Senin (8/5) menjadi hari yang bersejarah bagi Brasil karena (akhirnya) mereka merengkuh trofi Piala Dunia kembali, setelah puasa gelar dalam tiga edisi sebelumnya, Terdengar ganjil? Bukankah Piala Dunia baru akan dihelat tahun depan?
Ya, kamu tidak salah mempertanyakan kalimat pembuka artikel ini. Brasil kali ini bukan menjuarai Piala Dunia dengan trofi Jules Rimet yang itu, melainkan menjadi kampiun dalam turnamen FIFA Beach Soccer World Cup 2017, alias Piala Dunia Sepak Bola Pantai.
Kiprah Brasil di FIFA Beach Soccer World Cup memang mirip dengan kiprah tim sepak bolanya. Menjadi kolektor gelar terbanyak (14 gelar), mereka terakhir kali membawa pulang trofi prestisius ini pada 2009 silam dan gagal mengulanginya di tiga edisi berikutnya. Sekadar trivia, FIFA Beach Soccer World Cup diadakan dua tahun sekali sejak tahun 2009.
Di partai puncak kali ini, Brasil sukses mengalahkan Tahiti 6-0, skor yang tergolong tidak besar di sepak bola pantai karena biasanya dalam satu pertandingan bisa mencapai 8-9 gol. Cuplikan gol-gol Brasil di final dapat kamu saksikan di video ini:
Tim sepak bola pantai Tahiti memang selalu mengalami kemajuan dari tahun ke tahun (tidak seperti tim sepak bolanya yang pernah digulung Spanyol 10-0). Sejak meraih peringkat keempat pada tahun 2013, Tahiti dua kali lolos ke final berturut-turut di tahun 2015 dan 2017. Namun sayang, negara yang terkenal dengan keindahan pantainya ini harus tunduk di hadapan Portugal dan Brasil.
Peraturan unik sepak bola pantai
Kejuaraan dunia sepak bola pantai telah dimulai pada 1995, namun FIFA baru mengadopsi sub-cabang sepak bola ini pada 2005 karena melihat tren positif yang dimilikinya. Meskipun sama-sama bernaung di bawah payung FIFA, sepak bola pantai memiliki kekhasan sendiri dan mempunyai peraturan yang bisa dibilang campuran antara sepak bola dan futsal ditambah dengan bumbu penyedap, aksi akrobatik khas sepak takraw.
Yang pertama tentu saja mengenai jumlah pemain. Jika kamu telah menyaksikan video partai final di atas, tampak sepak bola pantai sangat mirip dengan futsal. Dimainkan lima lawan lima, namun olahraga ini dimainkan dengan bertelanjang kaki dan tentu saja beralaskan pasir.
Sepak bola pantai dimainkan dalam tiga babak dengan durasi 12 menit tiap babak dengan waktu istirahat 3 menit. Permainan ini tidak mengenal hasil imbang, jadi apabila kedua tim sama kuat maka diberikan perpanjangan waktu 3 menit dan dilakukan adu penalti jika skor tidak berubah. Dengan tidak adanya hasil imbang di sepak bola pantai, perdebatan soal taktik “parkir bus” tidak akan Anda temui di cabor ini.
Mengenai pergantian pemain dan kartu yang melayang dari kantong wasit, sepak bola pantai memiliki ciri khasnya sendiri. Tidak ada batasan pergantian pemain dan ada tiga jenis kartu yang dimiliki wasit, yakni kuning, biru, dan merah. Kartu kuning diberikan untuk pemain yang melakukan pelanggaran keras. Kartu biru dilayangkan jika sang pemain melakukan pelanggaran dan telah menerima dua kartu kuning, ia dihukum berhenti bermain selama 2 menit, dan dapat bermain lagi.
Bagaimana dengan kartu merah? Sistemnya hampir sama dengan sepak bola, sang pemain wajib keluar meninggalkan lapangan, namun setelah dua menit ia boleh digantikan pemain lain.
Kekhasan lainnya adalah tendangan bebas harus diambil sendiri oleh pemain yang dilanggar, tidak boleh membentuk pagar penghalang saat tendangan bebas. Selain itu, sepak mula dilakukan oleh penjaga gawang dengan melempar bola, dan sama seperti futsal, olahraga ini tidak mengenal offside.
Sesuai dengan namanya, tim-tim unggulan sepak bola pantai banyak didominasi oleh negara-negara dengan obyek wisata pantai yang melimpah seperti Brasil, Portugal, Tahiti, dan Italia.
Bagaimana dengan Indonesia? Dengan minat bermain sepak bola yang tinggi plus ratusan pantai yang kita miliki seharusnya Indonesia dapat berbicara banyak di sub-cabang olahraga ini. Namun kenyataannya, pada Piala Asia Sepak Bola Pantai 2017 di Kuala Terengganu 4-11 Maret lalu Indonesia tidak ambil bagian. Padahal Afghanistan yang sama sekali tidak memiliki pantai ikut andil di turnamen itu.
Author: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)
Milanisti paruh waktu yang berharap Andriy Shevchenko kembali muda dan membawa AC Milan juara Liga Champions Eropa lagi.