Tidak rasionalnya hal-hal dalam dunia sepak bola terkadang bisa membuat kita sebagai manusia terheran-heran atau bahkan hingga membuat kita tidak bisa berkata apa-apa. Entah karena takjub, terharu, atau merasa aneh dengan hal-hal yang terjadi.
Sepak bola bukanlah persoalan matematis yang sangat kaku. Sepak bola itu mengalir tak bisa diprediksi, penuh drama, air mata sedih dan bahagia, dan kecintaan dalam sepak bola adalah salah satu elemen penting di dalamnya.
Membahas kecintaan dalam dunia sepak bola saya jadi ingin membahas tentang Liverpool FC. Tak bisa dimungkiri bahwa Liverpool FC adalah salah satu klub sepak bola yang sangat banyak penggemarnya di dunia. Selain menjadi klub legendaris di Inggris, Liverpool FC juga sarat akan sejarah dan kesuksesan. Namun sayangnya sejak memasuki era milenial bisa dibilang Liverpool seperti kehilangan kejayaannya di Liga Inggirs, jika boleh saya analogikan Liverpool FC seperti sedang menurunkan tuas gasnya.
29 tahun tanpa gelar Liga Primer Inggris adalah puasa gelar yang amat membuat dahaga para pendukung dan masyarakat wilayah Liverpool amat kering kerontang, Liverpool beberapa kali hampir berbuka puasa, namun sayangnya kesialan dan inkonsintensi selalu menghampiri datang lagi dan menjadi penyakit yang amat kronis. Mulai dari hasil imbang yang terlalu banyak, hingga insiden terpelestnya sang kapten dan legenda Liverpool FC yang meluluh lantahkan hati para The Kops.
Baca juga: Inikah Musimnya Liverpool?
Puasa gelar yang amat lama hingga berbagai macam ketidakberuntungan Liverpool FC dalam memenangi Liga Primer Inggris tidak membuat kecintaan dari orang-orang yang mencintai Liverpool FC luntur begitu saja, malah mereka semakin gila dalam mencintai.
Pendukung Pendukung Liverpool tetap memenuhi Anfield Stadium setiap pekan suci pertandingan Liverpool berlangsung. Selain itu hilang dan perginya pemain bintang Liverpool juga tidak membuat pendukungnya bergeser sedikitpun dari barisan. Sungguh kecintaan yang sangat tidak masuk di akal dan membuat kita terheran-heran.
Sepertinya apa yang dirasakan para pendukung Liverpool FC sama daengan apa yang dirasakan Steven Gerrard. Kecintaan Gerrard terhadap Liverpool juga bisa dibilang sangat tidak masuk akal. Gerrard lebih memilih bertahan di Liverpool daripada berpindah ke tim yang lebih bisa menjaminnya akan gaji yang lebih besar dan tentunya jaminan guyuran trofi yang pasti didapatkannya, tapi Gerrard lebih memilih bertahan di Liverpool klub kampung halaman dan kecintaannya.
Gerrard lebih memilih menjalani dan memperjuangan Liverpool yang dicintainya sekalipun dalam kondisi yang sedang tidak baik-baik saja. Baik dari pendukung dan pemain seperti Gerrard mencintai Liverpool FC apapun kondisinya adalah bentuk cinta yang tak bersyarat.
Baca juga: Steven Gerrard, Dilema Sebuah Loyalitas
Kini, Liverpool FC menjalani musim 2019 dengan optimisme dan berada di puncak bersama Manchester City berlomba, saling tikung untuk mendapatkan mahkota Liga Primer Inggris. Bagi Man City gelar Liga Primer Inggris mungkin adalah sebuah gelar yang mereka butuhkan untuk menunjukan merekalah penguasa Inggris, namun tidak bagi pendukung Liverpool. Gelar Liga Primer Inggris adalah penebusan kesedihan dan kekecewaan dari penggemar Liverpool selama 29 tahun lamanya.
Bagaimanapun juga semua hanya soal takdir, momentum dan restu Tuhan. Jika bisa menjuarainya tahun ini tentunya amat menjadi perayaan yang amat besar dan mungkin bertahan hingga berhari-hari, namun jika gagal mungkin akan menjadi hari berkabung dan penuh kesedihan lagi bagi para penggemar Liverpool.
Jikalau Liverpool gagal (lagi) musim ini, saya bisa pastikan tidak akan melunturkan kecintaan para pendukungnya, karena bagaimanapun juga Liverpool adalah bukti cinta yang tak bersyarat.