Selama beberapa musim terakhir, posisi bek sayap di skuat Internazionale Milano disebut-sebut sebagai area yang paling lemah. Tak terkecuali saat I Nerazzurri melakoni kampanyenya di musim 2016/2017 yang berakhir remuk redam. Bagi Interisti, keberadaan Cristian Ansaldi, Danilo D’Ambrosio, Yuto Nagatomo dan Davide Santon untuk menjadi bek kanan ataupun bek kiri bukanlah solusi terbaik yang dibutuhkan tim.
Dari kuartet tersebut, praktis hanya D’Ambrosio yang paling sering diturunkan walau di musim kemarin Inter sampai harus berganti-ganti pelatih sampai lima kali (menghitung masa jabatan Stefano Vecchi sebagai caretaker di dua periode).
Berdasarkan data yang dihimpun via Transfermarkt, pemain berusia 28 tahun itu jadi satu-satunya fullback yang punya waktu bermain di atas 2.000 menit. Sementara kesempatan main tiga pesaingnya bahkan tak menembus angka sebesar itu.
Meski masih kerap dicibir oleh Interisti akibat kurang cakap melepas umpan lambung dan sering telat turun membantu pertahanan usai melakukan overlap, kepercayaan yang diberikan pelatih-pelatih Inter di beberapa musim terakhir membuktikan jika kemampuan dan konsistensi D’Ambrosio masih sedikit di atas ketiga rekannya.
Apalagi di beberapa kesempatan, D’Ambrosio juga tidak terlalu canggung saat pelatih memintanya bermain di posisi bek tengah saat Inter memainkan skema tiga pemain belakang. Hal serupa belum tentu bisa Interisti dapati dari Ansaldi, Nagatomo dan juga Santon.
Maka wajar bila hampir di setiap musim, selama kurang lebih tiga musim terakhir setelah pensiunnya Javier Zanetti, tifosi Inter secara terang-terangan meminta pihak klub untuk menggaet satu atau dua fullback anyar untuk menggantikan figur yang dianggap sudah tidak kompetitif.
Setelah bek asal Swiss, Ricardo Rodriguez, yang santer diberitakan bakal ke Inter namun justru dikabarkan mendekat ke AC Milan, perhatian manajemen Inter beralih kepada bek kiri kepunyaan OGC Nice asal Brasil, Dalbert Henrique. Kabarnya, manajemen Nerazzurri telah mengirimkan proposal penawaran bagi Dalbert dengan nominal sekitar 10 juta euro. Tapi kubu Nice menolak lantaran mereka meminta tebusan sebesar 15 juta euro buat bek kiri mudanya itu.
Selain itu, kabarnya kubu Inter juga mendekati dua fullback milik tim nasional Belanda, Rick Karsdorp (Feyenoord) dan Kenny Tete (Ajax) sebagai opsi lain untuk menambal pos fullback yang lemah walau keduanya cenderung bermain sebagai fullback kanan.
Terlepas dari siapa sosok yang benar-benar tengah didekati Inter secara serius untuk menambal pos fullback, pihak manajemen untuk kali kesekian seolah lupa pada sumber daya yang telah mereka miliki namun belum dioptimalkan. Ya, para jebolan tim akademi Inter itu sendiri.
Dari sekian nama yang muncul ke permukaan, ada satu yang menarik perhatian saya sejak musim 2015/2016 silam. Dialah bek kiri kelahiran Milano, 19 tahun yang lalu, Federico Dimarco.
Pemain setinggi 174 sentimeter ini sudah masuk ke akademi Inter kala usianya baru 7 tahun. Bersama para pelatih di semua tingkatan usia, Dimarco digembleng untuk menjadi salah satu pemain dengan potensi yang bisa dimaksimalkan Inter di masa yang akan datang.
Sayangnya, tim yang pernah dilatih Jose Mourinho ini justru belum melirik berlian mudanya ini sebagai sosok yang bisa dimatangkan sekaligus dieksploitasi kemampuannya. Alih-alih memberi kesempatan bagi Dimarco bermain di tim utama sekaligus bersaing dengan Ansaldi maupun Nagatomo, Inter justru lebih senang meminjamkan Dimarco ke klub lain. Mulai dari Ascoli di kompetisi Serie B musim 2015/2016 serta Empoli pada Serie A musim 2016/2017.
Padahal, baik saat berkostum Ascoli maupun Empoli, Dimarco tak pernah diturunkan lebih dari 15 pertandingan. Situasi tersebut jelas bisa memengaruhi perkembangan pemain muda, baik secara fisik maupun psikis.
Urusan menentukan skuat memang jadi hak seorang pelatih, keadaan ini pula yang kemungkinan besar membuat Dimarco sama sekali belum dilirik. Namun menyia-nyiakan bakat dan potensi yang dimiliki Dimarco juga bisa menimbulkan sebuah penyesalan di akhir layaknya kisah Andrea Pirlo, Roberto Carlos, Dennis Bergkamp dan banyak nama lain yang dijual Inter dan menjadi pemain besar di klub lain. Percayalah, Inter punya bakat hebat perihal menyia-nyiakan bakat pemainnya.
Kembali pada Dimarco, bek kiri muda ini konsisten tampil baik di dua turnamen akbar yang diikutinya bersama tim nasional junior Italia (Piala Eropa U-19 tahun 2016 dan Piala Dunia U-20 2017). Untuk turnamen yang disebut pertama, Dimarco yang menjadi andalan allenatore Paolo Vanoli berhasil menggelontorkan empat gol sepanjang turnamen yang kebanyakan lahir dari situasi bola mati. Dirinya pun keluar sebagai top skor timnas muda Italia di turnamen itu. Sayang, kampanye juara Azzurrini di Piala Eropa U-19 dikandaskan oleh Prancis yang ketika itu diperkuat oleh Kylian Mbappe dengan skor telak 0-4.
Sementara itu, di bawah asuhan Alberigo Evani pada Piala Dunia U-20, Dimarco tak mendapatkan kesempatan serupa. Dirinya cuma jadi pilihan kedua setelah Giuseppe Pezzella. Meski begitu, Dimarco tetap tampil maksimal ketika dimainkan. Buktinya tersaji di fase perempat-final melawan Zambia, hari Senin (5/6) kemarin.
Masuk di menit ke-44 untuk menggantikan Pezzella yang memperoleh kartu merah kontroversial dari wasit, Dimarco cukup baik dalam menjaga areanya sekaligus membantu serangan. Ketika Italia tertinggal, Dimarco berhasil menyarangkan gol via sepakan bebas di menit ke-88 untuk menyamakan skor sekaligus memaksa laga berlanjut ke babak perpanjangan waktu.
Di masa tambahan, umpan terukur Dimarco memanfaatkan tendangan sudut berhasil dikonversi dengan sempurna oleh Luca Vido untuk mengubah papan skor menjadi 3-2. Kedudukan ini sendiri berakhir sampai wasit meniup peluit panjang sekaligus meloloskan Azzurrini ke babak semifinal.
Walau aksi-aksinya bersama timnas muda Italia tidak serta merta bisa dijadikan justifikasi bahwa Dimarco adalah pemain belia yang bakal jadi bintang di masa depan, namun setidaknya kubu Inter mau mencoba memanfaatkan tenaga pemuda yang menjuarai Piala Italia Primavera 2015/2016 dan Torneo di Viareggio 2014/2015 bersama Inter Primavera ini di Serie A musim depan.
Jujur saja, Interisti sudah begitu hopeless dengan performa angin-anginan dari Ansaldi, Nagatomo dan Santon yang selama ini bergantian mengisi pos fullback kiri Inter. Dibanding menghabiskan dana belasan juta euro, untuk diinvestasikan kepada Dalbert misalnya, mengapa manajemen tak mencoba produk akademi mereka sendiri?
Walau mungkin saja akan butuh waktu untuk mencapai tingkat kematangan tertentu sebagai pesepak bola, siapa tahu Dimarco merupakan jawaban nyata atas kebutuhan Inter guna menyudahi masalah akut di pos fullback mereka selama ini.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional