“To all Chelsea fans,
You are all lucky to have this man. The man who named his daughter ‘Vittoria’ (Victory). From now on, you don’t wanna miss any single match of your club. At the end of the day you may win something or you may not. But remember this: you’re gonna love this man forever. Forever.”
Kutipan di atas saya tulis pada 15 Agustus 2016. Di Facebook. Beberapa menit sebelumnya, Chelsea baru saja meraih kemenangan dramatis 2-1 atas West Ham United di pekan perdana Liga Inggris. Itu laga pertama Antonio Conte di Inggris. Dia membukanya dengan kemenangan.
Adalah gol Diego Costa di menit ke-89 yang membuat Conte lari-lari kegirangan, seperti seorang anak kecil yang mencetak gol di lapangan dekat rumah. Kegirangan Conte saat itu membuat saya mengingat tahun-tahun saat ia melatih Juventus.
Rasanya saya tak perlu mengulang-ulang kisah ini panjang lebar. Sekilas saja. Conte datang ke Juventus pada musim panas 2011, setelah Si Nyonya Tua finis di peringkat ke-7 selama dua musim berturut-turut. Sisanya adalah sejarah, seperti yang Anda semua tahu. Conte menanam fondasi yang kokoh. Hingga sekarang, Juventus tak pernah gagal menjadi juara di Liga Italia.
Yang diwariskan Conte adalah sesuatu yang fundamental. Bukan cuma taktik dan strategi, tapi yang terpenting adalah lo spirito della Juventus yang sempat hilang bermusim-musim. Conte, yang bermain 13 musim untuk Bianconeri dan sempat menjadi kapten, tahu betul bagaimana rasanya bekerja di bawah bendera Juventus.
Ia sanggup menyuntikkan DNA ala Juventus ke semua pemain. Saya ingat betul, di musim pertamanya, semua pemain Juventus bermain seperti Conte saat masih menjadi pemain. Semua berlari mati-matian mengejar bola.
Di pinggir lapangan, Conte selalu berdiri dan beteriak. Ia seperti cacing kepanasan. Dan yang terbaik dari Conte adalah ekspresinya saat timnya mencetak gol. Sedikit hal di dunia yang lebih indah dari itu. Pada ekspresinya, kita melihat sosok yang benar-benar mencintai sepak bola, mencintai pekerjaannya, mencintai hidupnya. Ia mencintai kemenangan dengan seluruh tubuhnya. Seperti saya kutip di atas, ia menamai anak perempuannya ‘Vittoria’. Dan itu bukan tanpa alasan. Kemenangan, bagi Conte, adalah sebuah harga mati. Dia orang Italia sejati.
Di Juventus dan Italia, Conte adalah legenda. Ia tak perlu apa-apa lagi untuk membuktikan kegeniusannya. Tapi namanya kalah pamor dari Jose Mourinho, Josep Guardiola, atau bahkan Jurgen Klopp di Inggris. Orang-orang yang menonton Liga Inggris, dugaan saya (mungkin salah), tak banyak menonton Liga Italia. Jadi, mereka tak tahu banyak tentang Conte.
Geliat timnas Italia di Piala Eropa 2016 cukup memberi gambaran untuk suporter Chelsea tentang sosok yang akan menangani John Terry dan kawan-kawan. Skuat Italia saat itu terhitung menyedihkan. Tapi, Conte membawa Italia ke perempat-final dengan cara yang sangat Italia. Kemampuan taktikal Conte teruji dan terlihat jelas di turnamen itu. Perempat-final sudah cukup untuk menjelaskan siapa itu Antonio Conte kepada publik sepak bola Inggris.
Sejak awal, saya sudah yakin Conte akan membawa Chelsea menjadi juara Liga Inggris. Entah musim ini atau musim depan, yang jelas ia akan mencicipi mahkota juara di Britania Raya. Tak peduli Inggris disesaki pelatih-pelatih jempolan lain, Conte pasti akan memenangi sesuatu bersama The Blues.
Baca juga: Chelsea yang Semakin Yummy
Dan, ketika Chelsea memastikan gelar juara Liga Inggris pada pekan ini, tak ada yang spesial. Itu ibarat bangun pagi dan melihat matahari bersinar. Sebuah keniscayaan. Sesekali mungkin matahari ditutup hujan lebat atau kabut tebal. Tapi ia ada. Dan, pada waktunya akan muncul. Conte menjuarai sesuatu adalah semacam rutinitas.
Tapi, mungkin tidak juga. Setidaknya, Conte masih harus membuktikan banyak hal di Liga Champions. Sesuatu yang sangat diidam-idamkannya di Juventus. Salah satu alasan kepergiannya dari Turin, konon, adalah karena manajemen tak mau memberinya dana transfer melimpah untuk membangun skuat yang bisa menjuarai Liga Champions. Pada musim depan, Conte punya kesempatan lagi untuk beraksi di Liga Champions. Dan, Chelsea punya segalanya untuk mendukung ambisi Conte. Ia tak akan kehabisan uang untuk membeli pemain. Musim depan adalah ujian yang sesungguhnya bagi Conte.
Tentu saja tak mudah untuk menjuarai Liga Champions. Conte tahu betul itu. Namun, seperti yang saya katakan di awal musim, pendukung Chelsea akan selalu mencintainya. Selamanya. Tak peduli dengan piala atau tanpa piala, Conte lebih dari itu semua.
Pada akhirnya, kita tahu bahwa ada yang karismatik dari Conte. Ada yang mencolok darinya, yang lebih berkilau dari trofi. Saya masih tak yakin betul apa itu. Mungkin ini tentang gairahnya pada sepak bola. Ia selalu memberi kita kesadaran tentang betapa bergairahnya sepak bola. Tentu saja ini subjektif. Tapi, rasanya semua suporter Juventus dan Chelsea tahu apa yang saya maksud.
Author: Sarani Pitor Pakan
Mengimani sepak bola, sastra, dan perjalanan. Sedang numpang belajar di Belanda.