Selama dua hari terhitung dari kemarin, umat Muslim di seluruh dunia merayakan momen Idulfitri. Satu nama dari dunia sepak bola yang cukup lekat dengan momen ini adalah Samir Nasri. Kebetulan, pesepak bola Prancis keturunan Aljazair ini juga berulang tahun ke-30 pada hari kedua Idul Fitri, yang di tahun 2017 jatuh pada hari ini, 26 Juni.
Nasri adalah sebuah topik yang cukup unik. Kesuksesan di dalam kariernya tidak cukup banyak untuk disebut fenomenal, tapi juga tidak terlalu gagal untuk disebut medioker. Gelar juara bergengsi di dalam hidupnya sampai usia menjelang kepala tiga memang hanya dua gelar juara liga bersama Manchester City. Namun, empat klub besar di tiga negara Eropa telah disinggahinya dan pengalaman mengemban jabatan kapten tim nasional Prancis pun pernah mewarnai kariernya.
Seperti seniornya, Zinedine Zidane, Nasri lahir dari keluarga keturunan imigran Aljazair di kota Marseille, Prancis. Pada usia 17 tahun, ia mencicipi dunia sepak bola profesional untuk pertama kali dengan berkostum Olympique Marseille. Ia juga mencuri perhatian dunia dengan mencetak gol kemenangan Prancis atas Spanyol di final Piala Eropa U-17 pada tahun 2004.
Di Marseille, ia dipercaya menggantikan posisi idola suporter, Franck Ribery. Nasri kemudian menjadi pemain inti selama empat tahun sebelum Arsenal menawarinya untuk bermain di Liga Inggris. Nasri pun mulai menjajal liga paling kompetitif di dunia tersebut pada usianya yang ke-21.
Nasri menikmati dua musim pertamanya di Arsenal, yaitu musim 2008/2009 dan 2009/2010, sebagai salah satu pemain penting di skema inti pelatih Arsene Wenger. Ia selalu mencatatkan penampilan lebih dari 30 pertandingan selama dua musim tersebut, dengan total mencetak dua belas gol. Sayang, Arsenal hanya mampu finis di posisi empat besar.
Meski demikian, pamor Nasri menanjak setelah sempat masuk nominasi pemain terbaik dan pemain muda terbaik versi PFA (asosiasi pemain professional Inggris). ia juga tergabung di Team of the Year musim 2010/2011 versi PFA.
Pada tahun 2011, ia meninggalkan London untuk bergabung dengan Manchester City. Keputusan Nasri tersebut memancing kemarahan para fans Arsenal, yang memplesetkan namanya menjadi ‘Na$$$ri’, sebuah sindiran yang menuduh pemain tersebut mata duitan. Namun, Nasri sendiri membuktikan bahwa bukan hanya gaji sebesar 170 ribu paun per pekan yang dinikmatinya di City, melainkan juga gelar juara liga.
Itu dipertegas dari pernyataannya setelah memenangi trofi Liga Primer 2011/2012. “Mereka bilang saya hanya datang demi uang. Namun, saya memenangi trofi juara liga pertama saya di sini, gelar yang belum pernah sekalipun saya menangkan selama bersama mereka (Arsenal).”
Sewaktu bermain di City itulah momen ikonik Nasri tercipta. Setelah mencetak gol ke gawang Southampton di pekan pertama Liga Inggris 2012/2013, ia menunjukkan kaos bertuliskan ‘Eid Mubarak’, sebagai ucapan selamat bagi umat Muslim di seluruh dunia.
Selebrasinya itu diganjar kartu kuning, karena melanggar aturan FIFA yaitu dilarang memasukkan pesan-pesan politik maupun keagamaan ke lapangan sepak bola. Namun, Nasri tak peduli dan disanjung umat Muslim seluruh dunia berkat aksinya tersebut.
Ia kembali memenangi gelar juara Liga Inggris pada musim 2013/2014, dengan Nasri mencetak gol pembuka kemenangan atas West Ham pada bulan Mei 2014. Kemenangan itu memastikan gelar juara kembali terbang ke Stadion Etihad. Nasib malang menimpanya dua musim kemudian, ketika ia dilanda cedera berkepanjangan yang membuatnya absen lama dan cukup terlupakan oleh penggemar sepak bola dunia.
Pada musim panas 2016, ia menerima tawaran peminjaman dari Sevilla. Di klub Liga Spanyol ini, Nasri menemukan kembali sentuhan-sentuhan magisnya yang sempat membuatnya dikagumi banyak kalangan. Ia menjalin kerja sama yang padu dengan kompatriotnya asal Prancis, Steven Nzonzi dan menjadi aktor utama keberhasilan Sevilla bersaing di papan atas. Sayang, performanya itu tak dapat dijaganya di paruh kedua musim 2016/2017, sehingga Sevilla hanya finis di posisi empat klasemen akhir dan terhenti di babak 16 besar Liga Champions.
Di tim nasional Prancis, Nasri seolah akrab dengan berbagai masalah yang memaksanya pensiun dari sepak bola internasional pada usia 27 tahun. Ia sempat disejajarkan dengan para legenda tim nasional Prancis lain, seperti Robert Pires, Zidane dan bahkan Michel Platini. Ia tampil di Piala Eropa 2008 dan 2012, tapi tidak terpilih untuk memperkuat Les Blues di Piala Dunia 2010.
Insiden dengan wartawan setelah Prancis tersingkir dari Spanyol di Piala Eropa 2012 menjadi akhir karier internasional Nasri. Karena aksi tak terpuji tersebut, FIFA menghukumnya tak boleh tampil di tiga pertandingan internasional. Keputusan tersebut memancing sang pemain untuk mengakhiri kariernya di tim nasional. Ia pun kemudian dikenal di Prancis sebagai L’Enfant Terrible (Si Anak Nakal) akibat berbagai kontroversinya.
Di usianya yang baru menginjak 30 tahun, Nasri memang masih bisa bersaing di level tertinggi sepak bola professional selama beberapa tahun lagi. Mungkin ia tak akan mencapai level Zidane maupun Platini, tapi setidaknya ia telah mempersembahkan berbagai momen ikonik di sepak bola. Termasuk momen ‘Eid Mubarak’ yang akan dikenang umat Muslim hingga berpuluh tahun ke depan.
Author: Mahir Pradana (@maheeeR)
Mahir Pradana adalah pencinta sepak bola yang sedang bermukim di Spanyol. Penulis buku ‘Home & Away’.