Eropa Italia

Upaya Menjawab Kritik untuk Mauro Icardi

Dalam sejarahnya, baru ada empat pemain Internazionale Milano yang sukses menyarangkan trigol alias hattrick pada laga Derby Della Madonnina melawan AC Milan. Keempat nama tersebut adalah Giovanni Capra (1910), Amadeo Amadei (1949), Istvan Nyers (1953), dan Diego Milito (2012).

Namun akhir pekan lalu, ada satu nama baru yang sukses masuk ke dalam daftar tersebut. Dialah Mauro Icardi, penyerang asal Argentina berusia 24 tahun yang sekaligus kapten I Nerazzurri.

Pada laga yang disaksikan 79 ribu pasang mata itu, tiga gol Icardi dibukukannya di menit 28’, 63’ dan 90’, sekaligus memberikan hadiah angka penuh buat Inter usai menang dengan skor tipis 3-2. Bagi eks penggawa Sampdoria itu, hattrick dalam partai Derby Della Madonnina juga menggenapi seluruh kontribusinya atas 100 gol yang sukses dilesakkan Inter (gol dan asis) sampai detik ini.

Selepas hijrahnya Milito medio 2014 silam, Icardi merupakan penyerang tipe nomor 9 terbaik yang dimiliki I Nerazzurri. Punya insting mencetak gol tinggi dan kemampuan yang cukup komplet, memang sebuah kelebihan yang tak bisa dibantah meski ada banyak friksi yang berkaitan dengannya di luar lapangan.

Situasi ini pula yang membuatnya selalu jadi pilihan utama seluruh pembesut Inter dalam kurun beberapa musim terakhir. Mulai dari Walter Mazzarri, Roberto Mancini, Frank de Boer, Stefano Pioli, sampai kini bersama Luciano Spalletti, mereka selalu menyediakan satu tempat untuknya di sektor depan I Nerazzurri. Padahal, ide dari masing-masing pelatih cenderung berlainan satu sama lain.

Uniknya, dengan sejumlah penampilan apik yang dipertontonkan Icardi, masih saja ada Interisti yang tidak menyukainya sembari berharap Icardi dijual dalam waktu dekat dengan harga menjulang.

Tak salah memang bila Interisti senantiasa menuntut Icardi untuk bisa tampil maksimal saban pekan, kalau perlu mencetak gol di setiap pertandingan yang dijalaninya. Namun mengungkapkan hal tersebut tanpa memperhatikan segala proses yang tengah dijalaninya untuk berkembang menjadi penyerang berkemampuan dahsyat, agaknya sedikit naif.

Seperti yang telah saya ungkapkan di paragraf sebelumnya, masing-masing pelatih yang pernah menangani Inter memiliki metode tersendiri dalam sesi latihan. Hal tersebut berkaitan dengan strategi permainan yang menjadi kesukaan sang pelatih. Terlepas dari kritik atau apapun dari pendukung, wajib diakui bila pemahaman teknis Mazzarri, Mancini, ataupun Spalletti, tentu lebih tinggi jika berhubungan dengan hal-hal berbau teknis, bukan?

Dengan pergantian pelatih yang begitu sering dialami Inter, proses perkembangan Icardi sebagai seorang predator ulung di kotak penalti lawan pasti mengalami pasang surut. Berbagai macam peran dalam bermain tentu sudah dicobanya guna mencari form terbaik.

Misalnya saja ketika diasuh Mazzarri, dirinya tetap ditempatkan sebagai ujung tombak namun punya Rodrigo Palacio (kini di Bologna) sebagai pendamping. Sementara di tangan Pioli dan sekarang bareng Spalletti, Icardi menjadi penyerang tunggal dengan Antonio Candreva dan Ivan Perisic mengapitnya di sisi sayap.

Dari keadaan tersebut, tak sepatutnya kita berasumsi bahwa Icardi selalu enak karena punya pelayan untuk memberinya umpan-umpan manja yang bisa dieksekusi menjadi gol. Alasannya jelas, situasi yang berbeda itu sejatinya menampakkan bahwa peran dan tugas Icardi di atas lapangan, meski tetap sebagai pangkal serangan, selalu berbeda.

Segala sesuatunya tak selalu kasat mata sehingga kita, yang hanya bisa menyaksikannya di televisi hanya mengandalkan asumsi singkat dengan menilai pergerakan dan perilaku Icardi di atas lapangan ketika kamera menyorot ke arahnya.

Tapi pernahkah kita berpikir tentang hal teknis apa yang dilakukan Icardi tatkala sorot kamera sedang tidak mengarah kepadanya? Apakah dengan begitu, Icardi diam mematung dan tak berkontribusi untuk timnya?

Sebagai pemain profesional yang mendapat arahan dari pelatih di setiap pertandingan, sudah barang tentu hal-hal detail terkait apa yang mesti dilakukan Icardi ketika Inter bermain telah diinstruksikan sejak awal. Entah saat Inter berada pada fase menyerang maupun saat bertahan.

Misalnya saja, bagaimana pengambilan posisi yang pas dari Icardi ketika para bek yang menjaganya tengah naik guna membantu serangan. Lalu apa yang mesti diperbuat jebolan akademi La Masia ini untuk menarik perhatian bek lawan sehingga rekan-rekannya yang memegang bola memiliki ruang operasi yang lebih luas. Sampai, bagaimana cara Icardi menempatkan diri di antara bek lawan supaya tidak terjebak offside kalau tiba-tiba Inter sukses merebut bola dari penguasaan lawan dan ingin sesegera mungkin melancarkan serangan balik.

Dari sekian contoh di atas, semuanya akan sering luput dari perhatian jika sorot kamera tidak mengarah kepada Icardi. Apalagi jika pergerakan-pergerakan itu dilakukan tanpa bola, karena arah kamera pasti akan selalu menuju ke mana bola berada.

Mengkritik Icardi dengan kata inkonsisten, lembek, kurang agresif, dan beraneka hal negatif lainnya memang sah-sah saja. Apalagi kalau yang bersangkutan memang benar-benar tampil buruk. Namun bila dirinya tampil eksepsional di lapangan dan ikut berperan dalam hasil-hasil positif yang direguk Inter, mengapa enggan memuji?

Baca juga: Mauro Icardi: Pewaris Takhta Kaisar Adriano Leite?

Icardi, terlepas dari segala kontroversi dan kekurangan yang dimilikinya, adalah aset berharga buat I Nerazzurri. Jika tidak, maka manajemen tentu takkan berhasrat untuk memperpanjang kontrak dan memagarinya dengan klausul pelepasan dengan harga selangit. Bagaimanapun juga, Icardi adalah sosok yang layak untuk mendapat secuil respek, khususnya dari Interisti sendiri.

Jika Inter benar-benar telah berada di trek yang benar untuk mengembalikan statusnya sebagai salah satu raksasa di Italia, saya pun yakin bahwa Icardi, bila dirinya mampu dipertahankan, bakal menyumbang andil atas kesuksesan I Nerazzurri di masa yang akan datang.

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional