Padatnya jadwal pertandingan dari sebuah kompetisi sepak bola pasti akan menyebabkan orang-orang yang terlibat di dalamnya, baik pemain, pelatih, manajemen klub hingga para suporter, merasa penat dan tertekan.
Oleh karena itu, otoritas sebuah kompetisi (perkecualian bagi asosiasi sepak bola Inggris) selalu menyelipkan jatah libur di masa-masa tertentu. Selain bermanfaat untuk menghilangkan rasa penat dan jenuh, libur kompetisi juga dapat dimanfaatkan untuk membenahi segala macam kekurangan yang ada di tubuh klub agar bisa tampil lebih baik begitu roda kompetisi berputar kembali.
Namun, membicarakan libur kompetisi, ada sebuah anomali yang barangkali dapat mengocok perut penggemar sepak bola di tanah air. Keganjilan terkait libur kompetisi itu terjadi di kasta kedua dalam piramida sepak bola Indonesia, Liga 2.
Berbeda 180 derajat dengan ajang Go-Jek Traveloka Liga 1, kompetisi yang diikuti oleh 59 klub dan dimulai bulan April lalu ini justru beberapa kali harus terhenti untuk sementara akibat datangnya masa libur. Celakanya, periode istirahat itu tidak terhitung sebagai jeda konvensional seperti penanda berakhirnya paruh pertama dan segera dimulainya paruh kedua liga seperti yang biasa terlihat di kompetisi profesional yang lain.
Momen pertama datangnya libur di ajang Liga 2 muncul pada bulan Ramadhan yang lalu. Dengan alasan menghormati bulan suci bagi mayoritas umat Islam di Indonesia, PT. Liga Indonesia Baru (LIB) dan asosiasi sepak bola Indonesia (PSSI) sepakat untuk memberi para kontestan Liga 2 jatah libur.
Padahal di saat yang sama, klub-klub yang mentas pada ajang Go-Jek Traveloka Liga 1 justru tetap memerah keringat walau jadwal pertandingannya disesuaikan sedemikian rupa agar para pemain tetap bisa menjalankan ibadah puasa dengan lancar.
Terasa lucu, bukan?
Usai menjalani libur selama satu bulan lebih, roda kompetisi Liga 2 akhirnya berputar kembali pada bulan Juli kemarin untuk menyelesaikan babak penyisihan grup. Begitu babak penyisihan grup selesai dan Liga 2 harus menghelat babak 16 besar, masing-masing kontestan yang berhasil menembus fase krusial itu lagi-lagi memperoleh jatah libur. Tidak terlalu lama memang, karena cuma satu pekan.
Namun anehnya, begitu babak 16 besar selesai dan sejumlah klub telah memastikan keikutsertaannya di fase 8 besar, pihak PT. LIB dan PSSI justru kembali memberi kesempatan ‘cuti’ kepada tim-tim yang akan berlaga selama kurang lebih satu bulan karena babak 8 besar baru akan dihelat kembali pada awal November nanti.
Baca juga: Dagelan PSSI di Babak 8 Besar Liga 2
Hal tersebut bisa terjadi karena PT. LIB dan PSSI menyebut bahwa hasrat mereka untuk memanggungkan babak 8 besar di tempat netral demi menekan potensi kericuhan antarsuporter, membuat Liga 2 terpaksa dihentikan sejenak guna menentukan venue terbaik bagi seluruh kontestan.
Terlepas dari segala macam dalih yang diutarakan PT. LIB dan PSSI terkait banyaknya libur di kompetisi Liga 2, sejatinya hal ini malah memperlihatkan ketidakberesan operator liga dan federasi dalam hal penyusunan jadwal kompetisi.
Padahal, sebuah kompetisi memiliki durasi ideal untuk diselenggarakan karena akan sangat berpengaruh pada kondisi fisik dan mental semua pihak yang terlibat di dalamnya. Penjadwalan sebuah kompetisi liga, dalam hal ini di Tanah Air, juga memiliki kaitan dengan fase-fase di mana tim nasional Indonesia butuh kesempatan untuk bertanding.
Jika segalanya bisa diatur secara suka-suka dan diubah seenaknya hingga memunculkan banyak masa jeda, tentu profesionalitas dari pihak penyelenggara, dalam hal ini operator kompetisi dan federasi wajib dipertanyakan. Karena bila situasi ini terus dibudayakan, maka kondisi sepak bola Indonesia akan begitu-begitu saja.
Ya, habis gelap terbitlah gelap yang lebih pekat!
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional