Jersey merah kebesaran PSM Makassar dengan nama Syamsul Haeruddin sudah saya kenakan. Izin dari istri untuk berangkat ke stadion sudah saya peroleh. Setelah mencium kening anak saya yang masih berusia satu setengah tahun, saya naik ke ojek daring yang membawa saya ke Stadion Andi Mattalatta Mattoanging.
Saya sengaja memilih ojek daring sebagai tumpangan ke stadion untuk menyaksikan laga final Piala Indonesia di Mattoanging itu. Pertandingan yang sedianya akan dilaksanakan pada hari Minggu, 28 Juli 2019 tersebut, dijaga ketat oleh sekitar 4.000 personil kepolisian dan pasukan anti huru-hara.
Sangat sulit untuk menemukan tempat parkir kendaraan pribadi di sekitar stadion kebanggaan kota Makassar itu. Selain karena beberapa jalan ditutup, pengamanan dibuat super ketat karena sehari sebelumnya, Sabtu 27 Juli 2019, sebuah insiden tak menyenangkan terjadi.
Bus tim Persija terkena lemparan oleh seorang oknum tak bertanggung jawab. Insiden ini sempat menggoreskan keraguan terhadap kesiapan PSM bertindak sebagai tuan rumah di laga final kedua tersebut. Hampir seluruh kelanjutan ceritanya sudah kita ketahui bersama. Pertandingan pada hari Minggu sore yang cerah di akhir Juli itu akhirnya tidak jadi terlaksana.
Informasi tentang ditundanya pertandingan pada sore hari itu membuat saya patah hati. Bagaimana tidak? Saya sudah berdiri di depan salah satu pintu stadion ketika salah seorang panitia mengumumkan penundaan itu lewat pengeras suara.
Reaksi pertama saya hanyalah terdiam lalu menolehkan kepala ke kiri dan ke kanan untuk melihat reaksi para calon penonton di sekeliling saya. Hampir semua orang yang mendengar pengumuman itu tak memercayai pendengaran mereka.
Selama berhari-hari setelah laga final yang tertunda itu, media-media nasional, baik media daring maupun cetak, membahas berbagai kejanggalan prosedur penundaan final tersebut.
Keputusan PSSI yang menunda laga dengan alasan keamanan memang masuk akal, dan mengingatkan kita pada final Copa Libertadores yang mengalami penundaan pada akhir 2018 lalu. Laga antara dua klub raksasa Argentina, River Plate dan Boca Juniors, ditunda dan akhirnya dipindahkan ke Madrid, Spanyol, atas alasan keamanan.
Masalahnya, penundaan yang baru diumumkan satu setengah jam sebelum laga terlaksana mengundang banyak pertanyaan. Pihak kepolisian sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pengamanan sudah memastikan laga bisa tetap berjalan. Namun, PSSI bergeming dan tetap menunda pertandingan. Laga kedua pun diputuskan akan terlaksana pada 6 Agustus 2019, atau berjarak 10 hari dari jadwal sebelumnya.
Untungnya, Stadion Mattoanging tetap dipercaya menjadi tuan rumah laga kedua, sehingga PSM terhindar dari nasib yang menimpa River Plate di Copa Libertadores.
Baca juga: Mattoanging, Si Tembok Tua Penentu Juara
Meski lokasi final tidak berpindah, saya menjadi salah satu perwakilan ratusan, bahkan ribuan pendukung ‘Tim Juku Eja yang gagal menonton laga final pada hari itu, meskipun sudah siap di lokasi pertandingan.
Sebagai satu dari ribuan warga Sulawesi Selatan yang meninggalkan kampung halaman demi meniti profesi di kota lain, tentu saja kekecewaan melanda diri saya. Andai saja laga final kedua tetap terlaksana di Makassar pada 28 Juli, saya bisa menjadi saksi perjuangan PSM membalikkan ketertinggalan 0-1 dari laga final pertama di Jakarta.
Namun, keputusan PSSI yang menunda laga ini menjadi vonis bahwa saya tak akan bisa menyaksikan pertandingan penting tersebut. Mengingat tiket pesawat untuk kembali ke Jakarta telah dipesan jauh-jauh hari, ditambah beberapa urusan yang tak bisa ditinggalkan, saya tak mungkin kembali berada di Makassar pada 6 Agustus.
Para perantau yang senasib dengan saya jumlahnya tidak sedikit. Banyak yang datang dari seluruh penjuru Indonesia untuk berkumpul di ‘rumah’ mereka, Stadion Mattoanging, untuk melihat perjuangan PSM merebut trofi sepak bola nasional yang sudah hampir dua dekade dirindukan.
Jika kita telusuri satu per satu, kisah-kisah pengorbanan para fans untuk bisa menyaksikan laga penting ini menakjubkan. Tak sedikit yang menghabiskan uang belasan juta untuk membiayai tiket transportasi udara yang mahal demi berada di kampung halaman untuk menyaksikan perjuangan tim kesayangan. Belum lagi perjuangan membeli tiket di calo yang harganya sudah berlipat ganda.
Baca juga: PKT Bontang dan Segudang Pemain Bintang
Singkat cerita, saya memang tak hadir secara fisik di Mattoanging pada laga tunda yang akhirnya terlaksana pada 6 Agustus 2019. Namun, saya tak ingin ketinggalan momen-momen perjuangan Wiljan Pluim dan kawan-kawan membalikkan kekalahan 0-1 menjadi agregat 2-1 meskipun hanya lewat layar televisi.
Saya sedikit menitikkan air mata haru melihat keberhasilan para pemain kebanggaan warga Sulawesi Selatan akhirnya mengangkat trofi, yang mengakhiri paceklik gelar selama 19 tahun.
Melalui unggahan di media sosial, saya juga merasa bangga karena warga Makassar membuktikan bahwa kota kelahiran saya itu berada dalam kondisi aman, sama sekali tidak mencekam seperti cerminan ketakutan sepuluh hari sebelumnya yang membuat laga ditunda.
Meski kartu identitas seperti SIM dan KTP sudah terdaftar di provinsi lain dan garis nasib mempertemukan saya dengan jodoh warga pulau lain, jiwa saya masih dan akan selalu berada di Sulawesi Selatan. PSM Makassar menjadi simbol cinta dan kebanggaan yang terus hidup di kota kelahiran saya itu.
Akhir kata, saya meyakini bahwa memang sepak bola negeri kita ini masih memiliki banyak kekurangan. Namun, selalu ada kebanggaan jika tim lokal kesayangan kita, apalagi tim asal kota kelahiran kita, keluar sebagai juara. Rasa bangganya berlipat ganda dibandingkan gelar juara yang diraih oleh tim luar negeri idola kita.