Piala Dunia 2018

Piala Dunia 2018 dan Wajah Dunia yang Semakin Kosmopolitan

Gagasan kosmopolitanisme, menitikberatkan bahwa semua manusia, terlepas dari afiliasi politik, ras, bangsa atau kebudayaan, adalah warga negara dalam satu komunitas dunia. Meski keinginan dunia bersatu sudah ada sejak tahun 1945 ketika Persatuan Bangsa-Bangsa lahir, gagasan kosmopolitanisme masih sulit diwacanakan secara nyata. Ide tersebut baru termanifestasikan pada taraf regional, contohnya Uni Eropa, itu pun tidak benar-benar utuh “satu negara untuk satu benua”.

Ketika dalam tataran politik ketatanegaraan masih terjadi pro-kontra, dalam sepak bola, ide kosmopolitan justru terlihat lebih terlihat mulus. FIFA sebagai badan otoritas sepak bola tertinggi dunia lebih berhasil menyatukan “bangsa-bangsa” daripada PBB. Ketika PBB hanya beranggotakan 193, FIFA punya 211 anggota (federasi sepak bola negara) pada hari ini.

Semangat kehidupan inklusif antar manusia, bangsa dan negara yang digali dari gagasan kosmopolitanisme pun semakin bisa kita rasakan di Piala Dunia 2018 kali ini. Latar belakang beberapa pemain di timnas-timnas yang akan beradu skill di Rusia nanti bisa menjadi gambaran, betapa sepak bola memang menjadi wajah dunia yang kosmopolitan.

 

skuat Piala Dunia 2018 termahal

Prancis: Negara untuk negara lain

Cerita bahwa Prancis dikenal sebagai bangsa dan negara yang menerima keberadaan imigran memang sudah menjadi rahasia umum. Prestasi puncak timnas sepak bola Prancis pada 1998 dan 2000, adalah buah dari hal itu. Keturunan imigran dari negara-negara bekas koloni Prancis berkontribusi besar pada sepak bola mereka.

Tentu Prancis harus berterima kasih pada keturunan imigran dari berbagai negara ketika berbicara sepak bola. Tetapi selain hal itu, di Piala Dunia 2018 kali ini juga akan terjadi sebaliknya. Beberapa negara kontestan patut berterima kasih atas kontribusi sepak bola Prancis, yang secara tidak langsung berpengaruh pada timnas mereka.

Total ada 49 pesepak bola kelahiran Prancis yang ambil bagian di Piala Dunia 2018, naik tiga angka sejak Piala Dunia 2014. Di masing-masing skuat negara bekas pendudukan Prancis seperti Tunisia, Maroko dan Senegal, sepertiga jumlahnya merupakan pemain kelahiran Prancis. Beberapa ada yang sekadar ditempa pada usia muda, beberapa ada yang benar-benar matang berkat sepak bola Prancis.

Benar bahwa kualitas asli dari salah dua bek terbaik Serie A, Medhi Benatia (Maroko) dan Kalidou Koulibaly (Senegal) terbentuk ketika berada di Italia. Tetapi tak bisa dipungkiri bahwa Benatia dan Koulibaly tumbuh sejak usia muda dari sepak bola Prancis. Sedangkan contoh pemain yang bertransformasi sebagai pemain “jadi” akibat sepak bola Prancis adalah playmaker Younes Belhanda (Maroko), bersama Montpellier.

Hal lebih ekstrem bahkan terjadi pada Aljazair di Piala Dunia 2014 lalu. Enam belas dari dua puluh tiga di skuat mereka ketika berada di Brasil empat tahun lalu, adalah kelahiran pemain Prancis. Jika saja tim berjuluk El Kadra itu masuk Piala Dunia tahun ini, barangkali jumlah pemain kelahiran Prancis akan semakin membengkak karena French-born players seperti Riyad Mahrez, Yacine Brahimi, atau Nabil Bentaleb masih menjadi andalan.

Prancis bisa disebut sebagai negara pengembang sepak bola untuk negara lain jika melihat banyaknya pesepak bola kelahiran Prancis yang kini memperkuat timnas negara lain. Namun, hal itu tak jadi masalah. Lagipula, Prancis juga memetik manfaat berkat kualitas anak-anak dan keturunan dari imigran yang bermain untuk Les Blues.

