Orang menerka-nerka apa yang salah dari Persib Bandung, padahal bukan hal yang sulit melihat apa yang salah dari tim ini, bahkan dari kacamata orang awam di luar sepak bola.
Musim lalu, Arsenal memasuki awal tahun 2017 dengan catatan yang penuh cela. Diawali dengan kekalahan agregat 10-2 yang luar biasa dari Bayern München di Liga Champions, skuat Arsene Wenger terhempas dari luar empat besar di akhir musim untuk pertama kalinya dalam hampir dua dekade terakhir.
Apa yang terjadi kemudian adalah gelombang protes yang masif. Poster bertuliskan #WengerOut gentayangan di seluruh penjuru dunia. Mulai dari tur dunia Coldplay, protes anti-Trump di Amerika Serikat, hingga tagar-tagar dengan pesan serupa yang mewarnai linimasa media sosial.
Ajaibnya, mungkin, periode tersebut adalah pertama kalinya di sepanjang karier Arsene Wenger, ia dirisak begitu masif sampai berbulan-bulan. Gelar Piala FA ke-13 Arsenal yang diraih setelah mengalahkan Chelsea di final adalah obat peredanya.
Di periode Februari 2017 tersebut-lah, titik nadir Arsenal secara surealis diwariskan dan dilanggengkan oleh Persib Bandung musim ini. Berikut, saya mencoba menjabarkan beberapa hal yang kemudian menjadi warisan penuh noda hitam yang tercela Maung Bandung di Go-Jek Traveloka Liga 1 musim 2017 ini:
Belanja pemain serampangan
Seperti pekerja kantoran yang baru terima gaji di awal bulan, Pangeran Biru menyambut gelaran Liga 1 dengan nafsu belanja yang luar biasa. Michael Essien didatangkan sebagai marquee player sekaligus menggebrak dunia sepak bola Indonesia dan dunia. Persib juga menjadi tim pertama di Liga 1 yang merekrut seorang marquee player.
Tak puas, berturut-turut setelahnya mereka mendatangkan Carlton Cole, Raphael Maitimo, hingga pemuda sensasional, Fulgensius Billy Paji Keraf. Pemain baru ini melengkapi skuat yang sudah bergabung lebih dulu seperti Shohei Matsunaga, Dedi Kusnandar, duo Achmad Jufriyantodan Supardi Nasir yang kembali ke Bandung, dan Wildansyah. Skuat yang sekilas, tampak menjanjikan.
Tapi, belanja pemain ini tidak dibarengi upaya manajemen untuk melihat ke skuat yang mereka miliki sebelumnya. Di sektor tengah, masih ada nama Hariono dan Kim Kurniawan, ketika Persib justru merekrut Essien, yang notabene satu tipe dengan Hariono, namun ajaibnya, dipaksakan oleh manajemen (atau Djadjang Nurdjaman) sebagai gelandang serang.
Ada surplus di berbagai posisi yang sialnya, berimbas kepada tak optimalnya taktik yang dijalankan. Lini tengah Persib, yang di tahun 2014 lalu begitu perkasa saat menjuarai Liga Indonesia, hanya tinggal dongeng belaka. Hariono, sang enforcer dan gelandang karismatik itu, tak lagi bermain optimal karena sistem yang bobrok di lini tengah. Kim dan Dedi walau rutin bermain, perannya bak cameo belaka dan parahnya, pemain kalem seperti Dado, sapaan akrab Dedi Kusnandar, sempat menerima satu kartu merah pekan lalu. Butut pisan ieu mah!
Billy dan Maitimo, juga pulangnya lagi Jufriyanto dan Supardi mungkin memang memberi napas yang dibutuhkan Persib, namun tetap bisa disebut tak maksimal. Billy sedikit terkebiri potensinya karena bersaing dengan nama-nama yang lebih senior, sementara Maitimo lebih sibuk berseteru dengan Bobotoh di luar lapangan alih-alih tampil konsisten membela panji Maung Bandung di lapangan. Dan ini, berlanjut kepada kebobrokan Persib Bandung yang kedua….
Mental bermain yang buruk
Lengsernya Djadjang, membuat Persib kelimpungan. Tak adanya pelatih berlisensi dan berkualitas, membuat Maung Bandung kesulitan memburu nama-nama pelatih untuk diboyong ke Bandung. Sempat diisukan akan mengontrak Milomir Seslija, namun Persib condong menyerahkan tampuk kursi panas manajerial kepada Herrie Setiawan.
Tidak ada yang istimewa dari penunjukkan pelatih yang akrab disapa Jose ini. Selain nama ‘Jose’ yang terkesan tidak pas untuk beliau, coach Herrie juga hanya meneruskan apa yang selama ini dilakukan Djadjang di Liga 1: kesulitan meracik taktik dan komposisi pemain. Persib bermain, kalau saya boleh membandingkan, seperti Valencia di era kegelapan ketika mereka mempekerjakan Gary Neville. Atau untuk komparasi yang lebih butut, Persib bermain ibarat Granada yang ditukangi oleh Tony Adams.
Baca juga: Persib Bandung, Medioker, dan Kesuksesan yang Seharusnya Terus Dijaga
Tanpa taktik yang jelas, tentu, mental bertanding skuat Persib menurun drastis. Hariono menurun, Tony Sucipto tak eksplosif seperti biasanya, dan silakan sebutkan nama-nama lain yang performanya sama sekali tak menunjukkan peningkatan berarti. Untungnya, ada pemuda-pemuda macam Henhen Herdiana, Gian Zola, Febri Hariyadi, hingga Billy Keraf, yang sedikit menyelamatkan martabat Persib Bandung.
Buruknya permainan pemain-pemain Persib di atas lapangan, lalu berlanjut kepada kritik Bobotoh. Ada friksi yang terjadi dan inilah yang menjurus kepada poin bobrok yang ketiga….
Friksi antara pemain dan Bobotoh
Dua pemain, sejauh ini, tercatat sempat berseteru dengan Bobotoh. Nama pertama tentu Raphael Maitimo, sosok yang sebenarnya tampil lumayan, namun kerap bersinggungan dengan Bobotoh terkait sikapnya yang tidak terkesan menghormati para suporter. Maitimo adalah nama pertama yang setiap kali saya membuka media sosial, namanya selalu menjadi sosok yang sangat tidak populer di mata suporter. Arogansi Maitimo, juga noda yang ia tinggalkan terkait kontraknya di PSM Makassar sebelum merapat ke Bandung, membuat pemain naturalisasi ini menjadi sosok pesakitan di mata Bobotoh.
Itu ditambah lagi dengan performa sang ikon, junjungan publik Bandung, idola terbaik Kota Kembang, siapa lagi kalau bukan Lord Atep. Kapten sekaligus sosok yang diidolakan oleh Cristiano Ronaldo ini tampil jauh di bawah standar dan kerap menjadi sasaran kritik. Ini berlanjut dengan tanggapan sang istri dari kapten Persib tersebut, yang membuat friksi antara sang junjungan dengan Bobotoh menjadi renggang.
Baca juga: Aksi Damai Bobotoh di Bandung: Peran Suporter ketika Mereka ‘Dilupakan’
Secara pribadi, bagi saya, Atep tidak bermain buruk. Atep hanya bermain seperti Atep biasanya. Performa Atep musim ini, kalau boleh saya simpulkan, mengutip lirik lagu populer Iwa K, adalah: bebas, lepas, kutinggalkan saja semua beban di hatiku, melayang kumelayang jauh.
Ya, saking jauhnya melayang ke langit, kaki Atep tak pernah berpijak di atas tanah dan benar-benar bermain sepak bola dengan baik dan konsisten. Hampura, Lord.
Dosa besar manajemen: Memberi harapan
Ini poin terakhir, sekaligus dosa terbesar Persib (manajemen) musim ini. Dengan aktivitas transfer dan launching resmi tim yang meriah laiknya pagelaran Oscar, wajar bila kemudian Bobotoh menggantungkan harapan setinggi langit. Dengan bercokolnya dua alumnus Liga Primer Inggris di dalam skuat yang masih dihuni sisa-sisa generasi 2014 yang bertahan, harapan juara adalah mutlak.
Nyatanya, performa manajemen tak pernah benar-benar memuaskan. Sepanjang musim, kritikan mengalir deras kepada jajaran manajemen Persib Bandung. Mulai dari keterlibatan mereka di bangku cadangan (yang dituding banyak Bobotoh mengintervensi keputusan pelatih), hingga blunder terbesar manajemen musim ini yang alpa dalam mengontrak pelatih jempolan usai Djadjang Nurdjaman mengundurkan diri.
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Emral Abus dan Herrie Setiawan, dibandingkan dua sosok yang secara freelance bergantian melatih Persib Bandung selepas Djadjang tersebut, kualitas dari pelatih seperti Robert Rene Alberts, Simon McMenemy, hingga pelatih muda, Widodo Cahyono Putro, jelas berada jauh di atas mereka, bila acuannya performa tim asuhan di musim ini. Bila dua nama pelatih asing tersebut terlalu jauh untuk dibandingkan, mari bandingkan dengan Widodo, sesama pelatih lokal.
Legenda Persegres Gresik ini mampu mengoptimalkan Taufiq yang terbuang dari Persib, dengan menjadikannya poros lini tengah bersama Fadil Sausu. Jangan lupakan juga hebatnya coach Widodo memberikan formula terbaiknya untuk mengoptimalkan daya ledak Sylvano Comvalius, keuletan Nick van der Velden, kecepatan Irfan Bachdim, hingga kreativitas Stefano Lilipaly dalam satu tim yang kohesif dan padu.
Dengan sederet nama tenar yang berlabuh di Bandung, dengan launching tim yang super mewah tersebut, muncullah dosa terbesar Persib dan manajemen musim ini: memberikan harapan palsu. Tidak ada yang lebih menyedihkan dari harapan yang bertepuk sebelah tangan. Kalau ini semua bukan salah manajemen, lalu salah siapa? Tuhan?
Kalau memang Tuhan ada di sepak bola, jelas Ia tidak berpihak kepada Persib Bandung musim ini. Sesederhana itu.
Isidorus Rio Turangga – Editor Football Tribe Indonesia