Suara Pembaca

Pentingnya Edukasi untuk Pemain Sepak Bola Indonesia

Bertahun-tahun mengikuti perkembangan sepak bola Indonesia tentu sangat paham peristiwa apa saja yang mengiringi jalannya kompetisi. Permasalahan mental atau psikis, medis, hingga hukum, tidak dapat dipisahkan dari sepak bola kita. Namun, sayangnya, pengetahuan mengenai hal ini masih sangat minim untuk pemain. Kebanyakan pemain hanya tahu apa yang biasa mereka lakukan itu sudah benar dan dianggap ‘lumrah’.

Permasalahan mental seperti perkelahian antar-pemain atau dengan wasit, permainan keras yang berujung pada mencederai lawan, maupun kecemasan menghadapi tim-tim yang levelnya dianggap lebih tinggi, sudah sering terjadi. Belum lagi ketidaktahuan tentang dunia medis. Padahal, profesi pemain sepak bola begitu erat dengan dunia medis. Mereka memiliki risiko tinggi untuk cedera maupun sakit, hingga mungkin dapat berujung pada kematian.

Kemudian pemahaman mengenai kontrak kerja yang tentu saja berhubungan dengan hukum. Perundingan kontrak, pengaturan upah atau gaji, pembayaran pajak, hingga sanksi tertentu akibat dari melakukan kekerasan maupun bullying seringkali tidak diperhatikan oleh pemain. Edukasi yang minim bagi pemain pun memungkinkan mereka diplokoto atau dimanfaatkan pihak-pihak tertentu.

Contoh kasus mengenai perkelahian antar-pemain merupakan salah satu akibat dari rendahnya pengaturan emosi pemain. Misalnya, saat Piala AFF U-18 lalu, Saddil Ramdani mendapat kartu merah setelah sengaja menyikut pemain Thailand. Insiden itu tentu saja bukan hanya merugikan Saddil sendiri, melainkan juga timnas.

Emosi berhubungan erat dengan pikiran dan tindakan seseorang, tiga elemen ini tidak dapat dipisahkan. Emosi pun berhubungan dengan fisiologis tubuh yang terkadang membuat seseorang melakukan tindakan yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain.

Baca juga: Insiden Saddil Ramdani dan Pentingnya Mengatur Emosi

Edukasi mengenai emosi dapat diberikan dengan Terapi Kognitif-Perilaku (TKP). Terapi ini, menurut penelitian psikolog, Vivian Adair, bertujuan untuk meningkatkan pemahaman, mengidentifikasi dan mengurangi pemikiran yang tidak membantu serta perilakunya, mengurangi emosi yang menyulitkan, mempelajari keterampilan lain, serta meningkatkan cara mengatasi emosi yang dapat menyebabkan stres.

Permasalahan medis yang terjadi di sepak bola kita juga perlu mendapat perhatian lebih. Yusuf Effendi, salah seorang pemain Persegres Gresik, sempat mengaku bahwa ia sama sekali tidak memhami bagaimana cara melakukan pertolongan pertama pada rekannya yang cedera. Hal ini tentu membuat kita mengingat insiden yang terjadi pada almarhum Choirul Huda yang bertabrakan dengan sesama pemain.

Kemudian ada Aji Saka yang pingsan di lapangan setelah bersenggolan dengan pemain Arema dan membentur tiang gawang. Saat itu, Cristian Gonzales dengan sigap memberikan pertolongan pertama sembari menanti tim medis masuk ke lapangan.

Edukasi tentang medis sedikit harus diberikan pada pemain, karena pekerjaan mereka yang berisiko tinggi dan rentan mengalami cedera. Minimal tentang pertolongan pertama pada pemain yang cedera atau tentang gizi yang harus dipenuhi oleh pemain. Pelatih fisik Persija Jakarta, Yogi Nugraha, sempat mengungkapkan bahwa banyak pemain yang belum paham apabila malam hari, mengonsumsi makanan berminyak dapat membuat tubuh mereka lemas saat esok paginya latihan.

Kasus hukum yang menimpa pemain sepak bola juga tak sedikit, paling sering dibahas tentu saja mengenai kontrak kerja atau perjanjian kerja yang berhubungan dengan gaji. Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 Pasal 1 Sub 14, menjelaskan bahwa perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.

Beberapa waktu lalu, penulis sempat bertanya pada sekitar 8 pemain dari beberapa klub berbeda mengenai pemahaman mereka tentang kontrak yang mereka tanda tangani. Mereka mengaku hanya membaca beberapa ketentuan penting dalam kontrak tersebut, seperti durasi bekerja, nominal gaji, dan kompensasi yang diterima apabila putus kontrak atau mengundurkan diri.

Mereka beralasan, karena kontrak terdiri dari berlembar-lembar kertas dan sangat tebal. Padahal, kontrak merupakan kekuatan pemain apabila terjadi hal-hal yang merugikan mereka dikarenakan kelalaian klub, misalnya mengenai gaji yang tertunggak atau kompensasi yang harus diterima apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti pemutusan kontrak sepihak.

Hal-hal sederhana seperti ini seharusnya menjadi perhatian bagi pemain, manajemen klub, PSSI, APPI, APSI, maupun organisasi sepak bola lainnya. Bukan hanya edukasi tentang teknis di lapangan yang sudah dituangkan dalam Kurikulum Sepak bola Indonesia, karena sepak bola berhubungan dengan banyak bidang lainnya.

Pada musim 2014, Pelita Bandung Raya (sekarang Madura United) pernah mengadakan sesi kelas dengan mendatangkan ahli gizi sebagai narasumber. Beberapa hari lalu, Persebaya Surabaya juga mengadakan sesi kelas tentang latihan fokus bersama psikolog tim mereka.

APPI pun sempat mengadakan acara bertajuk FIFPro APPI International Legal Conference (ILC) pada 2014 lalu. Dikutip dari Republika, acara ini menjadi ajang edukasi untuk para pemain sepak bola, manajemen klub, pelatih, praktisi hukum, jurnalis, pelajar, maupun pencinta sepak bola agar lebih memahami hak-hak profesional dan cara apa saja yang sekiranya dapat dilakukan untuk memajukan sepak bola.

Pemain harus sadar akan kebutuhan edukasi dalam berbagai bidang yang mampu menunjang performa mereka dan tentu saja demi kebaikan masa depan mereka sendiri. Selain itu, klub pun seharusnya memfasilitasi edukasi untuk pemain karena dapat menunjang peningkatan performa timnya masing-masing.

Author: Dianita Iuschinta Sepda (@siiemak)
Mahasiswi program magister psikologi di Universitas Airlangga Surabaya. Pencinta kajian psikologi olahraga dan Juventus.