Bertambahnya umur dari waktu ke waktu merupakan sebuah siklus yang absolut dalam kehidupan manusia. Prosesnya terjadi secara alamiah dan tak bisa dicegah sedikitpun, tak peduli Anda rakyat jelata, selebriti, presiden atau bahkan nabi sekalipun. Semuanya pasti akan menua dengan sendirinya.
Dengan usia yang makin tua, tentu ada banyak perubahan yang dialami. Mulai dari rambut yang memutih, wajah yang berkeriput, tubuh yang membungkuk hingga tenaga yang makin berkurang.
Kondisi ini juga yang membuat kita, para pencinta sepak bola, harus ikhlas melihat maestro-maestro jempolan di atas rumput hijau semisal Kurniawan Dwi Yulianto, Diego Maradona sampai Zinedine Zidane memilih untuk gantung sepatu.
Para aktor lapangan hijau nan hebat di eranya masing-masing itu sadar, dengan usia yang semakin tua, kemampuan mereka telah jauh merosot dan bahkan tak produktif lagi. Maka dari itu, opsi untuk mundur dari cabang olahraga yang membesarkan namanya sebagai pesepak bola adalah alternatif tunggal yang kudu ditempuh.
Paham jika hal semacam ini adalah keniscayaan dalam kehidupan umat manusia, entitas sepak bola baik itu klub ataupun negara juga terus melakukan pembibitan dan pembinaan pemain muda. Tujuannya jelas, yakni melahirkan pemain-pemain anyar yang bisa dijadikan tumpuan di masa depan sekaligus melanjutkan eksistensi mereka di dunia sepak bola.
Ihwal ini pula yang kemudian membuat banyak klub sepak bola mendirikan sebuah akademi. Bocah-bocah ingusan dengan kemampuan dan bakat memesona direkrut, tak peduli jika anak-anak itu tadi berasal dari negara yang jauh sekalipun.
Yang pasti, di usia anak-anak yang masih amat belia, sepak bola diperkenalkan dengan cara yang berbeda dan tidak neko-neko. Pokoknya, bermain sepak bola adalah perihal kegembiraan yang tak terperi dan bukan semata-mata urusan menang atau kalah.
Baru kemudian saat bocah-bocah belia ini tadi sampai di fase yang membuat mereka memiliki tingkat kedewasaan, logika berpikir dan pemahaman akan suatu hal yang lebih baik, latihan soal teknik dan taktik akan diberikan.
Satu dari sekian akademi sepak bola yang paling populer lantaran kemampuannya melahirkan bakat-bakat muda kelas wahid di kolong langit adalah De Toekomst milik tim raksasa asal Belanda, Ajax Amsterdam. Secara harfiah, kalimat De Toekomst sendiri kurang lebih bermakna ‘Masa Depan’ di dalam bahasa Indonesia.
Pencinta sepak bola mana yang tidak mengenal sosok Johan Cruyff, Piet Keizer, Marco Van Basten, Dennis Bergkamp, Edwin Van Der Sar, Wesley Sneijder hingga Daley Blind? Pemain-pemain yang saya sebutkan itu merupakan contoh kecil dari kesuksesan akademi De Toekomst dalam menetaskan bakat-bakat muda penuh kualitas.
Hal itu pun telah diakui oleh banyak kalangan, termasuk klub-klub sepak bola di beberapa liga besar yang kemudian bersedia mengeluarkan dana dalam jumlah masif agar bisa mengamankan tenaga para jebolan akademi Ajax.
Kontinuitas De Toekomst dalam menghasilkan pemain muda yang bisa jadi andalan di masa depan pun hadir lagi di musim ini. Adalah sosok kelahiran 5 Mei 1999 bernama Justin Kluivert, yang keberadaannya dalam beberapa bulan terakhir begitu menarik atensi publik.
Dari namanya, kita pasti bisa menduga jika darah sepak bola memang sudah mengalir di dalam tubuh Justin. Bocah yang bahkan belum genap berusia 17 tahun ini memang putra dari eks jebolan akademi Ajax dan legenda hidup tim nasional Belanda yang kini menjabat sebagai director of football klub asal Prancis, Paris Saint-Germain (PSG), Patrick Kluivert.
Bergabung dengan De Toekomst sejak masih berusia tujuh tahun, Justin memang berkembang dengan cukup pesat di tiap jenjang usia. Pelatih-pelatihnya di tim junior pun mengakui hal itu. Maka tak perlu heran bila kemudian pelatih tim utama Ajax, Peter Bosz, memanggilnya untuk bertempur bersama Davy Klaassen, Lasse Schone dan kawan-kawan, saat umurnya masih begitu muda.
