Apakah Tribes pernah mendengar tokoh ksatria Prancis yang bernama Charles D’Artagnan? Tokoh yang hidup di sekitar tahun 1600-an ini adalah kapten dari regu musketeer, tentara yang menggunakan bayonet, kerajaan Prancis.
Nama D’Artagnan mungkin lebih dikenal melalui karya-karya fiksi seperti film The Three Musketeers yang diadaptasi dari novel karya Alexandre Dumas di tahun 1844, atau film The Man In The Iron Mask yang dibintangi oleh aktor terkenal, Leonardo Di Caprio. Dalam kedua film itu, penggambaran D’Artagnan terlihat mirip dengan perawakan legenda Arsenal asal Prancis, Robert Pires. Sama-sama memiliki rambut panjang dan janggut goatee yang memikat.
Meskipun begitu, tak hanya sekedar penampilan saja yang mirip, Pires juga memiliki sifat ksatria namun elegan seperti D’Artagnan dulu. Sifat Pires ini terlihat jelas ketika ia menjadi ksatria yang menyalakan sumbu meriam di London Utara dulu.
Pires lahir di kota Reims, Prancis, dari seorang ayah berkebangsaan Portugal dan ibu berkebangsaan Spanyol. Nama Pires sendiri menjelaskan asal-usulnya, mengingat nama tersebut adalah nama belakang yang lazim bagi orang Portugis, namun tidak bagi orang Prancis.
Pires muda mengawali karier sepak bola seniornya bersama klub Prancis, FC Metz di tahun 1993. Kala itu, pemain sayap ini sudah berumur 20 tahun ketika menjalani debutnya. Pemain yang memiliki nama tengah Emmanuel ini bertahan hingga tahun 1998 di klub semenjana Prancis itu sebelum mendapatkan kepindahannya ke klub besar, Marseille.
Meskipun terhitung sebagai klub kecil, Metz berhasil meraih Piala Liga bersama Pires di tahun 1996. Pires memang terhitung sebagai late bloomer karena ia sudah berusia 25 tahun ketika pindah ke Marseille. Sayangnya, waktu Pires di klub yang bertempat di pantai Selatan Prancis ini tidak berlangsung dengan baik. Musim pertamanya bersama Marseille dinaungi ketidakberuntungan setelah harus kalah di Ligue 1 di akhir musim oleh Girondins Bordeaux hanya dengan selisih satu poin.
Di kompetisi Eropa, Marseille juga harus kalah di final Piala UEFA (kini Liga Europa) oleh klub Italia yang saat ini nasibnya sedang buruk, Parma. Musim kedua Pires bersama Les Olympiens berjalan tidak lebih baik ketimbang musim pertamanya. Ia dirumorkan terlibat perseteruan dengan klub, bahkan diisukan ia memboikot klubnya, meski ia sendiri membantah isu ini ketika diwawancarai oleh FourFourTwo.
Meski mengalami waktu yang kurang menyenangkan di Marseille, nama Pires masih laku di kalangan sepak bola dunia, terutama setelah ia menjuarai Piala Dunia dan Piala Eropa bersama Prancis di tahun 1998 dan 2000. Klub-klub seperti Real Madrid, Juventus, dan Arsenal mengincarnya. Klub yang disebut terakhir yang kemudian menjadi pelabuhan Pires selanjutnya setelah tawaran Arsenal di bursa transfer musim panas musim 2000/2001 diterima Marseille.
Sang pemain menyatakan, bahwa faktor Arsene Wenger-lah yang menjadi penyebab ia memilih Arsenal. Pemain kelahiran tahun 1973 ini direkrut oleh The Gunners dengan biaya sekitar 8,82 juta paun. Meskipun direkrut dengan biaya yang tergolong tidak mahal, eskpektasi besar dibebankan kepada Pires mengingat di bursa transfer yang sama Arsenal harus kehilangan pemain sayap asal Belanda yang menjadi andalan mereka, Marc Overmars, yang hijrah ke Barcelona.
