Kolom

Lebaran di Sepak Bola tanpa Teknologi

Apakah Anda peka dalam mengamati tren yang terjadi lima tahun belakangan ini? Atau untuk mundur lebih jauh, Anda paham apa yang terjadi di sekitar kita dalam satu dasawarsa terakhir? Perubahan itu mempunyai nama dan kita menyebutnya: teknologi.

Saya bukan penolak kemajuan zaman. Zaman akan menggerus saya dengan mudah tanpa belas kasihan, maka dari itu saya tulis, saya bukan menolak perkembangannya. Zaman akan selalu bergerak maju, bersama dengan pertumbuhan teknologi dan manusia serta segala yang manusia mainkan, lakukan, perjuangkan, di dalam sendi-sendi kehidupan.

Orang-orang yang menginventariskan waktunya untuk mengembangkan teknologi, konon percaya bahwa kemajuan zaman dan teknologi, akan membuat semua lebih mudah. Sebelum ada remote, Anda harus berjalan mendekat ke televisi untuk mengganti program dan mengecilkan atau membesarkan suaranya. Teknologi memudahkan, membuat manusia lebih taktis, lebih praktis dan satu yang pasti, bagi saya utamanya, lebih malas.

Tidak semua manusia adalah pemalas memang dan itulah sebab kenapa kita patut percaya, robot tidak akan mengambil alih hidup kita dalam 50 atau 100 tahun ke depan, bila dunia belum kiamat. Ada beberapa hal yang masih memerlukan dan akan terus memerlukan sumbangsih manusia.

Mencuci piring, menggosok toilet, menyapu rumah, mengepel lantai, membuang sampah, serta hal-hal rumah tangga sehari-hari, masih sangat layak dilakukan oleh manusia, bahkan oleh mereka yang malas sekalipun.

Manusia punya kapabilitas melakukan kesalahan memang, tapi, teknologi tak memiliki ‘keistimewaan’ itu. Manusia menciptakan teknologi dengan program yang sederhana: untuk memperbaiki kesalahan para manusia. Meminimalisir kesalahan demi keadilan dan demi hal yang lebih mulia, kata mereka. Anda percaya bualan itu? Saya sih, tidak. Melakukan kesalahan adalah kodrat manusia, kenapa harus diminimalisir? Bukankah di sekolah-sekolah dulu, Anda diajarkan para guru untuk berani melakukan kesalahan untuk tahu mana yang benar?

Seorang bayi tidak keluar dari rahim ibunya dan langsung berjalan. Ia akan jatuh, terbentur tembok, terpeleset, tapi itulah cara ia akan bisa berjalan nantinya. Manusia sudah melakukan kesalahan bahkan ketika ia masih kecil dan bersih dari dosa duniawi. Itulah sebab bahwa manusia akan selalu menjadi apa yang dulu dijanjikan Tuhan dalam kitab-kitab suci, bahwa makhluk ciptaan-Nya ini, adalah yang paling mulia, bahkan di atas malaikat sekalipun.

Dan seperti itulah seharusnya manusia bertindak di sepak bola. Mengenyahkan teknologi dan mengembalikan sepak bola ke bentuk paling murninya: rentan kontroversi dan kesalahan. Gelar juara akan melayang ketika satu gol yang seharusnya sah dan berpotensi menjadi match winner, luput dari mata wasit. Tapi, bukankah untuk itu kita hidup? Untuk melakukan kesalahan dan meminta maaf kemudian?

Perdebatan teranyar soal video assistant referee (VAR) mungkin akan membawamu berlari ke dua kutub. Mereka yang mendukung serta mereka yang menolak. Manusia memang ditakdirkan berseteru dalam dua kubu, biarkan saja. Tapi, kita semua berhak menyuarakan opini untuk segala hal yang terjadi dalam kehidupan yang sebentar ini.

Baca juga: Seperti Cinta, Teknologi VAR Juga Butuh Waktu

VAR membelah sepak bola dalam dua kutub, sama seperti ketika goal-line technology diperkenalkan pertama kali ke sepak bola. Bagi saya, teknologi tak perlu menyelam terlalu jauh ke dalam sepak bola. Sepak bola, sama seperti manusia, adalah sesuatu yang seharusnya humanis. Mereka sudah punya Laws of The Game, bukankah itu cukup untuk mengatur agar permainan sebelas lawan sebelas ini tak jadi ajang barbar yang dilakukan tentara Romawi dulu saat memainkan sepak bola sebagai olahraga yang dimainkan ratusan orang?

Panduan dari FIFA mungkin setara Pancasila bagi rakyat Indonesia. Kita hidup, konon, untuk mengamalkan Pancasila. Sama rasanya seperti pesepak bola dan semua aktor lapangan hijau memakai aturan dari FIFA sebagai acuan dalam menjalankan sebuah pertandingan sepak bola. Sesekali kita alpa mengamalkan sila kelima, dengan tidak berlaku adil ke orang lain. Atau seringkali kita alpa mengamalkan sila pertama, ketika mencaci pemeluk agama lain karena berbeda keyakinan dengan kita. Tapi, bukankah maaf selalu bisa terucap karena manusia punya nurani dan akal sehat serta keberanian untuk memohon maaf bahkan ampunan?

Kalau teknologi mengangankan zaman di mana semua sendi kehidupan manusia akan bersih dari kesalahan dan dosa sehingga hidup terasa jauh lebih baik, saya rasa, ia lupa bahwa sebelum ada pemantik api, manusia sudah mampu menghasilkan api dari batu. Tanpa teknologi, manusia sudah mampu hidup, berevolusi dan terus eksis hingga 2017. Bukankah itu luar biasa?

Dan seperti itulah seharusnya teknologi perlu direvisi lebih lanjut kehadirannya di sepak bola. Biarkanlah pesepak bola melakukan tindakan apapun selama itu tidak menyangkut soal rasisme dan mencederai sportivitas. Biarkanlah wasit memimpin sepak bola dengan segala keterbatasannya sebagai manusia tanpa perlu ditopang bantuan teknologi untuk menyempurnakan kinerjanya. Manusia perlu memahami bahwa mereka adalah tempatnya salah dan tolong beritahu Gianni Infantino agar dia berhenti bertindak sebagai Tuhan yang tanpa cela dan sempurna.

Manusia tidak akan pernah sempurna. Dan bila teknologi berusaha menutup segala peluang manusia untuk melakukan kesalahan di lapangan hijau, untuk apa lagi makna meminta maaf di Idulfitri bila semua manusia bersih dari kesalahan?

Untuk apa kita kembali ke nol, bila nyatanya kita tak pernah beranjak pergi dari nol karena tak memiliki peluang melakukan kesalahan dalam hidup? Kesalahan yang membawa manusia beranjak dari nol, menuju angka sepuluh bahkan seratus, sebelum akhirnya kembali ke nol lagi, agar mereka tahu, manusia bukan Tuhan dan mereka tak akan pernah sempurna. Manusia akan melakukan kesalahan, memakainya sebagai pengalaman dan titik untuk belajar, sebelum memulai semuanya kembali dari nol sebagai pribadi yang baru.

Saya rasa, itulah makna Lebaran bagi saya, mungkin juga bagi Anda. Lebaran sebagai momen untuk kembali ke fitrah.

Selamat Hari Raya Idulfitri. Jangan ada VAR di antara kita ya, teman-teman.

Isidorus Rio Turangga – Editor Football Tribe Indonesia