Kolom

Drama dan Kontroversi di Manahan

Jorge Larrionda menatap nanar ke layar siaran ulang di jeda babak pertama dengan perasaan yang mungkin tak menentu. Protes David Beckham dan beberapa pemain Inggris di jalan masuk menuju ruang ganti, membuat pengadil lapangan dari Uruguay ini, bersama dua hakim garisnya kala itu, Mauricio Espinosa dan Pablo Fandino, meninjau siaran ulang.

Bola tendangan keras Frank Lampard telak menghantam mistar gawang Manuel Neuer, bola memantul ke bawah, dan sial bagi Neuer, bola memantul ke arah dalam gawang, melewati garis gawangnya. Rekaman teve menunjukkan aib, yang mungkin, akan terus mewarnai hidup Larrionda, bahkan hingga kini, ketika ia sudah memutuskan pensiun sejak tahun 2011.

Masih dengan seragam yang basah oleh keringat, Larrionda menatap layar siaran ulang, mengucap kalimat yang kemudian ikonik itu, “Oh my God….”, dan kemudian menjadi saksi salah satu kekalahan paling pelik yang pernah dialami Inggris dari seteru klasiknya, Jerman, di babak perdelapan-final Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan.

“Gol yang tidak disahkan itu adalah pembunuh pertandingan bagi kami. Saya hanya beberapa meter dari gawang Manuel (Neuer), ketika melihat bola tendangan Lampard sudah jauh melewati garis gawang. Ini saatnya teknologi memainkan peranannya di sepak bola”, ujar kapten Inggris kala itu, Steven Gerrard, beberapa waktu usai pertandingan berakhir.

Gerrard memang benar, karena tiga sampai empat tahun kemudian, teknologi garis gawang mulai diperkenalkan dan kini sudah resmi dipakai di beberapa kompetisi akbar dunia mulai dari Liga Champions Eropa, hingga Liga Inggris.

Drama di Afrika tahun 2010 itu, kemudian diulang, dan berakhir dengan situasi yang tak kalah pelik juga sore hari kemarin (3/11), di Stadion Manahan, Solo. Persija Jakarta menjamu tamu sekaligus rival klasiknya, Persib Bandung, dalam laga lanjutan Go-Jek Traveloka Liga 1. Memang bukan laga yang menentukan apapun, tapi kamu tahu, sepak bola terkadang soal gengsi, dan detail-detail kecil di laga penuh gengsi, akan selamanya membekas di benak suporter masing-masing.

Sundulan kepala Ezechiel N’Douassel yang mengoyak jala gawang Persija di pertengahan babak pertama adalah pembukanya, sebelum kartu merah Vladimir Vujovic dan keputusan Shaun Evans, wasit asing asal Australia, untuk meniup peluit akhir pertandingan di menit ke-83, menjadi penutup drama dan kontroversi di Manahan.

Evans, mungkin, sudah memimpin pertandingan seperti Jorge Larrionda di 2010 lalu. Memimpin dengan cukup baik dan tegas, terbukti dari beberapa kartu yang ia keluarkan untuk pelanggaran yang keras seperti terjangan Rudi Widodo kepada Kim Kurniawan, tekel keras Hariono kepada Rohit Chand, hingga kartu kuning berujung merah kepada Vujovic di akhir-akhir laga.

Tapi sepak bola, sekalipun diatur mengikuti Laws of the Game resmi dari FIFA, adalah olahraga yang banyak melibatkan aspek emosional dan sentimentil di dalamnya. Tidak ada satu pihak yang mau dirugikan, meskipun konteksnya, sepak bola bukan soal untung dan rugi. Itulah kenapa, ada sosok wasit di sepak bola, dan di Indonesia, makna wasit tak hanya pemimpin pertandingan, tapi juga seorang pengadil.

Hasil akhir di Manahan mungkin tak akan pernah bisa diubah, sama seperti gol Lampard yang tak pernah disahkan dan skor akhir 4-1 yang menjadi aib Inggris masih teringat jelas kala itu di benak Fabio Capello, sang pelatih Tiga Singa.

Yang dialami Inggris di 2010, mungkin semacam ‘balasan’ atas gol hantu Geoff Hurst di final Piala Dunia 1966, yang kebetulan, kala itu meladeni musuh yang sama namun berbeda nama, yakni Jerman Barat. Tapi Inggris yang diuntungkan di 1966, dan kemudian dirugikan di 2010, bukan cerminan terbaik bagaimana sepak bola harusnya dimainkan.

Sepak bola bukan masalah untung dan rugi, sebab ada hasrat dan emosi yang dimasukkan di dalamnya, sesuatu yang tidak diatur oleh aturan FIFA. FIFA membuat aturan untuk sistem, bukan untuk emosi manusia. FIFA mengatur agar pertandingan berjalan seperti kaidah yang tepat, tidak seperti sepak bola di era Romawi yang dimainkan ratusan orang dan memakan banyak nyawa. Tapi, FIFA sudah menerapkan teknologi garis gawang dan bahkan, video assistant referee, sampai kapan pengurus sepak bola Indonesia peka terhadap zaman dan menyadari bahwa wasit kualitas impor dan lokal nyatanya sama saja?

Protes Inggris dan Steven Gerrard, ‘sukses’ membuat FIFA menerapkan teknologi garis gawang, di mana Liga Primer Inggris jadi salah satu liga yang pertama kali memakainya ketika itu mulai diresmikan. Teknologi memang memuakkan, karena ia menyita kesenangan saat menonton dan menikmati sepak bola, tapi sepak bola tidak pernah benar-benar dinikmati secara netral.

Bagi penonton netral, drama dan kontroversi di Manahan adalah satu hal yang menyenangkan dan bisa diriuhkan sampai beberapa hari ke depan. Sesuatu yang memang mereka cari dari sepak bola, sebab olahraga ini memang bukan hanya sebuah pertandingan, tapi juga permainan. Tapi bagi mereka-mereka yang terikat kepada suatu entitas di sepak bola, kesalahan elementer wasit akan menjadi nyeri yang sulit hilang.

Author: Isidorus Rio Turangga (@temannyagreg)
Tukang masak dan bisa sedikit baca tulis