Baca juga: Marc Overmars, Si Pelari Kencang
Sayangnya, Pires mengalami awal yang buruk bersama klub asal London Utara tersebut. Ia dinilai oleh berbagai media serta beberapa pendukung Arsenal bahwa secara fisik ia terlalu lemah dan lambat untuk permainan sepak bola di Inggris. Dalam wawancaranya bersama FourFourTwo, Pires juga mengakui bahwa ia sempat minder melihat permainan di Inggris yang teramat mengandalkan fisik.
Untungnya, perlahan-lahan, ia berhasil beradaptasi. Di pertengahan musim, ia mulai mematenkan tempat utama di skuat The Gunners, dan berhasil membawa klubnya ke final Piala FA di akhir musim meski harus kalah di laga akhir melawan Liverpool. Di musim keduanya, Pires tampil menggila. Ia berhasil menyabet penghargaan pemain terbaik Arsenal dan pemain terbaik di Inggris di akhir musim, sekaligus memuncaki daftar asis Liga Primer Inggris.
Tak hanya itu, ia juga berhasil membawa klubnya menjuarai liga. Namun, sial baginya, di bulan terakhir musim bergulir, ia harus menderita cedera ligamen yang juga memaksanya absen di Piala Dunia 2002 bersama Prancis.
Di musim-musim berikutnya, Pires menjadi bagian integral dari skema Wenger. Kombinasinya dengan Dennis Bergkamp, Freddie Ljungberg, dan Thierry Henry berhasil membawa Arsenal menjadi jawara beberapa trofi, termasuk satu trofi emas Liga Primer Inggris di musim 2003/2004 kala mereka tak terkalahkan dalam satu kalender liga.
Musim 2005/2006 menjadi musim terakhir Pires di London mengingat kontraknya tak diperpanjang kala musim itu berakhir. Namun, sebenarnya, sang pemain ingin memperpanjang kontraknya, namun hal itu urung terjadi karena kejadian tak mengenakkan di final Liga Champions tahun 2006 kala The Gunners kalah menyakitkan dari Barcelona.
Dalam laga itu, Pires digantikan di awal laga oleh kiper Manuel Almunia, karena Jens Lehmann diberi kartu merah oleh sang wasit. Kejadian itu, menurut sang pemain sendiri, begitu memukul dirinya, dan mengubah pemikirannya untuk bertahan. Meskipun begitu, hampir semua pemain Arsenal kala itu merasa terpukul atas kepergian Pires, dan nama Pires sendiri masih begitu dihargai tinggi oleh para Gooners. Buktinya, ia ditunjuk sebagai pemain terbaik Arsenal nomor enam sepanjang masa.
Selepas kepindahannya dari Inggris, Pires dikontrak secara gratis oleh Villareal di tahun 2006. Ia bertahan selama tiga musim di klub Spanyol tersebut sebelum akhirnya rehat sejenak di pertengahan tahun 2010. Ia kembali ke Arsenal untuk mengikuti sesi latihan agar kebugarannya tetap terjaga.
Pires tak menganggur lama, ia kemudian dikontrak oleh Aston Villa di bulan November 2010. Pelatih Villa, saat itu Gerrard Houllier, merasa bahwa tenaga Pires yang saat itu sudah berusia 37 tahun masih dapat berguna bagi skuat The Villans. Bertahan hanya sampai akhir musim, Pires memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanannya bersama Villa.
Sempat menganggur beberapa tahun, Pires memutuskan untuk kembali ke sepak bola dengan bergabung bersama klub Liga Super India, FC Goa. Namun, tergabungnya Pires di klub tersebut dimaksudkan untuk mempromosikan sepak bola di negara tersebut. Akhirnya di awal tahun 2016, Pires memutuskan pensiun total sebagai pesepak bola.
Pires sempat menjadi pionir bagi peran inverted winger, ketika ia ditempatkan di sayap kiri semasa bermain di Arsenal. Ini membuktikan bahwa Pires memang pemain yang luar biasa. Bak D’Artagnan, ia mampu bermain dengan elegan dan anggun namun tetap garang dan berani di lapangan.
Selamat ulang tahun, Bobby!
Author: Ganesha Arif Lesmana (@ganesharif)
Penggemar sepak bola dan basket