Suara Pembaca

Dari Jauh untuk Persik Kediri

Tayangan sepak bola Eropa lebih dulu mengisi malam panjang warga desa ketimbang sepak bola Indonesia. Pada akhir tahun 1990-an sampai medio 2000-an awal, Liga Italia adalah primdona di kampung tempat saya lahir di Sulawesi Selatan.

Orang-orang membicarakan kedigdayaan AC Milan, amukan Serigala Ibu Kota, kehebatan Parma, hingga kebesaran Si Nyonya Tua. Suara tentang kompetisi sepak bola nasional masih terdengar sepi.

Di balik kesepian sepak bola nasional, PSM Makassar adalah suara utama di kampung saya. Tim paling termasyhur se-antero Pulau Sulawesi, dengan segudang sejarah akan prestasi dan barisan legenda hebat dari masa ke masa.

Sayangnya, informasi mengenai PSM terlampau lambat dan sedikit masuk ke desa. Alih-alih mengagumi, di masa Sekolah Dasar, saya sama sekali belum melirik sepak bola nasional, apalagi menggemari Pasukan Ramang.

Perhatian saya pada sepak bola nasional bermula kala melanjutkan Sekolah Menengah Pertama di ibu kota kabupaten tahun 2006. Di rumah keluarga tempat saya tinggal, sambungan televisi kabel berbayar menampung beragam siaran.

Baca juga: Kenikmatan Sepak Bola Pinggiran

Saat itu, hak siar Divisi Utama Liga Djarum musim 2006 dimiliki Lativi, cikal bakal TvOne sekarang. Kemudahan menemukan tontonan sepak bola nasional, disertai frekuensi berita olahraga yang bejibun dan kian diminati, membuat suara Liga Nasional mulai nyaring di telinga.

Pertandingan Liga Djarum Indonesia musim 2006 yang saya tonton kali pertama melibatkan Persik Kediri. Tapi, saya lupa siapa lawan Macan Putih saat itu. Sembilan puluh menit saya habiskan di hadapan televisi. Aksi kedua tim yang bertanding begitu memukau, terutama tim berkostum warna ungu dengan strip putih. Dari sinilah bermula perjumpaan saya dengan klub berjuluk Macan Putih, sampai mengagumi mereka hingga kini.

Saya bukan orang Jawa Timur, apa lagi Kediri. Menjejakkan kaki di Kota Kediri pun, belum pernah sama sekali terwujudkan. Jarak Makassar dengan Kediri terlampau jauh. Sebagai orang Sulawesi Selatan, PSM Makassar seharusnya lebih bisa menarik perhatian. Ditambah lagi, identitas primordial cukup bisa dijadikan alasan. Tapi, saya malah mengagumi sesuatu yang jauh dari jangkauan.

Perjumpaan saya dengan Persik Kediri seperti peristiwa simulakra. Menyitir pernyataan Zen RS dalam buku Simulakra Sepakbola yang kurang lebih begini, “Sepak bola lebih porno dari film porno sekalipun”.

Ada fantasi yang terasa nyata dan menggairahkan ketika menyaksikan kepiawaian Ronald Fagundez mengatur irama permainan, aksi naik turun Danilo Fernando, liukan maut Budi Sudarsono, dan ketajaman Cristian Gonzales di muka gawang lawan.

Baca juga: Tetap di Sini, Rumah Ini, Deltras Sidoarjo!

Hanya lewat siaran televisi, Persik Kediri hadir sebagai realitas baru. Menegasikan kenyataan riil, di mana fanatisme kedaerahan publik sepak bola Sulawesi Selatan ditumpahkan sepenuhnya pada Pasukan Ramang. Hal seperti ini pun kerap dirasakan sebagian penggemar sepak bola, ketika menggemari satu klub sepak bola di Eropa sana via siaran televisi atau layanan streaming. 

Cinta pertama saya pada sepak bola nasional dan Persik Kediri dibayar lunas lewat gelar juara di akhir musim 2006. Saya pun kian bersetia pada Macan Putih. Namun, kesetiaan itu diuji saat Persik Kediri mengalami masa suram.

Persik ditinggal manajer Iwan Budianto dan wali kota Kediri H. Ahmad Maschut yang dijuluki “Bapak Macan Putih” pada periode 2009. Ditambah, operasional klub tidak boleh lagi menggunakan dana APBD. Praktis, Persik Kediri mengalami periode buruk, sampai akhirnya menjadi pesakitan dan harus terdegradasi ke Divisi Satu Liga Indonesia.

Usai periode tidak mengenakkan itu, saya makin sulit mendapatkan informasi mengenai Persik Kediri. Apa lagi, sepak bola nasional mulai dilanda badai tak berkesudahan. Dualisme liga, friksi di tubuh federasi, hingga pembekuan sementara, membuat saya memutuskan mengambil sedikit jeda dari suara sepak bola nasional yang memekikkan telinga. Kecuali ketika timnas Indonesia dari berbagai kelompok umur bermain, saya masih saja ikut menonton. Meski tentu saja, biasanya berakhir dengan kecewa.

Baca juga: Aku dan Persik Kediri, Djayati!

Bertahun-tahun kemudian, saat sepak bola nasional menemukan kembali momentum kebangkitannya, kabar Persik Kediri kembali terdengar oleh saya. Pada 2017, Macan Putih berjuang di Divisi 3 Liga 1 Indonesia. Mereka mulai berbenah secara perlahan, demi harapan menyamai capaian di masa jayanya. Pada periode kali ini, usai menjuarai Liga 3 musim lalu, Persik Kediri berjuang di papan atas klasemen sementara Liga 2 wilayah timur. 

Tentu saja, bermain di Liga 1 adalah tujuan utama bagi manajemen dan impian segenap Persik Mania. Apalagi, Persik Kediri saat ini mengandalkan banyak talenta muda, hasil binaan dari akademi. Prospek cerah seakan menanti Macan Putih di masa yang akan datang.

Bagi saya pribadi yang dari jauh ini, semoga saja musim depan bisa menyaksikan Persik Kediri dari tribun selatan Stadion Mattoanging, menantang PSM Makassar dalam perebutan gelar juara. 

Sekali lagi, semoga!

 

*Penulis adalah blogger dan jurnalis paruh waktu. Penikmat sepak bola dari pinggiran. Dapat ditemui di akun Twitter @bedeweib.