Sejak tiba di Liga Primer Inggris pada tahun 2014, karier Sadio Mane terus melesat. Dari pemain yang sebelumnya tidak dikenal, Mane kini menjadi salah satu penyerang top di kompetisi tertinggi sepak bola Inggris tersebut. Bersama pemain asal Afrika lain, Mohamed Salah, Mane membuat klub asal Merseyside, Liverpool, jadi lebih bertaji dan kembali disegani di Eropa. Sama halnya seperti Salah, Mane juga berbeda dengan kebanyakan bintang Liga Primer Inggris yang lain.
Mungkin karena ketika pertama kali mendarat di Inggris, ia tiba di Southampton. Kota pelabuhan dengan iklim yang lebih hangat, dan kultur imigran juga begitu kental di sana. Mane tidak mengalami gegar budaya atau kekagetan kehidupan mewah karena ia tidak mendarat di kota besar seperti London, misalnya. Mane tetap bisa membumi dan menjadi pribadi yang sama seperti sebelumnya.
Kepindahannya ke Liverpool pun banyak membantunya. Liverpool yang juga merupakan kota pelabuhan, tidak memiliki banyak perbedaan yang benar-benar mencolok secara kultur dengan Southampton. Orang-orang di sana juga ramah dan menyenangkan. Maka ketika mendarat di Liverpool pada tahun 2016, ia tidak berlaku aneh-aneh dan tetap fokus kepada sepak bola. Apalagi kini sudah ada teman yang memiliki banyak latar belakang yang hampir serupa dengan dirinya, yaitu Mohamed Salah.
Anak imam masjid di Senegal yang saleh
Secara garis besar, Mane berbeda dengan kebanyakan para bintang lain di Liga Primer Inggris. Lebih hebatnya lagi, Mane juga tetap memegang teguh keyakinannya. Seperti yang diketahui bahwa Mane beragama Islam. Di saat banyak pemain beragama Islam berusaha “menyesuaikan diri” dengan mengikuti budaya Eropa, Mane memilih tetap berpegang kepada keyakinannya.
Dalam sebuah wawancara, Mane menyebut bahwa dirinya tidak akan pernah menyentuh alkohol yang memang diharamkan oleh agama Islam. Ia juga mengaku tetap melakukan salat lima waktu. Baginya, Islam merupakan sesuatu yang penting. Dalam kesempatan yang sama, Mane juga menyebut bahwa perbedaan keyakinan tak akan menjadi hal yang mempersulit kariernya.
“Saya tidak akan menyentuh alkohol. Agama merupakan sesuatu yang penting bagi saya. Saya sangat menghormati aturan-aturan Islam, dan saya juga selalu salat lima waktu.”
“Di Senegal sana, 90 persen beragama Islam, dan mungkin 10 persen sisanya beragama Kristen. Tapi kami bisa hidup berdampingan dengan harmonis. Saya punya sahabat bernama Luke yang beragama Kristen dan kami sering mengunjungi rumah satu sama lain. Tidak ada pertentangan antara agama saya dan fakta bahwa saya kini bermain sepak bola,” ujar Mane.
Kultur Islam begitu kuat dalam diri Mane. Maklum, di kampung halamannya di Senegal sana, Mane merupakan putra seorang imam masjid di Bambali, sebuah kota kecil di Senegal. Cerita uniknya, ternyata sang ayah tidak pernah bermasalah dengan pilihan karier Mane sebagai pesepak bola. Ia hanya mempermasalahkan apabila Mane mengikuti gaya hidup mewah dan foya-foya ala bintang sepak bola. Ayah Mane sempat menentang keras ketika sang putra memilih untuk mengecat rambutnya.
Meskipun demikian, pada akhirnya sang ayah jelas berbangga. Meskipun sudah menjadi pesepak bola terkenal dan sukses di Eropa, putranya tidak melupakan kampung halamannya. Mane memberikan dana besar untuk melakukan perbaikan serta pembangunan bagi masjid di mana bapaknya itu menjadi imam. Mane juga turut menyumbang dana dengan nominal besar untuk pembangunan infrastruktur di kota kelahirannya, Bambali.
Mane diceritakan begitu mencintai sepak bola. Fokus dan ambisinya adalah bermain sepak bola. Bahkan kabarnya, Mane begitu sulit untuk disuruh mandi karena asyik bermain bola. Yang pasti ia bukan saja membuat ayahnya dan penduduk Bambali dan Senegal saja yang berbangga, tetapi juga seluruh Afrika dan komunitas Muslim secara global. Karena keberadaan Mane dengan seluruh kemampuan hebat dan kepribadiannya, mengikis citra buruk dan ketakutan besar kepada imigran Afrika dan umat Islam.
Selamat ulang tahun, Sadio Mane!