Buat rakyat Rumania, nama Gheorghe Hagi jelas begitu sakral maknanya. Sebab lelaki inilah yang di era 1990-an lalu berhasil mengangkat prestasi Rumania di ajang sepak bola. Bersama Hagi, Tricolorii sukses mencicipi gelaran Piala Dunia 1990, 1994, dan 1998, serta Piala Eropa 1996 dan 2000.
Tak berhenti sampai di situ, Hagi juga sanggup mengantar Rumania menembus babak perempat-final di Piala Dunia 1994 serta Piala Eropa 2000 kala itu. Sebuah pencapaian yang sialnya, belum bisa diulangi sampai hari ini.
Namun seiring pensiunnya Hagi dari kancah sepak bola, grafik penampilan Rumania juga mengalami dekadensi. Mereka belum pernah mentas lagi di Piala Dunia, sementara keikutsertaan di Piala Eropa 2008 dan 2016 mesti berakhir prematur akibat rontok di fase penyisihan grup.
Baca juga: Catatan Tentang Gheorghe Hagi
Walau prestasi mereka tergolong suram di era 2000-an, negeri yang konon jadi asal muasal cerita makhluk pengisap darah bernama Drakula ini masih sanggup menelurkan individu berbakat yang kualitasnya diakui sebagai salah satu yang terbaik di dunia dalam diri Cristian Eugen Chivu.
Mengawali karier sepak bolanya di klub lokal, FCM Resita, pada pertengahan 1990-an yang lalu, nama Chivu baru meroket saat berseragam Universitatea Craiova. Meski usianya baru menginjak 19 tahun, Chivu yang memiliki bekal kemampuan individu ciamik langsung didapuk sebagai penggawa utama.
Kepercayaan yang diperolehnya dari staf pelatih tidak disia-siakan. Aksi-aksi Chivu terlihat matang dan menjanjikan setiap kali turun ke lapangan. Hal ini pula yang tak dilewatkan oleh pemandu bakat tim raksasa asal Belanda, Ajax Amsterdam.
Sadar bahwa Chivu memang punya sesuatu yang spesial, manajemen De Godenzonen lantas mengirimkan cek sebesar 2,5 juta euro buat klub asalnya pada musim panas 1999. Jumlah yang tergolong masif itu pada akhirnya sukses meluluhkan hati manajemen Universitatea Craiova guna melepas salah satu penggawa muda terbaiknya ke Ajax.
Meski sempat kesulitan beradaptasi dengan kultur Belanda, namun seiring berjalannya waktu, Chivu bisa memikat atensi penggemar Ajax dan bahkan memanggul jabatan kapten kesebelasan. Sayang, dua musim pertamanya berkostum merah-putih gagal menghasilkan trofi akibat performa De Godenzonen yang begitu buruk sehingga kalah bersaing dari PSV Eindhoven.
Perubahan di tubuh Ajax akhirnya muncul di musim 2001/2002 usai Ronald Koeman didapuk sebagai hoofdtrainer baru menggantikan Co Adriaanse. Di bawah arahan pelatih berambut pirang tersebut, Chivu yang berposisi natural sebagai bek tengah juga disulap pelan-pelan menjadi fullback kiri. Luar biasanya, Chivu sanggup bermain di posisi tersebut dengan sama gemilangnya.
Di musim itu juga, hegemoni PSV yang diperkuat oleh nama-nama seperti Jan Vennegoor of Hesselink, Mateja Kežman, Dennis Rommedahl, dan Mark van Bommel, akhirnya sukses dipatahkan Ajax usai merengkuh double winners berupa titel Eredivisie dan Piala KNVB.
Cerita manis di Negeri Kincir Angin itu pula yang bikin sejumlah klub top Eropa makin kepincut pada sosoknya. Jalan nasib Chivu akhirnya berubah haluan usai menerima pinangan kesebelasan Serie A, AS Roma, di musim panas 2003. Nilai jual pria yang hari ini berulang tahun yang ke-36 tersebut, kala itu sudah mencapai 18 juta euro dan membuatnya jadi salah satu pemain belakang dengan banderol termahal yang pernah ditebus Roma.
Layaknya di Ajax, performa Chivu bersama I Giallorossi juga sangat gemilang. Dirinya kerap dipasang sebagai pemain utama di posisi bek tengah maupun bek kiri oleh para pembesut Roma, mulai dari Fabio Capello, Cesare Prandelli, Rudi Völler, Luigi Del Neri, hingga Luciano Spalletti.
Akan tetapi, muncul satu kendala yang acapkali membuat performanya tidak maksimal. Ya, selama bermain untuk Roma, Chivu memang sering bolak-balik ruang perawatan akibat dihantam cedera. Meski begitu, dirinya masih sanggup menyumbang sebiji Piala Italia bagi Roma di musim 2006/2007.
Usai jadi rebutan sepasang raksasa dari La Liga Spanyol, Barcelona dan Real Madrid, pada bursa transfer 2007, Chivu justru memilih untuk hengkang ke tim saingan Roma di Serie A, Internazionale Milano, yang juga menampakkan ketertarikan. Kepindahan ini sendiri membuat I Nerazzurri harus mengirim fulus sebesar 16 juta euro plus Marco Andreolli (dengan status compoprieta atau kepemilikan bersama) kepada Roma.
Dan seperti yang sama-sama kita ketahui, performa yang Chivu tunjukkan selama mengenakan kostum biru-hitam juga amat memuaskan. Chivu melengkapi kekokohan skuat Inter, terutama di lini belakang, yang ketika itu dijejali banyak pemain bintang seperti Ivan Cordoba, Douglas Maicon, Marco Materazzi, Walter Samuel, dan Javier Zanetti.
Keberhasilan Inter mencaplok tiga gelar Scudetto, dua Piala Italia serta masing-masing satu buah Piala Super Italia, Liga Champions, dan Piala Dunia Antarklub, pasti sulit dilepaskan dari kontribusi maksimal yang diberikan Chivu bagi I Nerazzurri. Sebuah realita yang membuat Chivu senantiasa dicintai Interisti sampai detik ini.
Padahal sejak tahun 2010 kemarin, Chivu juga harus bermain dengan pelindung kepala usai bertabrakan dengan Sergio Pellissier di sebuah partai Serie A antara Inter melawan Chievo (terjadi pada bulan Januari), sehingga tengkorak kepalanya mengalami keretakan.
Setelah membela panji Inter selama enam musim dan beberapa kali diganggu oleh cedera sehingga kondisi fisiknya tak bisa kembali ke titik puncak, Chivu akhirnya memutuskan untuk pensiun dari dunia yang membesarkan namanya tahun 2014 kemarin. Keputusan ini sendiri dikonfirmasi Chivu melalui akun Facebook miliknya.
Mengantongi sejumlah titel prestisius semasa aktif bermain, Chivu pun menjadi panutan banyak kalangan. Terlebih, sikapnya di dalam dan luar lapangan juga sangat jauh dari masalah. Wajar bila dirinya lantas disebut-sebut sebagai bintang besar lapangan hijau lain yang datang dari Rumania, selain figur Hagi tentunya.
Tapi pensiun dari dunia sepak bola tak serta merta bikin Chivu lepas dari dunia yang sudah menjadi jalan hidupnya ini. Sekarang, suami dari Adriana Elisei tersebut sedang menikmati masa pensiunnya dengan menjadi komentator untuk kanal Fox Sports sekaligus berperan sebagai technical observer bagi asosiasi sepak bola Eropa (UEFA).
La Multi Ani dan semoga panjang usia, Chivu!
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional