Eropa Inggris

Belajar Kesederhanaan yang Paripurna dari Claudio Ranieri

Beberapa hari lalu, ada sebuah kabar yang cukup menarik datang dari jagad sepak bola Inggris. Kesebelasan yang menjadi kampiun Liga Primer Inggris 2015/2016, Leicester City, baru saja memecat pelatihnya, Craig Shakespeare, karena dianggap gagal mengangkat performa The Foxes di awal musim ini.

Munculnya kabar tersebut diiringi dengan suara-suara yang meminta agar bekas pelatih yang mengantar Leicester memenangi titel liga untuk pertama kalinya sepanjang sejarah klub, Claudio Ranieri, didapuk kembali sebagai manajer. Salah satu nama populer yang meminta hal itu diwujudkan adalah penyerang legendaris tim nasional Inggris, Gary Lineker.

Melalui akun Twitter pribadinya, mantan penyerang Leicester dan Tottenham Hotspur ini mengungkapkan harapan tersebut. Sayangnya cuitan tersebut malah ditanggapi sinis oleh para pendukung The Foxes di dunia maya dan menyebut Lineker sebagai sosok yang clueless.

Saya pun percaya bahwa kabar pemecatan Shakespeare sudah pasti sampai ke telinga Ranieri. Namun apakah dirinya ambil pusing dengan hal tersebut, jelas urusan lain. Pasalnya, sedari musim panas 2017 kemarin, Ranieri telah sepakat untuk menandatangani kontrak dengan kesebelasan asal Prancis, Nantes, guna menjadi pelatih mereka mulai musim ini.

Baca juga: Menanti Karya Claudio Ranieri di Nantes

Apalagi performa yang ditunjukkan Les Canaris, julukan Nantes, di kompetisi Ligue 1 sejauh ini juga sangat ciamik. Klub yang berada di kawasan Prancis bagian barat ini sedang bertengger di peringkat kelima berbekal 17 poin. Pundi-pundi angka tersebut didapat Nantes dari sembilan laga dengan rincian lima kemenangan, dua hasil imbang, dan dua kekalahan. Kans mereka lolos ke ajang antarklub regional pun terbuka lebar di musim mendatang.

Lebih manisnya lagi, pencapaian apik Nantes sejauh ini didapat dengan materi pemain yang levelnya sedikit di bawah OGC Nice yang sedang terseok-seok di papan bawah. Sekali lagi, ini adalah bukti bahwa Ranieri, sejatinya punya kemampuan hebat dalam melatih.

Di sepanjang karier kepelatihan yang dijalaninya, Ranieri memang lebih identik dengan level medioker. Sulit bagi kita untuk belajar tentang raihan prestasi gemilang darinya. Hal ini bisa dibuktikan dengan rekor enam belas tim yang pernah dibesutnya, baik klub maupun negara (tidak menghitung Nantes), mayoritas berpenampilan biasa-biasa saja walau mereka tergolong nama-nama tenar. Sebut saja Atletico Madrid dan Valencia di Spanyol, Chelsea di Inggris serta AS Roma, Fiorentina, Internazionale Milano, Juventus, Napoli, dan Parma di tanah Italia.

Bareng tim-tim tersebut, prestasi terbaik yang bisa disumbangkan Ranieri hanyalah Piala Raja Spanyol dan Piala Super Eropa bareng Valencia, serta Piala Italia dan Piala Super Italia bersama Fiorentina. Sampai akhirnya di musim 2015/2016 lalu, Ranieri sukses memboyong trofi mayor berupa gelar juara Liga Primer Inggris.

Meski begitu, dalam sejumlah momen bareng tim-tim tersebut, Ranieri malah sanggup membangun fondasi tim yang kokoh dan berguna bagi perjalanan masing-masing kesebelasan di periode selanjutnya bersama pelatih lain.

Segenap getir yang dirasakannya itu tak sedikit pun memunculkan kegeraman dari sosok kelahiran kota Roma ini. Ucapan-ucapannya tetap lembut dan tidak sekasar Jose Mourinho. Gesturnya pun tak angkuh laksana Arsene Wenger. Senyumnya tetap teduh seperti ayah yang menjadi kebanggaan para buah hati. Dalam situasi apapun, Ranieri tetap bertingkah profesional seperti seharusnya. Sebuah contoh sederhana yang kita semua bisa pelajari darinya.

Ranieri adalah representasi pria sederhana yang punya tabiat luar biasa, wajar bila kemudian dirinya beroleh cinta dari banyak orang. Saya pun masih ingat bagaimana cara Ranieri menyenangkan anak buahnya saat mengasuh Leicester dahulu. Suatu ketika, dirinya mengajak seluruh penggawanya untuk makan pizza bila sukses mencatatkan clean sheet.

Pada awalnya, hal tersebut gagal didapat oleh The Foxes. Namun Ranieri tetap bersikukuh untuk memotivasi anak buahnya dengan cara seperti itu. Hingga akhirnya, Leicester berhasil meraup hasil-hasil positif yang dibarengi dengan statistik tidak kebobolan.

Sosok yang semasa aktif bermain pernah membela Catania dan Palermo ini lantas mengajak seluruh pemainnya untuk datang ke sebuah kedai pizza di kota Leicester. Tak sekadar makan, tapi juga masuk ke dapur dan membuat adonan pizza sendiri. Sebuah cara yang terkesan sederhana namun menyimpan sejuta makna, bukan?

Baca juga: Ketika Sepak Bola Lupa Adab Terima Kasih

Di usianya yang kini semakin menua dan klub yang diasuhnya cuma berlaga di ‘liganya’ Paris Saint-Germain, melihat Ranieri mengangkat trofi juara liga mungkin terasa sedikit mustahil. Namun, peluang akan selalu terbuka untuk pria sebaik dirinya buat mengantar Nantes beroleh trofi. Misalnya saja dari ajang Piala Liga atau Piala Prancis.

Dengan segala macam cerita yang sudah dicecapnya dalam tiga dekade masa kepelatihan, Ranieri pasti kini ingin menikmati petualangannya bersama Nantes dengan sebaik-baiknya dan menepikan segala macam gosip-gosip usang tiada guna. Di Prancis, Ranieri bisa hidup tenang dan menikmati senja kariernya sambil menenggak anggur paling nikmat. Saya pun percaya, suatu saat Les Canaries akan mengukir senyum bersama Ranieri.

Selamat ulang tahun dan semoga panjang umur, Opa Ranieri!

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional