FC Internazionale Milano sudah lama tidak merebut gelar Scudetto, terakhir mereka meraihnya adalah musim 2009/2010, sebuah musim yang hingga kini masih hangat dibicarakan Interisti. Selepas musim tersebut, mereka harus merelakan rival-rival mereka berjaya. Musim 2016/2017 lalu, mereka pun gagal menembus kompetisi antarklub Eropa.
Namun musim ini berbeda. Berkat kemenangan yang mereka raih di kandang Hellas Verona, Selasa dini hari (31/10) waktu Indonesia, mereka tidak hanya memecahkan rekor poin terbanyak dalam sejarah mereka sendiri dalam sebelas pertandingan, akan tetapi yang lebih penting lagi, mereka telah menunjukkan diri sebagai salah satu calon kuat perebut gelar Scudetto yang telah lama mereka dambakan itu.
Kemenangan demi kemenangan yang didapat oleh armada Luciano Spalletti memang beberapa di antaranya tidak didapat dengan meyakinkan. Melawan tim-tim papan tengah atau bawah, mereka kerap kesulitan dan baru memastikan kemenangan pada interval akhir pertandingan. Beberapa gol penentu bahkan baru tercipta pada menit ke-80 dan setelahnya.
Hal ini memang menunjukkan sebuah tim yang tidak mampu mengakhiri pertandingan dengan cepat, namun demikian, Inter di bawah komando sosok berpengalaman seperti Spalletti tahu betul cara mengakhiri pertandingan dengan membawa tiga poin penuh. Bukankah kemenangan tetaplah kemenangan, bagaimanapun sulitnya didapat?
Menghadapi tim-tim kuat, sejauh ini mereka tidak tergelincir. Fiorentina, AS Roma, dan AC Milan mampu dikalahkan lewat performa lini depan yang klinis, sementara pimpinan klasemen, Napoli, mampu mereka tahan imbang tanpa gol. Bahkan di laga itu lini pertahanan kokoh Inter ala Spalletti membuat pelatih Napoli Maurizio Sarri, berkomentar bahwa pelatih plontos tersebut cocok menjabat sebagai menteri pertahanan dengan performa seperti itu.
Pembenahan skuat dan penjualan pemain tanpa ragu
Secara skuat, Inter sebetulnya telah melakukan pembenahan serius sejak dua musim lalu. Dana yang tidak kurang dari 250 juta euro dikeluarkan manajemen untuk membeli para pemain selama kurun waktu itu. Geoffrey Kondogbia dan Joao Mario menjadi pembelian termahal dengan 40 juta euro, disusul nama-nama seperti Gabriel Barbosa “Gabigol” (30 juta), Antonio Candreva (22 juta), juga beberapa pembelian mahal yang dilakukan musim ini seperti Matias Vecino (24 juta), Milan Skriniar (23 juta), dan Dalbert (20 juta).
Baca juga: Milan Skriniar: Bersama Internazionale Milano untuk Bersinar
Memang, tidak semua pemain mahal tersebut langsung memberikan kontribusi positif. Kondogbia dan Gabigol misalnya, setelah dianggap tidak mampu berkontribusi sesuai banderol mahal mereka, langsung dipinjamkan. Manajemen telah bertindak benar dengan “menyekolahkan” mereka ke liga lain untuk mengembalikan kepercayaan diri dengan terus bermain di bawah sorotan yang tidak terlalu besar.
Pembelian cerdik musim ini mereka lakukan dalam bentuk Skriniar dan Borja Valero. Skriniar yang musim lalu tampil memikat bersama Sampdoria kini menjadi batu karang yang amat kokoh di lini pertahanan Nerazzurri bersama Joao Miranda. Pemain asal Slovakia ini bahkan memiliki kelebihan dalam hal ofensif berupa tendangan jarak jauh dan sundulan memanfaatkan bola mati yang dapat memecah kebuntuan ketika para penyerang sulit membobol gawang lawan.
