Saya tidak tahu apa dosa masa lalu Joel Campbell. Apakah dia pernah makan di kantin sekolah dan tidak membayar sesuai apa yang ia makan? Atau ia tergolong anak bandel di sekolah yang gemar menyeret adik kelas ke toilet sekolah dan memukulinya? Entahlah, tapi di mata Arsene Wenger, Joel hampir tak pernah mendapat pengakuan yang layak.
Ada banyak pemain medioker yang dimiliki Arsenal di era yang saya sebut ‘era ikat pinggang’. Tahu kenapa? Pembangunan stadion baru bernama Emirates itu, menyisakan lubang yang cukup besar di neraca keuangan Arsenal. Banyak pemain biasa-biasa saja yang kemudian terpaksa didatangkan Arsene karena, ya, kamu tahu sendiri, Arsene perlu memakai ‘ikat pinggang’ untuk mereduksi biaya transfer The Gunners tiap musimnya.
Di periode itulah, Joel Campbell termasuk dalam gerbong pemain biasa saja yang berlabuh di Colney. Arsenal punya tim statistik dan jaringan pemandu bakat yang terstruktur dalam memantau bakat terbaik, dan Joel adalah hasil perekrutan dari sistem itu. Ia mungkin tak sepopuler Bryan Ruiz, senior dan kompatriotnya dari Kosta Rika yang lebih tampan dan lebih elegan. Tapi, Joel tentu bukan pemain yang buruk.
Ketika pertama kali dibeli Arsenal, ia harus langsung dipinjamkan ke Lorient, mengingat ia belum mengantongi izin kerja. Permasalahan klasik, tapi itulah yang menunda debutnya untuk Arsenal. Kala dua tahun kemudian sudah mengantongi izin kerja pun, Joel masih juga dipinjamkan ke Olympiakos, klub Yunani tempat ia akhirnya, mungkin, mulai menggoda Arsene untuk memakainya.
Di awal musim 2014/2015, Arsene mengeluarkan fatwa menariknya: memastikan bahwa Joel akan menjadi bagian dari skuat timnya musim itu. Tapi, kamu tahu, Arsene adalah pembohong yang hebat karena nyatanya, pada bursa musim dingin di Januari 2015, Joel justru kembali disekolahkan ke Villareal.
Tentu semua bukan salah sang pelatih. Alexis Sanchez jelas menjadi garansi satu posisi inti di lini serang, begitu pun dengan Mesut Ozil. Lini depan, kala itu, juga mutlak menjadi milik Olivier Giroud atau Danny Welbeck. Tapi, ketika berkali-kali Arsene memilih untuk tetap setia pada Theo Walcott tepat ketika Joel mulai konsisten tampil memuaskan, di titik itu, bung dan nona, saya merasa mati akal dan sedih.
2015/2016 adalah musim terbaik Joel, mengingat Walcott harus menepi lama dan dua minggu setelahnya, Alex Oxlade-Chamberlain pun menyusul masuk ruang perawatan. Itulah momen di mana Joel mendapat lirikan dan kepercayaan dari Arsene. Satu pos di lini serang rutin ia tempati bersama Alexis, Ozil dan Giroud. Ia tampil konsisten, ia punya etos kerja yang baik, mampu trackback dengan baik, jauh lebih baik dari Walcott, dan semua dilakukannya ketika ia bertahun-tahun disekolahkan ke tim luar kendati punya kemampuan yang tak kalah dengan anggota tim di skuat utama.
Tapi ketika Walcott sembuh, Joel langsung tersingkir. Tanpa apresiasi yang layak atas konsistensinya, sesuatu yang tak dimiliki Walcott selama sepuluh tahun lebih berkarier di Arsenal. Di timnas, Joel adalah pemain inti, selalu tampil baik, tajam dan konsisten. Tapi kamu tahu, ada yang salah di diri Joel yang membuatnya hampir tak pernah menjadi kerangka masa depan skuat Arsenal di mata Arsene Wenger.
Joel memang bukan pemain luar biasa seperti Alexis, tapi ia berguna. Kamu tahu fatwa agama-agama di dunia yang bilang bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang berguna bagi sesamanya? Seperti itulah Joel Campbell di mata saya. Ia berguna, ketika tim membutuhkannya. Ketika skuat butuh konsistensi, ia memberikannya. Ketika badai cedera melanda, ia selalu siap turun dengan kemampuan terbaik.
Bila di Academy Award ada penghargaan Best Supporting Actor, Joel Campbell adalah pemenang yang paling pantas di musim 2015/2016 lalu. Ia tak rutin bermain, tapi ketika turun, ia hampir selalu berguna dan memberi kontribusi. Bagi saya, Joel musim itu mengingatkan pada kiprah brilian Mark Rylance di film Bridge of Spies yang juga tayang di tahun yang sama, 2015.
Fokus penikmat film pastilah nama populer, Tom Hanks, yang menjadi lead actor. Tapi, apa jadinya Tom Hanks tanpa akting menawan Rylance? Sebagai aktor asli Inggris, ia memerankan dengan baik perannya sebagai mata-mata Soviet yang tertangkap oleh pemerintah Amerika Serikat. Rylance tampil tanpa cela, di setiap scene yang membutuhkannya untuk menopang superioritas Tom Hanks.
Rylance tampil tenang, kalem dan elegan. Ia memerankan dengan baik karakter seorang agen Soviet di era Perang Dingin yang penuh kecurigaan. Ia tahu ia terancam hukuman mati. Ia juga tahu bahwa negaranya mungkin tak lagi menginginkannya mengingat ia sudah telanjur lama menetap di Amerika dan Soviet meragukan kesetiaannya. Dan jangan lupa, petikan dialognya yang ikonik dan membekas di benak saya ketika Hanks bertanya apakah ia tidak takut dikenai hukuman mati. Sambil memasang wajah datar dan intonasi suara yang tenang, Rylance bilang, “Would it help?”
Dan dunia perfilman mengapresiasi akting Mark Rylance. Ia memborong semua penghargaan Best Supporting Actor di sepanjang tahun itu. Mulai dari yang bergengsi tinggi seperti Academy Award sampai BAFTA, hingga AACTA sampai New York Film Critics. Di tahun itu, Rylance mendapat pengakuan dunia sebagai yang terbaik mengungguli Tom Hanks.
Sayangnya, walau melakukan peran pendukung yang sama baiknya dengan Mark Rylance, Joel tak pernah mendapat apresiasi yang layak. Musim depan, ia akan kembali dari ‘sekolah’ kesekiannya di Sporting Lisbon. Usianya menginjak angka 25 tahun hari ini dan satu-satunya yang perlu Joel lakukan adalah angkat kaki dari Arsenal dan membuktikan pada Arsene Wenger, bahwa sekali lagi, ia akan salah telah membuang bakat-bakat pekerja keras yang menanti pengakuan.
Selamat ulang tahun, Joel. Selalu bahagia, ya.
Author: Isidorus Rio Turangga (@temannyagreg)
Tukang masak dan bisa sedikit baca tulis