Juan Mata. Kehidupannya pernah diramalkan akan semakin berat bersama Manchester United ketika Jose Mourinho terpilih sebagai pelatih. Masa lalu keduanya ketika masih memperkuat Chelsea menjadi dasarnya. Namun, Mata justru menjadi pilihan utama Mourinho, membantu United bisa bersaing di papan atas Liga Primer Inggris.
Ketika masih bermain untuk Chelsea dan dilatih Mourinho, menit bermain Mata begitu terbatas. Manajer asal Portugal tersebut lebih memilih gelandang-gelandang yang bisa mengakomodasi sisi pragmatis di dalam dirinya. Oleh sebab itu, tak kunjung mendapatkan kepercayaan, Mata menerima pinangan United.
Berbeda 180 derajat dengan ramalan di atas, kini, Mata justru menikmati menit-menit bermain yang melimpah di bawah asuhan Mourinho. Mata menjadi katarsis, menjadi sebuah jembatan antar-lini, sekaligus sumber kreativitas Setan Merah. Pemain asal Spanyol ini seperti bisa menarik keluar kemampuan terbaik rekan-rekannya.
Dalam sebuah wawancara dengan Guardian, Mata mengungkapkan bahwa dirinya semakin menikmati kompetisi Liga Primer, yang konon disebut sebagai liga dengan corak fisik paling kentara. Ketika pertandingan mulai “liar”, mantan pemain Valencia tersebut justru semakin menikmatinya, alih-alih menarik diri karena fisiknya yang kecil.
“Ketika pertandingan berkembang semakin liar, maka lebih banyak ruang di lapangan yang terbentuk. Liga ini sangat mengandalkan fisik, yang mana sangat bergantung dengan taktik bola mati. Namun terkadang, ketika lawan mulai berpikir untuk menyerang dan melupakan taktik, saya justru banyak terbantu karena bisa menanfaatkan ruang yang mereka ciptakan,” kata Mata menjelaskan kegilaan Liga Primer dan keuntungan yang bisa ia manfaatkan.
Selama ini, United, terutama sejak diasuh Mourinho, ikut mendapat label sebagai “tim bertahan”. Parkir bus yang lekat dengan sosok Mourinho, menular ke United. Banyak yang memandangnya sebagai sepak bola yang negatif, karena hanya bertahan, tanpa niat menyerang. Namun, Mata memberi penjelasan terkait sepak bola yang baik, dan jawabannya sungguh tepat.
“Bagi saya, sepak bola yang baik itu bukan tentang kemampuan yang bisa Anda tunjukkan di atas lapangan, atau berapa banyak pemain yang bisa Anda lewati. Sepak bola adalah soal membuat keputusan yang benar sepanjang waktu, (terutama) ketika Anda menguasai bola,” terang Mata.
Juan Mata juga menambahkan bahwa beberapa pemain Inggris punya kemampuan membuat keputusan dengan benar. Mereka adalah Paul Scholes, Frank Lampard, dan Steven Gerrard. Sayangnya, lebih banyak pemain Inggris yang meskipun punya akselerasi mumpuni dan berbadan besar, mereka terlalu sering membuat keputusan yang keliru.
Ungkapan Mata tersebut cukup sulit dibantah karena banyak tim yang terlalu berusaha untuk bermain cantik, namun tak mendapatkan hasil di akhir musim. Ini semua soal pilihan dan cara United di tangan Mourinho tak betul apabila disalahkan. Pilihannya adalah bermain untuk menang, bukan untuk sekadar menghibur.
Tentang Common Goal
Bicara pilihan, Juan Mata memutuskan untuk bertindak ketika melihat masih begitu banyak manusia yang hidup dalam kekurangan. Ia menginisiasi sebuah gerakan yang diberi nama Common Goal. Sederhana saja, badan amal ini mengajak pesepak bola di dunia untuk menyumbangkan satu persen dari gajinya untuk sesama.
Sudah ada enam pemain sepak bola profesional dan satu pelatih yang bergabung dalam aksi kemanusiaan Juan Mata. Mereka adalah Serge Gnabry, Mats Hummels, Giorgio Chiellini, Dennis Aogo, serta dua pesepak bola wanita asal Amerika Serikat, Megan Rapinoe dan Alex Morgan. Julian Nagelsmann baru-baru menyusul aksi ini.
Baca juga: Serge Gnabry dan Upaya Common Goal untuk Dunia yang Lebih Baik
Tujuan akhir Juan Mata adalah mencapai posisi di mana satu persen dari total triliunan dolar yang dihasilkan oleh industri sepak bola, disumbangkan untuk aksi kemanusiaan.
“Tujuan akhir adalah semua orang yang berhubungan dengan sepak bola, termasuk media dan suporter, dapat membantu dengan cara yang berbeda. Cara paling mudah adalah memulainya dari para pemain karena kami akan mengundang perhatian yang lebih besar. Kita tengah berbicara soal nilai satu persen karena kita perlu dasar yang realistis, yang bisa menarik minat orang lain untuk bergabung. Satu persen dari gaji saya tidak berarti banyak. Tapi, jika suatu hari nanti kami bisa mencapai nilai satu persen dari gabungan semua gaji pesepak bola profesional, hasilnya tentu sangat luar biasa.”
Mengapa Mata begitu peduli dengan sesama? Meski aksinya mendunia, alasan Mata sangat personal. Dan ini semua dimulai ketika kakeknya dipanggil Yang Maha Kuasa.
“Beliau sering mengantar saya ke tempat latihan dan menonton semua pertandingan saya. Sepak bola adalah gairahnya dan ia sangat bahagia ketika punya cucu, di mana dari dirinya kakek bisa menikmati sepak bola,” ungkap Mata.
Mantan pemain akademi Real Madrid tersebut juga bernostalgia dengan masa lalunya, di mana kehidupan begitu berat dan keluarganya serba kekurangan. Mata juga mengungkapkan bahwa ia merasa keluarganya justru yang paling bahagia ketika dirinya meraih suatu prestasi. Sebuah kebahagiaan yang dahulu ketika hidup serba susah tak bisa dirasakan.
Rasa yang begitu dalam itu disalurkan Mata ke dalam sebuah aksi amal yang nyata. Kebaikan di sisi hatinya sudah mulai menular ke banyak hati pesepak bola lainnya. Juan Mata sendiri mengonfirmasi bahwa ada pemain asli Inggris yang akan segera bergabung. Pun, pejabat pembuat kebijakan di sepak bola dunia juga menyatakan tertarik.
Sepak bola, terkadang, bukan soal menang dan kalah. Sepak bola adalah soal kegembiraan dan tidak membiarkan sesesama tidak bisa menikmati rasa yang sama. Dari sisi lain Juan Mata, kita bisa belajar soal ketulusan dan kelembutan hati, bahkan ketika Anda sudah sukses.
Author: Yamadipati Seno (@arsenalskitchen)
Koki Arsenal’s Kitchen