Terbantu karena diaspora

Diaspora atau penyebaran satu manusia bangsa yang hidup di wilayah bangsa lain merupakan fenomena tak terhindarkan pada dunia yang semakin kosmopolitan. Dalam hal sepak bola, Maroko mampu memetik buah manisnya. Tujuh belas dari dua puluh tiga pemain dari skuat Singa Atlas yang berlaga di Piala Dunia 2018 kali ini, lahir di luar wilayah mereka. Mayoritas mereka lahir di Prancis dan Belanda.

Ada beberapa cerita unik tentang diaspora keturunan Maroko ketika memutuskan untuk membela tanah leluhurnya. Hakim Ziyech, yang kini menjadi pemain andalan Ajax Amsterdam misalnya. Pemain 25 tahun kelahiran Dronten, Belanda itu, dahulu pernah memperkuat timnas junior Oranje mulai dari jenjang U-19 hinga U-21. Tetapi, secara mengejutkan dia beralih ke timnas senior Maroko dan menjalani debut pada tahun 2015 lalu.

Kepututsan Ziyech pernah ditentang oleh legenda hidup sepak bola Belanda, Marco van Basten, yang kebetulan pernah melatih Ziyech. Menurut mantan penyerang AC Milan tersebut, Ziyech telah menghilangkan kesempatan bermain di Piala Dunia karena memilih Maroko daripada Belanda. Tetapi. ramalan sang meneer justru meleset ketika Ziyech akan beraksi nanti di Rusia, sedangkan timnas Belanda hanya akan menikmati sebagai penonton.

Hal yang hampir senada terjadi pada Sofyan Amrabat. Legenda sepak bola Belanda lain, Ruud Gullit, pernah membujuknya agar bermain untuk timnas Belanda. Namun, gelandang berusia 21 tahun milik Feyenoord itu menolak. Pengaruh keluarganya yang asal Maroko membuat Amrabat menutup diri dari timnas Belanda, meski dia dilahirkan dan tumbuh di Negeri Kincir Angin tersebut. Tetapi, Belanda tak perlu khawatir karena mereka  juga memperoleh untung dari diaspora bangsa dan negara lain yang ada di sana. Seperti, Giovanni Van Bronckhorst, keturunan Indonesia yang menjadi legenda sepak bola Belanda.

Selain Maroko, ada negara lain yang terbantu berkat fenomena tersebarnya diaspora bangsa antar-negara, misalnya Argentina. Memang beberapa pemain timnas Argentina kini ada yang sudah dikenal dunia sejak masih bermain di kompetisi lokal dan tak banyak pula pemain kelahiran non-Argentina di tubuh skuat asuhan Jorge Sampaoli itu. Tetapi, berkat diaspora pula Argentina memetik keuntungan.

Walau secara resmi hispaniola atau berbahasa ibu Spanyol, tetapi banyak warga Argentina yang merupakan diaspora keturunan Italia. Maka tak heran, banyak pesepak bola dari sana yang bisa memperoleh paspor Italia karena memang punya garis keturunan dari orang di Negeri Pizza tersebut.

Hal itu mereka manfaatkan untuk mempermulus urusan birokrasi dan administratif ketika hendak atau sedang berkarier di Eropa. Pemain seperti Angel Di Maria, Javier Mascherano, Giovanni Lo Celso, Paulo Dybala, atau Federico Fazio mendapat manfaat nyata karena punya darah keturunan Italia.

Sebaliknya, timnas Italia juga bisa tertimpa rezeki akibat diaspora mereka berada di Argentina. Seperti contohnya Mauro Camoranesi, pemain asal Argentina tetapi dinaturalisasi oleh otoritas sepak bola Italia, demi memperkuat Gli Azzurri. Camoranesi bisa beralih timnas karena memang punya garis keturunan Italia dari kakeknya.

***

Kita bisa melihat orang-orang keturunan Arab bermain untuk kesebelasan Eropa seperti Prancis, orang berkulit hitam membela panji-panji timnas The Three Lions, peranakan Turki berpeluh keringat demi kejayaan Jerman atau timnas multi-ras dan etnik seperti Swiss. Mari kita syukuri dan rayakan, bahwa Piala Dunia 2018 dan sepak bola bisa sedikit menggambarkan tentang wajah dunia yang semakin kosmopolitan hari ini.