Tanggal 15 Januari 2017 yang lalu pasti jadi momen yang tak terlupakan dalam hidup Justin. Karena saat itu, Bosz memberinya kesempatan untuk melakoni debut bersama tim utama kala bertandang ke markas PEC Zwolle, stadion MAC3PARK. Bukan sebagai starter memang, namun berlaga selama 51 menit tentu jadi pengalaman yang amat luar biasa.
Dan sejak saat itu, Justin pun semakin rutin mendapat kesempatan untuk beraksi dengan tim senior De Godenzonen, julukan Ajax. Namun di lain kesempatan, dirinya juga dipersilahkan untuk kembali memperkuat Jong Ajax besutan Marcel Keizer guna berlaga di beberapa kompetisi yang diikuti tim muda tersebut.
Aksi-aksi menawan yang ditunjukkan Justin bersama tim utama pada akhirnya sukses melahirkan puja-puji untuknya. Pemain yang mengenakan nomor punggung 45 di tim senior ini dianggap bisa memberi warna baru dan energi lebih di sektor penyerangan Ajax. Alhasil, anggapan ini juga ikut mengerek ekspektasi publik Belanda, khususnya pendukung fanatik Ajax, terhadapnya.
Justin bahkan dianggap bisa menjadi messiah buat masa depan sepak bola Belanda, khususnya untuk menyelamatkan tim nasional yang kondisinya lumayan berantakan selama kurang lebih tiga tahun ke belakang.
Sialnya, suporter seolah lupa jika ekspektasi berlebihan mereka kepada sosok pemain muda kadangkala justru jadi senjata mematikan yang bisa merusak karier yang baru seumur jagung.
Hal ini juga tak luput dari pantauan beberapa pengamat sepak bola Belanda yang justru meminta agar publik tak berekspektasi terlalu tinggi kepada sosok-sosok muda bertalenta yang bisa menjadi tumpuan di masa depan.
Lukas Schroder, salah seorang kolumnis di ajaxdaily.com bahkan menyebut bila segala kegaduhan tentang Justin harus segera diakhiri.
“Beberapa jebolan De Toekomst seperti Anwar El Ghazi dan Ricardo Kishna langsung memperoleh pujian setinggi langit pascadebut. Sayangnya, akibat puja-puji yang kerap berlebihan itu, mereka justru sulit mengembangkan kemampuannya. Secara tidak langsung akan terpatri rasa puas berlebihan di dalam kepala dan dada mereka setiap kali dibanjiri pujian. Dan Justin, tak perlu kita masukkan ke dalam situasi serupa”, terangnya.
Schroder menambahkan jika pujian-pujian itu seolah menempatkan para pemain muda dalam sebuah bulan madu yang singkat. Di periode tersebut, sebuah performa yang bagus dari sang pemain muda maka akan dianggap sebagai performa luar biasa. Sedangkan penampilan buruk yang ditunjukkan sang youngster malah kerap dimaklumi dan tetap dianggap sebagai penampilan yang apik.
Namun ketika periode bulan madu itu berakhir, akibat pemain muda yang terus dituntut tampil brilian malah semakin sering tampil inkonsisten, cacian tak tahu adat pun bisa langsung menghujam. Hal yang kemudian bisa sangat memengaruhi kondisi psikis para pemain muda dan membuat mereka amat kesulitan mengembangkan diri.
Memiliki sosok pemain muda yang bisa dijadikan harapan di masa depan adalah sebuah anugerah yang patut disyukuri. Akan tetapi, bila pemain-pemain belia itu justru dibebani oleh banyak hal dan seakan tak bisa lagi bermain sepak bola atas dasar kesenangan, maka tak perlu kaget jika kariernya justru stagnan dan hancur di kemudian hari.
Kita, sebagai suporter sepak bola, sudah seharusnya juga memahami jika faktor yang menentukan apakah seorang pemain muda bisa sukses atau tidak di masa yang akan datang, tak melulu soal kemampuan individual dari mereka atau kesempatan bermain yang diberikan pelatih.
Ada kalanya kesuksesan itu malah ditentukan oleh ekspektasi dari suporter terhadap youngster tersebut sehingga bikin mereka terlalu cepat puas dan enggan mengembangkan kemampuan.
Dan bagi Justin sendiri, saya cuma punya harapan sederhana bahwa karier sepak bolanya dapat berjalan dengan baik serta tak mengikuti jejak karier yang gelap dan getir milik The Next Pele, Freddy Adu.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional