Ajang Piala Dunia U-20 yang diselenggarakan di Korea Selatan telah menyentuh babak semifinal. Tercatat, ada empat negara yang akan memperebutkan dua tiket ke final yaitu Inggris, Italia, Uruguay dan Venezuela. Menariknya, tak satu pun dari kuartet tersebut yang pernah menggondol titel Piala Dunia U-20 sehingga dapat dipastikan bahwa akan lahir juara baru dari turnamen dua tahunan ini.
Kondisi tersebut jelas menjanjikan laga sengit di babak semifinal nanti karena masing-masing tim mempunyai motivasi yang membara untuk menjadi yang terbaik di dunia dalam tataran sepak bola usia muda.
Namun bila dicermati lebih jauh, apa yang tengah terjadi di Piala Dunia U-20 kali ini tak ubahnya turnamen serupa bagi tim nasional senior. Pasalnya, negara-negara yang lolos sampai babak akhir masih berasal dari dua kutub utama sepak bola dunia, yaitu Amerika Latin dan Eropa. Persis dengan turnamen sepak bola antarnegara paling bergengsi itu, bukan?
Setidaknya, ada sembilan negara yang pernah keluar sebagai juara di turnamen ini, mereka adalah Argentina, Brasil, Ghana, Jerman, Portugal, Prancis, Serbia, Spanyol dan Uni Soviet. Nama yang disebut pertama bahkan memenanginya sebanyak enam kali alias yang terbanyak.
Dari statistik kecil itu, kita pun bisa berasumsi jika di level junior sekalipun, wakil dari Afrika, Amerika Utara, Asia dan Oseania belum betul-betul mampu bersaing. Ada perbedaan level yang terlalu jauh di antara mereka dengan tim-tim dari Amerika Latin maupun Eropa.
Benar memang jika perwakilan asal Afrika, Ghana, pernah beberapa kali masuk ke babak final Piala Dunia U-20 (tahun 1993, 2001 dan 2009) serta menjadi juara di edisi yang disebut terakhir. Pun begitu dengan Nigeria yang dua kali melesat hingga babak puncak (1989 dan 2005) meski belum sukses membawa pulang trofi juara.
Setali tiga uang, utusan dari Amerika Utara (Meksiko) dan Asia (Qatar serta Jepang) juga pernah mencapai fase final, masing-masing di tahun 1977, 1981 dan 1999. Namun hal itu tidak serta merta menghapus kedigdayaan tim-tim dari Amerika Latin dan Eropa di ajang paling prestisius buat anak-anak muda ini.
Sekali lagi, situasi ini menjadi bukti betapa negara-negara anggota konfederasi sepak bola Afrika (CAF), Amerika Utara (CONMEBOL), Asia (AFC) hingga Oseania (OFC) butuh pembenahan yang lebih masif terhadap kualitas sepak bola mereka. Tak hanya dalam aspek teknis, namun juga non-teknis.
Negara-negara anggota dari empat konfederasi tersebut mesti membenahi sistem pembibitan pemain muda. Misalnya saja dengan melakukan pencarian bakat yang lebih merata dengan mendatangi seluruh wilayah, tak sekadar di satu atau dua provinsi saja. Karena siapa tahu ada banyak bakat terpendam yang gagal ditempa hanya karena bibit-bibit muda itu tinggal di daerah terpencil.
Metode kepelatihan yang kuno juga sudah seharusnya diperbaharui, apalagi di era sekarang, sport science begitu pesat perkembangannya sehingga wajib dimaksimalkan. Para pengurus federasi di suatu negara maupun yang duduk di konfederasi harus peka akan hal ini sebab akan memengaruhi iklim sepak bola secara global. Jadi, tak harus ragu memanfaatkan teknologi, bukan?
Dan salah satu hal krusial lain tentu saja pemerataan pembangunan sarana serta prasarana di suatu daerah. Karena hanya dengan hal itulah, bakat-bakat yang ada di daerah terpencil memiliki tempat untuk menempa sekaligus meningkatkan kualitasnya. Tanpa didukung sarana dan prasarana yang baik, meski bakat-bakat muda itu tetap bisa mengembangkan diri, hasilnya bisa saja berbeda alias tidak maksimal.
Kita sudah jauh memasuki era milenium baru, sudah seharusnya juga anggota konfederasi sepak bola Afrika, Amerika Utara, Asia dan Oseania lebih serius membenahi kondisi sepak bola di negara masing-masing. Karena hanya dengan itulah, kiblat sepak bola dunia akan bisa diubah menjadi lebih merata dan kompetitif.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional