Kolom

Tidak Ada Air Mata untuk Belanda

Dunia sepak bola Belanda, dan terutama para penggemarnya di Indonesia, sudah seharusnya tak perlu berduka karena tak jadi berangkat ke negeri kelahiran Maxim Gorkhy.

Meski di pertandingan terakhir menang atas Swedia lewat dua gol Arjen Robben, yang kemudian menyatakan diri pensiun dari tim nasional, Der Oranje resmi dinyatakan gagal lolos ke perhelatan puncak Piala Dunia 2018 di Rusia. Kalah selisih gol. Salah satu alasan kegagalan yang tidak hanya konyol, tapi juga tidak lucu. Melanjutkan tradisi buruk dua tahun lalu ketika terjungkal di fase kualifikasi hingga akhirnya tidak mampu turut serta di Piala Eropa 2016.

Dua kegagalan beruntun tersebut bukan hal baru. Tapi tidak akan cukup menjadi alasan menghapus warisan negeri ini bagi sepak bola dunia. Walau hanya memiliki gelar Piala Eropa 1988, Belanda tidak pernah dan tidak akan dipandang sebelah mata oleh para penggemar sepak bola. Negeri ini tetap dianggap raksasa, dan pasar taruhan tidak pernah bertindak konyol dengan mencoretnya dari balapan. Der Oranje akan selalu, seperti sebutan ayah saya, menjadi “Raja tanpa Mahkota”.

Gelar tersebut bukan tanpa sebab.

Semuanya dimulai di akhir dekade 1960-an, yang dengan kegeniusan Rinus Michels, revolusi dilangsungkan melalui penemuan Totaalvoetbal. Ini adalah permulaan dunia mengenal sepak bola menyerang dengan garis pertahanan tinggi dikombinasikan dengan umpan-umpan terukur dalam format segitiga antar-pemain yang bermuara pada dua final Piala Dunia di tahun 1974 dan 1978.

Kalah oleh Jerman Barat dan Argentina, tapi gaung Johan Cruyff, Johan Neeskens, Ruud Krol, dan Wim Jansen, diawetkan waktu hingga generasi smartphone. Penemuan tersebut secara langsung berimbas ke liga domestik. Ajax Amsterdam, PSV Eindhoven, dan Feyenord, bergantian menjadi jawara Eropa di dekade tersebut.

Meski sikap keras kepala yang berevolusi jadi kesombongan, kemudian siklus membawa Belanda kembali menelan kekecewaan ketika gagal ikut serta di Piala Dunia 1982 dan 1986 serta Piala Eropa 1984.

Namun, kejayaan tersebut kembali berulang ketika generasi baru Ajax berhasil membawa pulang Piala Champions di tahun 1995. Sekaligus memperkenalkan Edwin van der Sar, Frank de Boer, Michael Reiziger, Ronald de Boer, Edgar Davids, Marc Overmas, Clarence Seedorf, dan Patrick Kluivert ke para pemandu bakat tim-tim kaya di Eropa. Nama-nama inilah yang memaksa Brasil harus melalui adu penalti untuk mengklaim tiket final Piala Dunia 1998.

Warisan generasi emas tersebut di kemudian hari dirusak oleh sekelompok berandalan pimpinan Bert van Marwijk di gelaran Afrika Selatan 2010. Meski mencapai final, permainan yang ditampilkan benar-benar membuat Anda merasa menelan kembali muntah yang terasa lebih nyaman di tenggorokan. Sembilan kartu kuning dan satu kartu merah membuat Belanda memang layak tak menjadi juara. Tendangan Nigel de Jong ke dada Xabi Alonso akan jadi salah satu kenangan memalukan dari sebuah gelaran final.

Sisi brutal Belanda tersebut bukan tanpa sejarah. Pragmatisme tersebut adalah kelanjutan dari sisi barbar Belanda di gelaran Piala Dunia empat tahun sebelumnya ketika berjumpa Portugal, dan mewariskan teror Perang Nürnberg yang begitu memalukan. Kalah dengan satu gol dalam pertandingan yang lebih menyerupai tawuran pelajar SMA. Empat kartu merah dan enam belas kartu kuning.

Sudah memang selayaknya.

Hingga kemudian, saat ini, absennya Der Oranje dalam pagelaran terbesar sepak bola di dunia sudah seharusnya tidak diratapi atau disebut tragedi. Dalam pertandingan-pertandingan memperebutkan tiket ke Rusia, Belanda sukses meyakinkan banyak penggemarnya, termasuk saya, bahwa mereka tak layak lolos.

Selain organisasi permainan yang buruk, strategi yang gagap, kaku dan membosankan, tim nasional Belanda juga adalah campuran yang jelas tidak pas namun dipaksakan. Kombinasi buruk antara para pemain senior yang sudah uzur dan kehilangan taji macam Robin van Persie, Klass Jan Huntelaar, dan Wesley Sneijder, dipadu para pemain muda yang terlalu sering gugup meski punya bakat untuk jadi pemain dunia papan atas di kemudian hari.

KNVB sebagai organisasi induk sepak bola di negeri ini jelas harus bertanggung jawab. Bukan hanya dengan sekadar mencopot pelatih dan menggantinya dengan wajah baru, tapi bertindak lebih jauh dengan memperhatikan aspek-aspek di luar lapangan yang punya imbas langsung terhadap performa tim nasional.

Di lapangan, Belanda tidak memiliki bintang. Memphis Depay, Georginio Wijnaldun, atau Virgil van Dijk sekalipun, memang pemain-pemain bagus. Tapi harus jujur diakui, mereka berada satu level di bawah Eden Hazard, Kevin De Bruyne atau Romelu Lukaku yang membuat Belgia lebih perkasa. Jasper Cilessen di bawah mistar gawang Der Oranje, bahkan belum pernah sekalipun dimainkan oleh Barcelona di musim ini. Ia hanya pelapis di belakang Marc-Andre ter Stegen. Di barisan depan, adalah mustahil bagi Belanda mendulang sukses dengan hanya mengandalkan Vincent Janssen yang dibuang sementara ke Liga Turki oleh Tottenham Hotspur, setelah gagal bersaing dengan Harry Kane dan Son Heung-min.

Belum lagi menyoal tentang memburuknya sistem pembinaan pemain muda di Belanda karena kalah bersaing dengan tim-tim kaya dari Inggris dan Spanyol.

Itu mengapa, meski tumbuh sebagai generasi ketiga dalam keluarga yang menggemari timnas sepak bola negeri kelahiran Sneevlit ini, karena sepak bola Indonesia secara rasional lebih mirip punguk merindukan bulan ketika bicara Piala Dunia, saya tidak terlalu sedih dengan gagalnya Arjen Robben dan kawan-kawan menuju Rusia.

Apa yang harus disesali dari hasil panen yang diawali dengan manajemen organisasi yang buruk, dominannya sikap konservatif dan jemawa serta ketidakmampuan untuk beradaptasi di dalam tubuh KNVB?

Tidak ada. Tidak ada yang akan merindukan permainan buruk Belanda di Rusia tahun depan. Sehingga absennya Der Oranje bukan katastropi sepak bola dunia. Sebaliknya, ia cuma kegagalan struktural yang berupaya ditutup-tutupi dengan kegemilangan beberapa dekade lalu. Jika ini terus berlanjut, mungkin ada baiknya negara ini tidak perlu ikut serta di Piala Eropa 2020.

Author: Andre Barahamin
Penulis lepas dan pencinta West Ham United