Kolom Eropa

Perang Beverwijk: Episode Kelam De Klassieker

De Klassieker atau yang dalam bahasa Indonesia kurang lebih memiliki arti ‘Laga Klasik’ merupakan tajuk dari pertandingan sepak bola yang mempertemukan sepasang kesebelasan asal Belanda, Ajax Amsterdam dan Feyenoord Rotterdam. Dua tim ini sendiri merupakan anggota De Grote Drie (Tiga Raksasa) yang menguasai kancah sepak bola negeri kincir angin bersama PSV Eindhoven.

Dari puluhan atau bahkan ratusan survei yang pernah dilakukan media-media ternama seantero Eropa maupun dunia, laga De Klassieker selalu disebut sebagai yang terpanas di Belanda. Perbedaan kultur yang muncul sejak abad ke-13 di antara kedua kota, Amsterdam dan Rotterdam, menjadi latar belakang rivalitas yang terjadi.

Dan ketika permainan sebelas lawan sebelas mulai menggeliat di Belanda pada awal abad ke-20, baik Ajax maupun Feyenoord berkembang menjadi simbol kultural dari kedua kota. Evolusi dari rivalitas kedua kesebelasan ini pun secara tidak langsung telah merefleksikan perkembangan dari Amsterdam dan juga Rotterdam.

Sebagai kota yang kaya akan tradisi dan kesenian, Amsterdam memang banyak melahirkan para seniman, tak terkecuali di atas rumput hijau. Nama-nama seperti Johan Cruyff, dan Marco Van Basten adalah bukti nyata jika Ajax merupakan penghasil sosok-sosok dengan kemampuan bak seniman.

Sementara Rotterdam, sebuah kota pelabuhan, yang sejak dulu disesaki kaum pekerja membuat masyarakatnya lekat dengan etos kerja luar biasa. Dirk Kuyt dan Giovanni Van Bronckhorst merupakan alumni Feyenoord yang melegenda bukan karena skill-nya yang brilian namun selalu memesona dengan daya juangnya saat bertanding.

Maka jangan merasa heran apabila begitu banyak friksi yang terjadi ketika Anda menonton pertandingan ini. Entah melibatkan para pemain ataupun suporter yang sialnya juga sangat fasih mempraktikkan hooliganism. Dan salah satu episode paling mengerikan dari De Klassieker adalah Slag bij Beverwijk atau Perang Beverwijk yang terjadi tepat dua dekade silam.

Pada 23 Maret tahun tersebut, suporter Ajax terlibat perkelahian sengit dengan pendukung Feyenoord di jalanan A9 dekat Beverwijk. Padahal, di pekan tersebut klub idola masing-masing kubu tak bertemu di lapangan sebab Ajax mesti bertandang ke RKC Waalwijk sedangkan Feyenoord mendatangi markas AZ Alkmaar. Perkelahian masal itu sendiri melibatkan sekitar 300 orang yakni 100 orang suporter Ajax dan 200 orang pendukung Feyenoord.

Masing-masing suporter membawa beraneka macam senjata seperti palu, pisau, kejut listrik hingga tongkat bisbol. Benar-benar perilaku yang tak menunjukkan bahwa mereka adalah suporter sepak bola. Meski pihak kepolisian Belanda telah melakukan sejumlah langkah antisipasi dengan menjaga wilayah yang dianggap rawan menjadi arena tempur, nyatanya bentrokan tetap terjadi.

Kebetulan, dua kubu yang terlibat perkelahian adalah F-Side (Ajax) dan S.C.F. Hooligans (Feyenoord) yang memang kondang sebagai hooligan kelas berat dari masing-masing kubu. Dengan jumlah anggota yang lebih banyak, S.C.F. Hooligans memang berhasil mendesak sang rival, F-Side.

Pertempuran sengit yang kabarnya hanya memakan waktu selama lima menit itu sendiri lantas memakan korban. Adalah sosok bernama Carlo Picornie yang ditemukan tewas dalam kondisi mengenaskan akibat luka serius di kepala lantaran dihantam palu dan benda-benda keras lainnya.

Konon, saat itu gerombolan S.C.F. Hooligans berhasil mengeroyok Picornie yang terpisah dari kelompoknya, F-Side. Banyak anggota lain dari hooligan Ajax tersebut yang juga mengalami cedera karena serangan S.C.F Hooligans.

Berbekal bukti rekaman dari pihak keamanan yang terpasang di sepanjang jalanan A9 serta saksi-saksi yang berada di lokasi kejadian, beberapa orang hooligan Feyenoord akhirnya ditangkap pihak kepolisian Belanda dan dijebloskan ke penjara. Sanksi yang mereka terima berbeda-beda, ada yang dihukum penjara selama lima tahun maupun empat tahun.

Namun, beberapa dari hooligan Feyenoord tersebut menyangkal dan kerap berkilah apabila mereka terlibat dalam kejadian mengerikan di Beverwijk ini. Sialnya, kubu F-Side sendiri seolah ‘keberatan’ membantu pihak kepolisan Belanda untuk membongkar identitas dari pelaku yang membunuh Picornie.

Pembunuhan Picornie sendiri kabarnya memang disengaja oleh S.C.F. Hooligans mengingat ketika itu Picornie dikenal sebagai ikon F-Side meski ketika peristiwa memilukan ini terjadi, sang korban tak dianggap sebagai anggota aktif lagi lantaran usianya yang sudah mencapai kepala empat.

Dari berbagai selentingan, anggota F-Side kebanyakan memang lelaki remaja di usia 17 tahun hingga paruh baya, 35 tahun. Namun bila telah melewati usia tersebut, konon mereka akan dianggap sebagai anggota non-aktif.

Sosok ikonik dan punya reputasi cemerlang di antara anggota F-Side seperti Picornie, kabarnya memang sengaja dipilih untuk dijadikan korban demi mengirimkan pesan kepada F-Side bahwa faksi S.C.F. Hooligans jauh lebih kuat dan beringas.

Menyikapi tragedi yang berlangsung di Beverwijk, federasi sepak bola Belanda (KNVB) kemudian membuat kesepakatan dengan walikota Amsterdam dan Rotterdam untuk melarang suporter kedua kubu melakoni awaydays saat keduanya bersua dalam laga De Klassieker selama beberapa musim.

Namun, kenyataan di lapangan tetap membuktikan jika tensi panas di antara kedua kubu memang sulit diredam. Beberapa perkelahian yang melibatkan suporter Ajax dan pendukung Feyenoord kerap pecah di berbagai wilayah seperti yang terjadi di tahun 2005, 2009 dan 2012. Padahal di tahun itu, kebijakan pelarangan awaydays bagi tim tamu di laga De Klassieker juga masih berlangsung.

Dan saat akhir pekan ini kompetisi Eredivisie akan memanggungkan laga De Klassieker edisi ke-182, semua pihak tentu saja berharap takkan ada lagi peperangan yang melibatkan kedua kubu, khususnya para suporter garis keras.

Cukuplah Kasper Dolberg dan Nicolai Jorgensen yang mati-matian ‘bertarung’ guna keluar sebagai doelpuntenmaker Eredivisie musim 2016/2017 sekaligus mengantar kesebelasan yang mereka bela punya kans menjadi kampiun liga. Pun begitu saat De Klassieker memainkan laganya yang ke-183 dan seterusnya mulai musi depan. Cukuplah rivalitas panas itu hanya terjadi selama 90 menit saja di atas lapangan hijau sehingga tak ada lagi nyawa yang hilang akibat kekerasan antarsuporter di negeri kincir angin.

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional