Jika ada seorang pemain yang harus memiliki kepala paling dingin dan pikiran paling normal, itu adalah sang kiper. Bagi seorang kiper, memiliki otak yang mampu berpikir secara tenang adalah kebutuhan nomor satu. Tindakan impulsif yang tidak dipikirkan secara matang adalah hal terakhir yang boleh dilakukan seorang kiper, karena bahkan hanya kesalahan kecil yang dilakukan sang penjaga gawang dapat sangat merugikan dan berujung pada kehilangan poin dari timnya.
Namun, hal ini tak berlaku bagi Jens Lehmann. Pria asal Jerman ini menunjukkan bahwa kiper yang tangguh tak melulu harus bersikap normal, kiper yang hebat juga dapat memiliki sisi gila yang meledak-ledak.
Lehmann barangkali adalah satu dari beberapa kiper yang terkenal eksentrik. Pria yang lahir di Jerman Barat ini mengawali karier profesionalnya bersama klub besar Bundesliga, Schalke 04. Tanda-tanda nyentriknya Lehmann sudah mulai terlihat kala ia bermain bagi klub asal Gelsenkirchen tersebut.
Mengawali jejak sebagai pemain senior sejak musim 1988/1989, Lehmann tampil kurang impresif di beberapa musim pertamanya. Di tahun 1993, Mad Jens tampil amat buruk melawan Bayer Leverkusen setelah kebobolan tiga gol hanya dalam selang waktu tujuh menit di babak pertama. Akibatnya, ia pun ditarik keluar tepat ketika paruh pertama usai. Alih-alih mendukung teman-temannya dari bangku cadangan, Lehmann pun memutuskan untuk pulang sendiri menaiki tram, karena tidak kuasa menahan malu untuk menemui teman-temannya.
Kejadian ini tampaknya amat memukul Lehmann, namun, ia membuktikan bahwa kepulangannya tanpa seizin pelatih tidaklah sia-sia. Setelah performa yang memalukan tersebut, kiper yang lahir di tahun 1969 ini mampu bangkit dan menampilkan kemampuan terbaiknya.
Lehmann berhasil menjadi pahlawan Schalke di Piala UEFA (kini Liga Europa) di tahun 1997 setelah ia mampu mengunci kemenangan Die Konigsblauen usai menepis tendangan penalti pemain Internazionale Milano, Ivan Zamorano, saat adu penalti di babak final. Selain itu, sebagai orang yang tak takut untuk mengambil risiko, Lehmann pernah dua kali mencetak gol bagi Schalke, salah satunya adalah gol penyama kedudukan di menit akhir melawan rival abadi, Borussia Dortmund.
Di awal musim 1998/1999, Lehmann hijrah ke Italia setelah diakuisisi oleh AC Milan. Sayang, hari-harinya di Negeri Pizza tersebut tak akan diingat banyak orang. Selain tidak mendapatkan kesempatan utama, ia memang tampil buruk selama membela I Rossonerri. Puncak titik nadir Lehmann di klub kota mode dunia tersebut hanya terjadi setelah laga ketiganya.
Dalam pertandingan melawan Fiorentina yang diselenggarakan di San Siro, kiper Jerman ini menjadi pesakitan setelah kebobolan tiga kali oleh Gabriel Batistuta, yang salah satunya disebabkan oleh kesalahan ganjilnya setelah menangkap back-pass yang dilakukan rekan setimnya, yang berujung pada tendangan bebas tidak langsung hanya dalam jarak beberapa meter dari gawang yang ia jaga. Setelah itu, Lehmann hanya tampil sebanyak dua kali bagi Milan, dan memutuskan pindah di bursa transfer Januari musim itu juga.
Kepulangannya ke Jerman selepas memperkuat Milan memicu kontroversi. Pasalnya, Lehmann direkrut oleh rival berat Schalke, Borussia Dortmund. Wajar rasanya ia sempat ditolak oleh beberapa suporter Die Borussen, bukan hanya karena fakta ia adalah bekas pemain Schalke, namun juga performanya yang pasang-surut.
Beberapa kali Lehmann tampil impresif, namun tak jarang juga akibat kepribadiannya yang emosional, ia merugikan timnya. Ia menjadi kiper dengan rekor kedisiplinan terburuk sepanjang sejarah Bundesliga karena sikapnya tersebut. Ia pernah diberi kartu merah karena menendang penyerang SC Freiburg, Soumalia Coulibaly. Namun yang lebih parah adalah kartu merah yang ia terima di tahun 2003 setelah berkelahi dan mencekik rekan setimnya sendiri, Marcio Amoroso, di laga melawan bekas klubnya.
Namun, penampilan memukaunya juga membawa Dortmund menjadi jawara lokal di musim 2001/2002, setelah lama tak juara di liga sendiri. Tak hanya itu, Dortmund juga mampu menembus final Piala UEFA, meski harus kalah melawan wakil Belanda, Feyenoord Rotterdam. Di akhir musim 2002/2003, akhirnya ia pun kembali pindah dari Jerman.
Di awal musim 2003/2004, Lehmann yang kala itu sudah berusia 34 tahun direkrut oleh raksasa Inggris, Arsenal, menggantikan kiper legendaries, David Seaman. Kepindahan itu terasa seperti durian jatuh bagi Lehmann karena ia bergabung bersama Arsenal yang memang sedang bagus-bagusnya. The Gunners berhasil meraih piala emas Liga Primer Inggris di akhir musim tersebut setelah menjadi juara dan tak terkalahkan sepanjang musim di liga.
Andilnya di skuat The Invincibles memang tak kecil, namun inkosistensinya tak pernah hilang. Beberapa kesalahan ganjil, termasuk ketika Arsenal harus tersingkir di Liga Champions setelah kekalahan melawan Chelsea, tetap merugikan tim.
Meskipun sempat tampil kurang memukau di musim selanjutnya, Lehmann beruntung karena Arsenal hanya memiliki kiper kaliber Manuel Almunia sebagai pelapisnya. Lehmann mampu bangkit kembali di musim 2005/2006, dan meraih penghargaan sebagai kiper terbaik UEFA tahun 2006 dan menjadi bagian dari tim terbaik UEFA di musim tersebut.
Highlight-nya adalah ketika ia berhasil mencetak rekor di Liga Champions setelah tak kebobolan dalam 10 laga berturut-turut bersama Arsenal. Namun, bukan Lehmann namanya jika tak memiliki noda di kariernya, saat ia menjadi salah satu faktor utama kekalahan Arsenal di final Liga Champions musim tersebut setelah diberi kartu merah di menit 18 karena dengan ceroboh melanggar Samuel Eto’o.
Ia sempat membela VfB Stuttgart di musim 2008/2009 setelah kontraknya habis bersama Arsenal. Bersama klub Jerman tersebut, ia bertahan selama dua musim lalu memutuskan untuk pensiun. Namun, di bulan Maret 2011, Lehmann diminta untuk kembali dari masa pensiunnya oleh Arsene Wenger, dan menjadi kiper pelapis Arsenal setelah Wojciech Szczesny, Lukasz Fabianski, dan Vito Mannone cedera.
Ia menjadi pemain tertua Arsenal yang pernah bermain di Liga Primer Inggris setelah menjalani comeback-nya di bulan April 2011 ketika ia berusia 41 tahun. Akhirnya, di akhir musim, ia memutuskan untuk pensiun sebagai pemain sepak bola. Namun, kini, ia tetap melanjutkan kariernya di olahraga ini setelah terjun sebagai pelatih.
Meskipun kariernya sempat diwarnai oleh momen-momen yang tidak mengenakkan, tak dapat dipungkiri bahwa ketika sedang waras, Jens Lehmann adalah kiper yang sulit untuk ditaklukkan. Meskipun begitu, sisi gilanya yang tak dapat ia tinggalkan ketika bermain sebenarnya adalah bukti dari gairah dan mentalitas tak ingin kalah dari sang pemain.
Wenger membuktikan hal ini setelah mengatakan bahwa ia merekrut Lehmann untuk bekerja sebagai tim pelatih untuk menyuntikkan mental pemenang yang memang langka di skuat Arsenal akhir-akhir ini.
Zum geburtstag, Mad Jens!
Author: Ganesha Arif Lesmana (@ganesharif)
Penggemar sepak bola dan basket