Nasional Bola

Sinar Terang Basten Tri Pamungkas di Kota Bersinar

Kredit: Dokumentasi Basten Tri Pamungkas

PSS Sleman yang tak terlupakan

Sekitar dua tahun berselang, tawaran itu datang dari sebuah tim asal Yogyakarta yang terkenal denga basis suporternya yang besar, PSS Sleman. Bersama Sahid dan Agung Andre, kami pun beranjak dari Klaten, menempuh jarak sekitar 30 kilometer ke arah selatan, menuju klub baru kami yang sedang berkompetisi di Liga Primer Indonesia (LPI).

Di awal kedatangan saya, PSS memiliki banyak pemain dari Klaten. Selain dua rekan saya tadi, kesebelasan berbaju hijau ini juga diperkuat Fachruddin Aryanto, Ade Christian, dan satu anak magang. Hebatnya, kami semua pernah turun sebagai starter ketika bermain di Palangkaraya. Sebuah kenangan yang tak terlupakan karena kami berasal dari kota yang sama dan kini membela klub yang sama.

Rekan saya, Sahid, menjadi salah satu rekrutan anyar yang langsung tampil prima saat itu, tapi cedera sering membuatnya menepi dari lapangan dan membatasi jumlah penampilannya bersama Elang Jawa. Sebaliknya, saya sendiri tidak langsung menjadi juru gedor andalan PSS, tapi bukan berarti karier saya di PSS hanya terhenti di bangku cadangan.

Ketika kembali mengulang memori saat mengenakan seragam Super Elja, ingatan saya tertuju ke sebuah turnamen bernama Piala Bupati. Di ajang yang diikuti Persebaya Surabaya, Persiba Bantul, dan satu tim asal Magelang itu, saya sempat menjadi pahlawan yang datang dari bangku cadangan, atau yang lebih populer dengan sebutan supersub.

PSS saat itu berjumpa Persebaya untuk memperebutkan tiket ke partai puncak. Pertandingan berlangsung sengit dan saat itu waktu hanya tersisa 15 menit ketika saya masuk sebagai pengganti. 15 menit di atas kertas adalah waktu yang sangat minim untuk menunjukkan kemampuan terbaik, tapi di atas lapangan segala kemungkinan dapat terjadi.

Layaknya film Fifteen Minutes That Shook The World, saya pun berhasil mengguncangkan seisi stadion saat itu dengan satu gol dan satu asis yang mengandaskan perlawanan Bajul Ijo, sekaligus meloloskan kami ke final untuk menantang Persiba Bantul.

Laskar Sultan Agung saat itu bukanlah tim sembarangan. Mereka baru saja menjuarai Divisi Utama 2010/2011 dengan pemain-pemain sekaliber Busari dan Wahyu Wiji Astanto. Kami sempat memberikan perlawanan, tapi perbedaan kualitas tak dapat dihindari. PSS takluk dari saudara satu provinsi dan harus merelakan Piala Bupati diangkat oleh Persiba.

Selama dua musim saya berseragam PSS Sleman, tepatnya di musim 2011/2012 dan 2012/2013, sebelum bergabung ke Persik Gunung Kidul yang berkompetisi di Liga Nusantara (Linus), tiga tahun yang lalu. Meski saya tidak lama mengabdi di PSS, tapi klub itu meninggalkan kesan yang mendalam dalam perjalanan karier saya.

Dukungan suporter yang selalu melimpah di setiap pertandingan adalah pengalaman yang sangat menyenangkan dan takkan terlupakan. Tak peduli pertandingan dilangsungkan di kandang ataupun tandang, warna hijau-hijau kebanggaan PSS selalu mewarnai tribun stadion. Itulah mengapa banyak sekali eks pemain Super Elja yang berharap dapat kembali ke Sleman untuk mengenakan baju tempur PSS, seperti Kristian Adelmund contohnya.