Mereka juga tidak ragu menjual atau meminjamkan pemain, baik karena pertimbangan taktik ataupun bisnis. Berbeda dengan era Massimo Moratti yang begitu memanjakan pemain, kini, pemain-pemain berbakat seperti Mateo Kovacic, Xherdan Shaqiri, dan Gianluca Caprari pun harus rela dijual. Dari penjualan pemain dalam tiga musim terakhir menurut situsweb Transfermarkt, mereka mampu mengumpulkan dana kurang lebih 180 juta euro.
Kinerja finansial yang terus meningkat
Sementara dengan hanya membelanjakan 5,5 juta euro saja, mereka bisa mendapatkan pengatur permainan jempolan macam Borja Valero. Meski sudah berusia senja, 32 tahun, namun kualitas yang dimiliki eks penggawa Fiorentina ini terbukti amat berguna mengangkat performa lini tengah Inter.
Valero, yang saat kedatangannya disambut oleh kapten tim Mauro Icardi di bandara ini, juga dapat menjadi pembimbing bagi gelandang-gelandang yang lebih muda seperti Joao Mario, Vecino, atau Roberto Gagliardini.
Manajemen sekarang yang merupakan kolaborasi antara Erick Thohir dengan grup Suning, juga terlihat memerhatikan betul kondisi finansial. Performa keuangan yang sebelumnya selalu mencatat kerugian besar, perlahan diperbaiki. Adanya aturan Financial Fair Play dari UEFA juga turut meningkatkan kesadaran akan krusialnya sisi finansial dalam pengelolaan klub.
Performa komersial yang berupa kegiatan sponsorship dan penjualan merchandise resmi mampu berkontribusi dengan menembus angka pendapatan di atas 100 juta euro pada musim 2016/2017. Tidak hanya itu, situsweb Calcio Finanza pun menempatkan mereka sebagai tim dengan rataan jumlah penonton tertinggi musim lalu (46.622 penonton), yang menunjukkan bahwa kepercayaan pendukung telah kembali.
Jalur Scudetto
Meraih Scudetto pada ajang Serie A Italia, seperti halnya liga-liga kompetisi negara mana pun adalah perkara kontinuitas. Mengumpulkan tiga poin meski dengan performa kurang meyakinkan, jauh lebih baik ketimbang bermain cantik namun gagal meraih kemenangan. Tiga poin akan terus mempertebal kepercayaan diri, dan jika akhirnya Inter terus bersaing di papan atas hingga akhir musim, kemenangan-kemenangan yang didapat dengan susah payah ini akan ditengok sebagai poin yang berharga.
Namun demikian, bukannya tidak ada sinyal bahaya sama sekali, terutama menyangkut performa individu. Ketergantungan yang cukup tinggi pada gol-gol Icardi dan kelincahan Ivan Perisic perlu perlahan diatasi. Sedikit menurunnya performa Antonio Candreva juga perlu diwaspadai. Begitu pula kurangnya pelapis di posisi bek tengah. Apabila figur-figur kunci ini absen, tentu akan terasa betul perbedaannya.
Geliat para rival tentu patut dicermati. Napoli semakin konsisten, dan apabila mampu melanjutkan tren ini hingga Januari, maka mereka akan sulit dikejar. Jangan lupakan pula Juventus yang memang sudah amat berpengalaman dan memiliki mental juara yang begitu kuat, dan Roma yang terus menanjak di bawah Eusebio Di Francesco, serta Lazio yang berpotensi amat mengejutkan musim ini.
Kedalaman skuat akan diuji, terutama pada bulan Februari atau Maret, saat banyak tim besar kehilangan poin karena harus membagi tenaga mereka dengan fase krusial kompetisi antarklub Eropa. Di sini keuntungan yang dimiliki Nerazzurri, karena pada saat para rival sibuk mengurusi hal itu, mereka tinggal berkonsentrasi di Serie A saja. Faktor inilah yang rasanya cukup menentukan perebutan Scudetto nantinya.
Author: Aditya Nugroho (@aditchenko)