Eropa Europa League

Asa Belanda di Tangan Ajax Amsterdam

Pada musim 1994/1995, salah satu kesebelasan paling mentereng di Belanda dan juga Eropa, Ajax Amsterdam, berhasil menggondol titel Liga Champions mereka yang keempat sepanjang sejarah. Adalah raksasa Italia sekaligus juara bertahan, AC Milan, yang saat itu sukses ditekuk oleh Danny Blind dan kawan-kawan.

Gol pemain pengganti, Patrick Kluivert, di menit ke-85 menjadi satu-satunya angka yang tercipta di Stadion Ernst Happel malam itu. Pencapaian gemilang Ajax yang ketika itu dilatih oleh Louis van Gaal pun menorehkan puja-puji setinggi langit.

Terlebih, materi skuat De Godenzonen di periode tersebut berisikan banyak pemain muda seperti Edgar Davids, De Boer bersaudara (Frank dan Ronald), Kluivert, Jari Litmanen, Marc Overmars, Michael Reiziger, Clarence Seedorf dan Edwin Van Der Sar. Tenaga muda mereka dikombinasikan dengan pengalaman segudang milik Blind dan Frank Rijkaard.

Performa Ajax di sepanjang musim 1994/1995 memang begitu fantastis. Pasalnya, baik di kompetisi Eredivisie maupun Liga Champions, mereka sama sekali tak tersentuh kekalahan. Satu-satunya noda yang didapat Blind dan kolega saat itu diperoleh pada ajang Piala Belanda usai ditekuk rival bebuyutan mereka, Feyenoord, di babak perempatfinal.

Dominasi Ajax di kompetisi domestik serta keberhasilan mencomot gelar Liga Champions pada pertengahan 1990-an membuat media berani melabeli skuat di periode tersebut adalah reinkarnasi dari tim emas Ajax di awal tahun 1970-an kala dikomandoi Johan Cruyff.

Pesona bintang-bintang muda Ajax ini lantas memikat banyak klub seantero Eropa. Pelbagai tawaran menggiurkan datang menghampiri manajemen De Godenzonen. Di sisi lain, para pemain muda tersebut ingin mencicipi petualangan di liga lain. Situasi tersebut akhirnya membuat Ajax merelakan kepergian sejumlah pemain-pemain andalan mereka.

Davids, Kluivert dan Reiziger pindah ke AC Milan, si kembar De Boer dan Litmanen terbang menuju Barcelona, Seedorf dibajak Sampdoria dan Van Der Sar berlabuh di Juventus. Praktis, beberapa musim setelah pilar-pilar penting itu hengkang, Ajax semakin kehilangan tajinya di kompetisi antarklub benua biru. Kedigdayaan mereka di liga lokal juga terus dikikis oleh PSV Eindhoven.

Bahkan ketika milenium baru menyapa, prestasi Ajax justru semakin mengenaskan. Entah berlaga di Liga Champions maupun Piala UEFA/Liga Europa, pencapaian terbaik mereka hanyalah menembus fase perempatfinal (Liga Champions musim 2002/2003). Selebihnya, De Godenzonen seringkali rontok di babak awal, termasuk penyisihan grup.

Nahasnya, secara keseluruhan prestasi klub-klub Belanda di Eropa ketika itu juga semakin menurun. Selepas Feyenoord jadi kampiun Piala UEFA 2001/2002, tak pernah ada lagi wakil Negeri Kincir Angin yang sanggup memboyong trofi di kompetisi antarklub benua biru.

Namun akhirnya, di musim 2016/2017 ini asa kembali merapat ke sepak bola Belanda. Di tengah stagnansi performa timnas De Oranje, Ajax memberi hiburan yang cukup menyejukkan. Klub yang saat ini ditukangi oleh Peter Bosz telah menjejak fase semifinal Liga Europa musim ini.

Kans Davy Klaassen melaju ke partai pamungkas yang akan diselenggarakan di Stadion Friends Arena, Stockholm, pada 24 Mei mendatang juga terbuka lebar. Pasalnya di laga pertama semifinal dinihari kemarin (4/5), Ajax berhasil membungkam utusan Prancis, Olympique Lyon, dengan kedudukan telak 4-1.

Kasper Dolberg, Bertrand Traore, Amin Younes dan Hakim Ziyech menjadi aktor intelektual dari kemenangan penting itu. Lyon sendiri tampak begitu kesulitan membendung permainan apik yang ditunjukkan anak asuh Bosz walau unggul dalam penguasaan bola. Malam itu, Ajax jauh lebih efektif dan efisien dalam memanfaatkan peluang yang mereka dapatkan.

Secara psikologis, situasi ini membuat Ajax bisa tampil lebih nyaman kala menjalani partai semifinal kedua di markas Lyon (12/5) nanti. Meski begitu, mereka harus tetap waspada jika tak ingin kehilangan kesempatan besar melenggang ke final. Sebab Nabil Fekir dan kawan-kawan pasti akan berupaya semaksimal mungkin guna membalikkan keadaan.

Bagusnya performa Ajax di Liga Europa musim ini menghadirkan apresiasi dari khalayak pencinta sepak bola. Karena selain menyuguhkan permainan yang sedap dipandang, skuat De Godenzonen juga diisi banyak pemain belia.

Berdasarkan statistik yang dihimpun via transfermarkt.co.uk., rataan usia pemain Ajax musim ini adalah 22,6 tahun. Artinya, pemain-pemain yang dijadikan andalan oleh Bosz selama ini adalah anak-anak muda yang belum sampai di performa puncak dalam karier sepak bolanya alias masih bisa berkembang.

Sedikit banyak, kondisi ini mirip sekali dengan Ajax 1995/1995 yang telah saya paparkan di atas. Dipenuhi pemain-pemain muda sama sekali tak membuat tim ini tumpul. Justru sebaliknya, Ajax malah tampil trengginas dan patut ditakuti lawan.

Dan layaknya Davids dan kawan-kawan dua puluh dua tahun silam, beberapa nama penggawa muda seperti Dolberg, Mathijs De Ligt, Klaassen, Justin Kluivert, Jairo Riedewald, Kenny Tete, Younes dan Ziyech telah mencuri atensi klub-klub raksasa benua biru untuk dibeli pada bursa transfer musim panas yang akan datang.

Jika benar mereka bakal pergi dari Johan Cruyff Arena, ada baiknya gelar Liga Europa musim 2016/2017 dibawa pulang terlebih dahulu ke Amsterdam sebagai hadiah perpisahan.

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional