Midlands ini. Tiga tahun terakhir bersama WBA, prestasi stabilnya di peringkat 13, 14, dan 10, salah satu peringkat terbaik yang ia raih bersama WBA, termasuk merepotkan banyak tim papan atas dan menghancurkan Arsenal 3-1 di The Hawthorns, lewat dua gol dari sepak pojok yang sistematis.

Menutup artikel ini, mengutip twit dari jurnalis Inggris, Rory Smith, agaknya sangat pas dan syahdu untuk menutup tulisan tentang betapa ikoniknya sosok Tony Pulis bagi penikmat sepak bola Inggris. Rory, menulis dengan apik, tribute terbaik untuk Pulis, “Farewell, Tony Pulis. If God had wants us to play football on the ground, he wouldn’t have invented the sky.”

Pulis, an Englishman with dignity, kini telah dipecat dan menjadi korban kelima dari deretan manajer yang bernasib buruk di musim kompetisi 2017/2018 yang baru berjalan 12 pekan. Sampai jumpa lagi, Tony.

Author: Isidorus Rio Turangga (@temannyagreg)
Tukang masak dan bisa sedikit baca tulis