Eropa Italia

AC Milan: Meneguhkan Diri, Mengikis Mitos

Memutar waktu ke belakang, mengingat kembali sejarah merupakan anggur yang memabukkan bagi AC Milan. Mengenang kembali kejayaan masa lalu, bernostalgia dengan pemain-pemain luar biasa dan pencapaian yang gemerlap. Namun, mengingat kembali sejarah berarti melemahkan diri untuk kadar tertentu. Maka, sudah saatnya Milan menghapus mitos itu.

Tepatnya selepas musim 2003/2004, Milan sangat tergantung kepada sosok Ricardo Izecson dos Santos Leite “Kaka”. Bermaterikan skuat yang semakin menua, dengan kaki-kaki berat, Milan masih bisa mendominasi panggung Eropa. Dua kali Setan Merah dari Italia ini masuk ke babak final. Satu kali menjadi pecundang, satu kali menjadi jawara.

Di dua kesempatan menapaki babak final Liga Champions tersebut, sosok Kaka sangat sentral. Ia bukan murni penyerang, namun begitu tajam. Ia bukan gelandang serang asli, namun lihai membuat peluang. Kaka membuat situasi yang tak menguntungkan, menjadi sebuah jalan menuju penciptaan, yaitu gol pada ujungnya.

Selepas Kaka, Milan sangat bergantung kepada sosok Zlatan Ibrahimovic. Ia penyerang dengan mata selalu mengincar gawang. Sentuhannya yang berbahaya sangat dibutuhkan Milan ketika situasi pertandingan tak pernah menyenangkan untuk Milan. Legenda Swedia tersebut menjadi “juru selamat”, ketika Milan membutuhkan gol.

Pesona Kaka bukan hanya pada kemampuannya mengekreasikan peluang untuk dirinya sendiri atau ketajamannya di depan gawang. Kekuatan terbesar Zlatan adalah membantu rekan-rekannya di Milan saat itu mencapai performa yang tak terbayangkan sebelumnya.

Berbeda dengan masa Kaka, materi Milan tak betul-betul istimewa ketika Zlatan menjadi ujung tombak. Skuat masih didominasi banyak pemain veteran, atau mantan bintang yang sisa-sisa magis mereka hampir lesap. Kevin-Prince Boateng, Ronaldinho, Antonio Cassano, hingga Robinho. Untuk terakhir kali, mereka bermain sangat baik.

Zlatan membimbing Milan meraih gelar Scudetto ke-18. Meski tak selalu bermain apik, Milan di bawah pengawasan Zlatan hampir selalu bisa keluar dari masa-masa genting, untuk pada akhirnya menghindari kekalahan.

Nah, selepas Kaka dan Zlatan tak lagi berseragam Merah dan Hitam, kejayaan itu seperti tak lagi menjadi kekasih Milan. Raksasa Italia tersebut seperi dipaksa untuk masuk ke sebuah gua untuk hibernasi dalam waktu yang panjang. Milan kehilangan seorang pandu, satu sosok pemain yang bisa mengangkat performa tim dan kualitas pemain.

Baca juga: Apakah AC Milan Butuh Juru Selamat Seperti Kaka dan Zlatan Ibrahimovic?

Situasi ini melahirkan mitos. Apakah Milan bisa berjaya kembali ketika mereka “akan” bergantung kepada satu pemain untuk mencipta keajaiban? Sebelum masa Kaka, skuat Milan diisi pemain matang dengan mental pemenang. Setelah masa Kaka, deretan pemain seperti itu semakin menua dan digantikan pemain semenjana.

Masalah yang sama terjadi ketika Zlatan angkat kaki. Mercato Milan sangat buruk, yang berdampak ke barisan pemain baru yang dengan kualitas terbatas. Sebelum diakuisisi konsorsium Cina, pembelian Milan begitu buruk. Tak ada lagi pemain yang menonjol dan bisa dijadikan sandaran. Kualitas tetap ada, namun tak ada lagi nuansa kepemimpinan yang terasa.

Pun dengan musim ini, Milan berinvestai dengan nilai luar biasa besar, hingga 200 juta euro lebih, untuk memboyong 12 pemain baru. Jumlah pemain baru yang luar biasa besar, dengan risiko yang sangat tinggi. Pemain baru dalam jumlah besar tentu membutuhkan masa adaptasi yang lebih lama. Dan masalah inilah yang saat ini menjangkiti tubuh Milan.

Ketika situasi semakin memburuk, para pemain baru ini tak bisa berbuat banyak. Tak ada pemain yang akan berdiri dan lantang berbicara bahwa Milan harus segera bangkit. Bahkan sosok Leonardo Bonucci, pemain senior, yang langsung menyandang ban kapten, tak bisa berbuat banyak dan justru menjadi salah satu masalah Milan.

Demi memfasilitasi Bonucci, pelatih Milan sampai harus mengubah skema menjadi 3-5-2. Perubahan yang “dipaksakan” ini berbuah pahit. Skuat tak menemukan keseimbangan, dan Vincenzo Montella yang menjadi kambing hitam.

Bagaimana dengan pemain Milan lainnya, baik yang lama maupun yang baru? Pemain lama, kapten Milan terdahulu, Riccardo Montolivo, justru bermain sangat buruk sebelum akhinya cedera panjang. Begitu juga dengan Ignazio Abate, bek kanan yang terbilang senior, yang tak bisa memberikan contoh kerja keras untuk rekan-rekannya yang baru.

Pemain baru? Dari Hakan Calhanoglu, Ricardio Rodriguez, Nikola Kalinic, hingga Andre Silva, adalah beberapa pemain yang akan dengan mudah penjadi pemain utama di klub lain. Mereka punya kualitas dan kelebihan yang unik. Namun, di antara semua kelebihan itu, tak ada kekuatan mental dan kesadaran untuk memenuhi ekspektasi, hingga memikul beban nama besar Milan.

Oleh sebab itu, selepas jeda pertandingan antarnegara, Milan akan membutuhkan semua pemain untuk saling menopang. Mereka tak lagi bisa berharap mukjizat dari “juru selamat” seperti Kaka dan Zlatan. Milan harus berjuang sebagai satu unit yang solid, dan dasar yang kokoh.

Investasi besar yang gagal tak hanya akan menyakiti Milan. Kegagalan ini akan menyakiti masa depan setiap pemain. Dengan pemahaman itu, demi menjaga masa depan, sudah waktunya saling meneguhkan. Supaya mitos ketergantungan itu terhapus, tak lagi menjadi warna dominan AC Milan.

Author: Yamadipati Seno (@arsenalskitchen)
Koki Arsenal’s Kitchen