Dalam kolomnya untuk Daily Mail (18/10/2016), legenda Blackburn Rovers, Chris Sutton, menulis sebuah harapan bagi para pesepak bola yang memiliki orientasi seksual dengan sesama jenis, atau biasa disebut gay. Dengan tegas, ia menulis bahwa sekarang saat yang tepat bagi para pemain itu untuk coming out.
Coming out, atau “melela” dalam padanan Indonesianya, adalah suatu tindakan ketika seseorang mengakui bahwa ia seorang homoseksual. Melela menjadi penting karena ini merupakan suatu pengakuan yang membebaskan.
Sederhana saja, atas nama norma sosial, menyukai sesama jenis adalah hal yang tabu. Adat, agama, serta hukum negara menetapkan bahwa laki-laki hanya bisa menikahi perempuan, bukan dengan sesamanya.
Jika kita bisa memaklumi legenda Garrincha puluhan tahun lalu, meski ia merupakan lelaki brengsek terhadap wanita, mengapa kita tidak bisa menerima seorang pesepak bola gay? Bukannya hendak memaklumi Garrincha si kaki pengkor, tetapi selama pemain tersebut bermain dengan baik, mengikuti arahan pelatih, untuk apa repot-repot mengurusi cara dia memperlakukan kelaminnya?
Ini bukan tentang moral. Bukan pula soal pahala dan dosa. Ini tentang kesetaraan hak. Setidaknya begitu yang sedang diperjuangkan banyak orang di sana.
Liverpool dan Arsenal menjadi pionir dalam mengampanyekan hak-hak LGBT (lesbian, gay, dan transgender). Pada 2013 lalu, mereka merilis pernyataan adanya perwakilan suporter yang mengikuti pawai pride. Pawai ini jamak dilakukan LGBT untuk mengampanyekan tuntutan kesetaraan hak. Arsenal adalah klub pertama yang menyatakan dukungan, yakni pada 2012 silam.
A LGBT supporters' group will represent #Arsenal at London Pride on Saturday, June 29 – http://t.co/0jsUBc66hb
— Arsenal (@Arsenal) June 27, 2013
Tiga tahun berselang, Manchester United dan Liverpool mengikuti jejak Arsenal. Kali ini ketiga klub raksasa Inggris tersebut bekerja sama dengan lembaga amal bernama Stonewall, yang memperjuangkan kesetaraan hak LGBT.
Mereka menjalankan sebuah kampanye bernama “Rainbow Laces”, atau tali sepatu pelangi. Pelangi adalah simbol kaum LGBT. Sepatu para pemain akan dihiasi tali berwarna-warni, yang mereka pakai saat latihan maupun di pertandingan. Kampanye ini berlangsung pada 21-27 November 2016.
Pada 6 Juni 2017 kemarin, prospek panas bursa transfer musim ini, Antoinne Griezmann, menyatakan dukungan bagi para pemain yang hendak melela. Penyerang Atletico Madrid ini bahkan mengatakan ia pun akan melela jika memiliki orientasi seksual dengan sesama jenis.
“Orang-orang tidak melela karena mereka takut. Kami harus tampil sebagai sosok tangguh dan kuat tapi kami khawatir dengan apa yang dibicarakan orang-orang mengenai kami,” katanya seperti yang saya kutip dari Daily Mail (6/6).
“Tentu bila saya gay saya akan berkata jujur kepada orang-orang,” lanjut pemain tim nasional Prancis ini.
Meskipun Eropa merupakan pusatnya paham liberalisasi, pandangan negatif serta diskriminasi kepada LGBT masih ada. Seriuh apapun orang-orang berdebat, keinginan seseorang untuk memadu kasih dengan sesama jenis bukanlah hal baru, entah karena nature (kondisi alamiah yang berhubungan dengan hormon), atau nurture, faktor lingkungan seperti pola asuh, trauma masa lalu, dan banyak alasan lain.
Secara alamiah, laki-laki menikahi perempuan karena dorongan untuk bereproduksi. Tetapi seksualitas adalah sesuatu yang cair. Seseorang bisa terangsang dan mendapatkan kenikmatan seksual lewat cara-cara non-konvensional. Selain homoseksual, terdapat juga individu yang melakukan aktivitas biseksual, yaitu terbuka terhadap kedua jenis kelamin.
Sepak bola dan homoseksualitas pernah menggemparkan Inggris pada tahun 1990, ketika Justin Fashanu melela secara terbuka kepada tabloid The Sun. Pemain yang pernah diasuh Brian Clough ini menjadi yang pertama dan satu-satunya pemain yang mengaku gay saat ia masih berkarier.
Pemain Liga Inggris lain juga ada yang mengikuti jejak Fashanu. Sosok tersebut adalah bekas pemain Aston Villa dan Eveton, Thomas Hitzlsperger. Tetapi pengakuan baru ia ucap setelah ia pensiun. Pada 2014, pesepak bola wanita, Casey Stoney, melela orientasi seksualnya sebagai lesbian.
Meski diadang beribu penolakan, sejumlah aksi yang dilakukan klub ataupun individu di atas adalah upaya penegasan. Sepak bola untuk semua, semua bisa menyukai atau memainkan sepak bola, tanpa memedulikan tindak-tanduk sesuatu di balik celana. Homofobia menjadi salah satu isu yang ingin diperangi sepak bola, seperti halnya diskriminasi berbau rasial.
Author: Fajar Martha (@fjrmrt)
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com