Eropa Jerman

Kasidah Sepak Bola Franz Beckenbauer

Beliau seorang pemain pilih tanding, pelatih yang menginspirasi, dan presiden klub yang visioner. Ia mendefinisikan peran libero, menunjukkan kehebatan dalam sekelabat gerakan. Franz Beckenbauer, dalam kilas kariernya, kasidah sepak bola yang ditulis berima. Prosa pujian dinarasikan dengan indah.

Der Kaizer adalah julukan yang melekat hanya untuk nama Beckenbauer. Kita mengenal istilah il Mago, ‘sang penyihir’, untuk menjelaskan kehebatan pemain-pemain seperti Rivaldo, Juan Sebastian Veron, hingga Andres Iniesta. Namun terminologi Sang Kaisar adalah hak prerogatif legenda hidup timnas Jerman tersebut.

Beckenbauer bermain dengan dada membusung. Auranya terasa di setiap sudut lapangan, mengintimidasi bek lawan, bahkan ketika ia masih berada di wilayahnya sendiri. Ia memberi komando, mengatur koreografi bagi rekan-rekannya di atas lapangan. Beckenbauer adalah terjemahan bebas akan makna aristokrat lapangan hijau.

Ia bisa bermain sebagai bek tengah, dan Beckenbauer akan menjadi bek tengah terbaik. Ia fasih bermain sebagai gelandang, dan Beckenbauer akan menjelma menjadi sentral permainan. Ia jago mencetak gol, dan Beckenbauer akan menjadi salah satu pembobol gawang paling ahli. Ia seorang kaisar, memerintah, dan melaksanakan kebijakannya sendiri dengan akurasi yang menakutkan.

Tak hanya aksi di lapangan hijau, nama Beckenbauer masih sangat mengintimidasi bahkan ketika ia sudah menggantung sepatu. Kalimat-kalimatnya menentukan masa depan. Dan pujian dari bibir Beckenbauer bisa menjadi pujian paling manis yang pernah menyapa gendang telinga seorang pemain, terutama jika ia seorang Jerman tulen.

Kalimatnya sama-sama berbobot, seperti aksinya menerobos lini lawan dengan lari vertikal yang gagah itu.

“Yang terkuat tidak selalu menang. Tetapi pemenang selalu kuat.”

Leicester City mengungguli tim-tim besar Liga Primer Inggris di musim 2015/2016. Tim semenjana itu mengalani salah satu musim dongeng mereka. Menjuarai salah satu liga paling atraktif di dunia, ketika mereka dijagokan untuk degradasi. Keajaiban seperti ini yang menjadi definisi bahwa tim kuat tak selalu menang. Namun, yang pada akhirnya menjadi pemenang, adalah tim yang kuat.

Kata “kuat” bisa didefiniskan menjadi banyak arti. Untuk Leicester, kata “kuat” bersinonim dengan tim yang solid, bersama pelatih yang rendah hati, dan pemain-pemain berani mati. Kombinasi ini yang membuat Si Rubah menjadi kuat, siap menantang tim-tim kuat, dan pada akhirnya menjadi paling kuat.

“Sepak bola adalah salah satu sarana komunikasi terbaik. Sepak bola tidak memihak, apolitis, dan universal. Setiap hari, di tiap pelosok dunia, sepak bola menyatukan manusia. Tua dan muda, pemain atau penggemar, kaya atau miskin. Sepak bola membuat semuanya menjadi sama, membangkitkan imajinasi, dan menjadi pemicu kebahagiaan sekaligus kesedihan,” ujar Sang Kaisar dengan syahdu.

Suriah, dan beberapa negara lain yang dilanda perang tak melupakan kebahagiaan dari lapangan hijau. Ketika Suriah berpeluang tampil di Piala Dunia 2018, dunia menangis bahagia. Sepak bola, menjadi sumur kebahagiaan, menyegarkan rona negara yang keruh dengan permusuhan.

Beckenbauer menggunakan diksi “membangkitkan imajinasi” untuk sepak bola. Bagi Suriah dan negara-negara minor di tengah himpitan para penguasa Piala Dunia, imajinasi adalah senjata. Imajinasi memicu keinginan, asal disalurkan dengan tepat. Keinginan melahirkan niat dan perencanaan. Pada ujungnya adalah kerja keras untuk mewujudkan imajinasi itu.

Kita akrab dengan kejutan di kompetisi akbar, dan menggilainya seperti sebuah candu. Keberhasilan yang tak diduga, selalu dinanti. Kroasia, menjadi juara tiga Piala Dunia 1998. Denmark menjadi juara ketika tampil sebagai tim pengganti. Hebatnya, Dinamit dari Skandinavia itu menundukan Jerman di partai puncak Piala Eropa 1992. Beckenbauer membingkai kebahagian, kesedihan, imajinasi, dan kejutan dengan apik.

Kemenangan Denmark, Leicester, dan kebahagiaan Suriah, juga gambaran kalimat sohor Beckenbauer lainnya: “Penguasaan bola tak ada artinya, ketika lawan bisa memanfaatkan peluang.”

Memanfaatkan, dan memaksimalkan peluang menjadi gol. Sebuah pertandingan masih diukur menggunakan jumlah gol terbanyak untuk menentukan pemenang. Dan terkadang, tim pemenang, yang mencetak gol lebih banyak, lebih sedikit melakukan serangan. Mereka membuat satu peluang menjadi berarti.

Leicester tak selau menguasai bola ketika menjuarai Liga Primer Inggris, terutama ketika bertemu tim kuat. Serangan balik mereka efektif dan bisa diandalkan. Namun yang paling signifikan adalah ketangguhan tim ketika menyerap serangan lawan. Ketangguhan tim, bukan hanya soal barisan pertahanan saja. Denmark di Piala Eropa 1992 pun begitu, tak melulu menyerang sepanjang laga. Efektif, justru senjata yang mematikan di sepak bola.

Efektif sendiri adalah gambaran Beckenbauer juga. Ia tak selalu bermain indah. Pun ketika menjadi pelatih, Beckenbauer tak menekankan terminologi permainan indah. Ia bukan Johan Cryuff, sang filsuf dan nabi sepak bola indah itu. Beckenbauer adalah kaisar, ia memandang sepak bola apa adanya. Bagi orang Jerman, terutama pelaku sepak bola, menang adalah proses hakiki.

Siapa saja boleh saling mengalahkan, tapi yang menang pada akhirnya adalah Jerman. Tim Panser tak selalu yang terkuat. Namun pada akhirnya, Die Mannschaft yang mengangkat piala. Aristokrat, visioner, dan genius. Sebuah rentetan pujian untuk Kaisar, Franz Beckenbauer.

Selamat ulang tahun, der Opa. Sehat selalu.

Author: Yamadipati Seno (@arsenalskitchen)
Koki Arsenal’s Kitchen