Dunia Lainnya

Seperti Cinta, Teknologi VAR Juga Butuh Waktu

“Apa-apaan, nih, Apple? Kalian game over!”; “Tombol layar sentuh? Ide BURUK. Benda ini tak mungkin sukses”; “Menghilangkan kibor qwerty? ojhsdodsagfadhjldgs!!”; “Benda ini terlihat seperti anak haram buruk rupa perkawinan iPod, ponsel, dan PDA. Iya, desainnya berkilauan, tapi kuyakin kilaunya akan pudar begitu Anda sentuh.”

Anda tahu, komentar-komentar di atas benar-benar pernah dikeluarkan saat Apple pertama kali meluncurkan iPhone di tahun 2007. Berbagai nada miring di atas tercatat di kolom komentar situs Engadget.com.

Siapa yang mengira jika benda yang dicemooh ini berhasil merevolusi industri smartphone? Apple memang diancam oleh keberadaan Android, tetapi sampai saat ini, iPhone masih menjadi ponsel idaman sejuta umat. Di Amerika Serikat, kuartal ketiga tahun lalu, iPhone merajai pasar sebanyak 31,3 persen. Padahal mereka dikeroyok Android yang diadopsi oleh banyak pabrikan ponsel.

Ilustrasi di atas adalah secuil kisah bagaimana manusia menyikapi teknologi. Berkat ide gila Steve Jobs dan kolega, ponsel telah mengubah cara kita berinteraksi. Lima sampai sepuluh tahun lalu tidak akan yang mengira jika ponsel dapat mengubah moda transportasi. Tuah kegilaan ini berimbas ke berbagai aspek, positif maupun negatif.

Semalam, teknologi VAR (video assistant referee) mendapat perlakuan yang sama dari para penikmat sepak bola. Sebagai ajang yang juga memberlakukan sistem VAR sebagai asisten wasit, ada dua laga Piala Konfederasi 2017 di mana VAR membuat bingung para pemain dan penonton.

Pertama adalah laga antara kampiun Piala Eropa 2016, Portugal kontra juara Piala Emas, Meksiko. Gol Pepe dianulir wasit setelah VAR merekam bek berusia 32 tahun ini telah terperangkap offside. Para pemain Portugal telah terlanjur berselebrasi, kemudian dilanda kebingungan. Durasi yag dibutuhkan wasit untuk mengambil keputusan ini pun cukup lama.

Hakim garis tidak mengangkat bendera di gol tersebut. Butuh waktu lebih dari 30 detik bagi wasit untuk menganulir gol yang berawal dari sepakan tendangan bebas Cristiano Ronaldo itu.

Kejadian kedua terjadi di laga antara Cile melawan Kamerun. Umpan manis Arturo Vidal mampu disambut Eduardo Vargas. Dilihat dengan mata telanjang, serta dengan kecepatan kamera normal (tanpa slow motion), Vargas tampak cerdik melepaskan diri dari jebakan offside. Namun, masyarakat Twitter langsung ramai untuk menganalisis posisi Vargas, yang memang begitu tipis telah melewati garis offside.

Wajar jika membingungkan. Anda pun akan bertanya-tanya jika seseorang tiba-tiba memperlakukan Anda begitu spesial (atau tidak penting, tergantung dari sudut pandang mana penilaian Anda). Ini adalah sesuatu yang baru. Kita dan para pemain telah terbiasa dengan pertandingan ‘tradisional’, tanpa VAR yang membutuhkan jeda untuk memutuskan suatu penilaian.

Selain itu, beberapa liga seperti Bundesliga telah memutuskan untuk mengaplikasikan teknologi VAR musim depan. Penonton yang kecewa memiliki kekhawatiran tersendiri. Jika begini membingungkan, tentu akan banyak laga yang diinterupsi wasit, karena sekarang ia juga mengacu pada kemampuan teknologi VAR mendeteksi pelanggaran.

Pemain juga pasti akan bertanya-tanya, atau bahkan mempertanyakan keputusan sang wasit, yang tentu akan mengulur waktu pertandingan. Akhirnya kekhawatiran itu membulat: VAR hanya akan mengoyak apa yang selama ini sudah asyik!

Dengan VAR, akan ada banyak jeda di pertandingan sepak bola. Tensi dan tempo pertandingan bisa berubah sewaktu-waktu, berkat sesuatu yang tidak berasal dari permainan di lapangan. Seperti yang kita ketahui, tensi dan tempo permainan adalah salah satu faktor kunci penyebab berbagai hal-hal penting di lapangan.

Tensi dan tempo yang tinggi memicu berlangsungnya laga yang seru di mana jual-beli serangan terjadi. Saat mengalami fase ini, aksi pemain juga biasanya tak terkontrol sehingga melahirkan banyak aksi kasar. Jika diinterupsi, maka menjadi layaknya coitus interuptus. Nanggung! Momentum yang sedang diraih tim A bisa tiba-tiba sirna akibat interupsi dari VAR, padahal mereka sedang melakukan serangan bertubi-tubi ke tim B.

Di balik segala nada pesimis di atas, kita tidak boleh melupakan hal ini: banyak pertandingan yang berakhir di mana terdapat keputusan-keptusan kontroversial di dalamnya. Apapun tim yang Anda dukung, pasti pernah mengalami hal tersebut, baik klub maupun tim nasional.

Katakanlah tindakan kasar seorang pemain yang luput dari pengawasan wasit. Sekarang jika terbukti melanggar, pemain tersebut baru akan dihukum setelah laga usai, lewat penilaian suatu komisi. Tapi keputusan tersebut tentu tak bisa mengubah hasil akhir pertandingan. Hukuman diberikan hanya kepada pemain yang bersangkutan, laga pun tidak bisa diulang.

Bersama VAR, wasit tidak bisa mengelak dari kejadian-kejadian serupa. Ingat, teknologi ini diterapkan karena memiliki tujuan baik, agar pertandingan sepak bola berjalan adil dan lancar. VAR memang lebih kompleks dan rumit ketimbang teknologi Hawk-Eye yang sudah diterapkan tiga tahun terakhir. Hawk Eye hanya menjalankan tugasnya untuk mengesahkan apakah bola telah melewati garis gawang atau belum.

Teknologi VAR ini layaknya kehadiran sosok yang tiba-tiba memperlakukan Anda secara spesial tadi. Sebelumnya, katakanlah Indah, menanggapi Ja’far dengan biasa saja. Komunikasi yang berjalan pun tidak melewati batas hubungan antarteman. Tiba-tiba Indah bersikap lain. Ada nada perhatian di tiap pesan singkat yang ia kirim ke Ja’far.

Intensitas komunikasi pun menjadi tinggi. Kini Indah menanyakan juga apakah Ja’far sudah makan, apakah ia telah mengerjakan tugas kuliah. Menarik atau tidaknya sosok Indah secara fisik tak jadi soal. Ja’far akan kaget sekaligus takjub mengetahui perubahan yang serta merta ini.

Harapan Indah takkan menjadi sia-sia jika ternyata Ja’far menyambut tawaran cintanya, atau Ja’far memang memendam rasa yang sama. Satu-satunya hal yang pasti dalam hidup adalah ketidakpastian itu sendiri. Kebaruan menjadi pasti sekaligus tidak pasti, karena kita diperbolehkan untuk mencemooh hal yang baru (seperti para pencemooh iPhone 2007 silam).

Sebaliknya, cemoohan atau ungkapan pesimis akan menegasikan kebaruan, sebagaimana peraturan golden goal yang hanya berlaku selama 10 tahun (1993-2003). Kebaruan pun ditiadakan, karena ia ‘mengancam’ apa yang sudah ajek.

Sebuah novel dengan judul begitu quotable lahir dari tangan Puthut EA. Judulnya Cinta Tak Pernah Tepat Waktu (2005). Betapa relatifnya waktu, sampai-sampai ia juga menjungkirbalikkan perkara asmara.

Waktu pula yang akan menjawab, apakah teknologi VAR bisa diterima khalayak bola. VAR baru beberapa kali dilibatkan dalam pertandingan resmi. Ini merupakan hal yang baru, yang tidak pernah kita kenal sebelumnya. Begitu banyak kebaruan dalam sepak bola. Sebutlah peraturan back-pass ,offside, spray penanda tendangan bebas, yang berkat waktu, menjadi bagian tak terpisahkan dalam sepak bola.

Kehadiran VAR memang seperti kisah-kisah ‘Aku’ di novel Puthut di atas, dirasa tidak tepat waktu. Namun waktu jualah yang akan menjawab, apakah VAR menjadi regulasi yang tepat guna.

Author: Fajar Martha (@fjrmrt )
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com