Beberapa waktu lalu, tepatnya pada 23 Maret 2017, media Jerman Sudwestrundfunk (SWR) mengundang seorang narasumber untuk mengisi segmen olahraga mereka. Narasumber tersebut adalah seorang pelatih senior kelahiran Kroasia yang sudah lama melatih di Asia. SWR tertarik mewawancarai sang narasumber tentang pengalamannya melatih tim nasional negara yang satu dekade terakhir dilanda perang, yaitu Afghanistan.
Pelatih tersebut tak asing di telinga pencinta bola Indonesia, terutama pendukung PSM Makassar. Dia adalah Petar Segrt, pelatih kelahiran 8 Mei 1966 yang pernah melatih tim kesayangan masyarakat Makassar itu pada tahun 2011 hingga 2013.
Segrt sekarang sedang berada di Jerman, menikmati hari-hari santainya sekaligus mempertimbangkan tawaran demi tawaran dari berbagai pihak yang ingin menggunakan jasanya. Pengalaman melatih pria Kroasia yang juga berkebangsaan Jerman ini memang tergolong luas. Selama 24 tahun lebih, ia sudah melanglang buana dari Jerman Georgia, Indonesia, Bosnia, hingga Afghanistan.
Dari hasil wawancara tersebut, Segrt mengungkapkan pengalaman menyenangkannya di Afghanistan. Ia sempat memperoleh julukan ‘The Hope Coach’, berkat keseriusannya mengembangkan pemain muda di bumi Afghanistan. Meski demikian, sebuah insiden pada bulan Desember 2015 sempat membuatnya syok.
Sebuah bom meledak di depan hotel tempat para pemain Afghanistan menginap di Kabul, ibu kota Afghanistan. Untunglah Segrt dan segenap pemain dan staf Afghanistan tidak terluka sama sekali.
Sayang, kariernya di tim nasional Afghanistan hanya bertahan dua tahun. Akibat perbedaan pendapat dengan presiden Federasi Sepak bola Afghanistan, Ali Reza Aghazada, Segrt memutuskan untuk mengundurkan diri. Posisinya di tim nasional digantikan oleh Otto Pfister, mantan pelatih Kamerun dan Arab Saudi.
Selain menceritakan pengalamannya di Afghanistan, Segrt juga tak lupa menyelipkan cerita seputar pengalamannya melatih di Georgia dan Indonesia. Setelah menghabiskan masa mudanya sebagai pemain di Jerman, Segrt terjun sebagai pelatih klub di berbagai negara sebelum ditunjuk menjadi pelatih tim usia muda Georgia.
Di negara pecahan Uni Soviet tersebut, Petar Segrt sempat mengukir cerita yang membuat seluruh Eropa terkesan terhadap sikapnya yang heroik. Pada tahun 2008, Georgia dilanda perang dengan Rusia. Kondisi keamanan yang mencekam membuat ribuan penduduk mengungsi ke luar negeri. Namun, Petar dengan gagah berani, berpidato di depan ribuan massa di Rustaveli Square di kota Tbilisi, ibu kota negara tersebut. Isi pidatonya kurang lebih ia tidak akan pernah meninggalkan anak asuhnya dalam kondisi seburuk apapun.
Melihat kisah dan pengalaman hidup Petar Segrt yang panjang, apa yang dilakukan figur sepak bola sebesar pelatih berlisensi UEFA Pro ini di Indonesia? Padahal dengan relasi berupa tokoh-tokoh sepak bola dunia dari pelatih Jerman Joachim Low sampai Dejan Savicevic, dia bisa saja melatih klub-klub papan atas di liga-liga terbaik Eropa.
Kariernya di Indonesia dimulai ketika ia membesut Bali De Vata di setengah musim kompetisi Indonesian Premier League (IPL). Setelah pindah ke Makassar, Petar Segrt juga berkontribusi besar terhadap pengembangan karier anak-anak muda binaannya di Makassar.
Figur coach Petar sangat dihormati di Makassar, terutama atas jasanya menemukan bakat Rasyid Bakri. Seperti kita ketahui bersama, Rasyid sekarang menjadi playmaker utama PSM.
Ada cerita tak terlupakan selama pelatih berkumis ini tinggal di Makassar. Meski bukan warga negara Indonesia, ia sudah cukup banyak berkorban untuk kepentingan tim. Ketika beberapa kali pembayaran gaji pemain tersendat, pelatih asal Kroasia ini tidak sungkan merogoh kocek pribadinya untuk menalangi pembayaran yang sudah menjadi hak pemain tersebut.
Petar Sgert juga kadang tak sungkan mengemban sendiri tanggung jawab dalam memperhatikan kesembuhan seorang pemain andalannya yang terkena cedera. Penyerang PSM yang juga merupakan mantan pemain tim nasional, M. Rahmat, pernah terkena cedera lutut yang cukup parah. Namun karena saat itu kota Makassar dilanda hujan badai dan angin ribut, pemain tersebut tidak dapat memeriksakan diri ke rumah sakit. Petar pun mengambil inisiatif untuk menjemput Rahmat ke rumahnya yang berjarak hampir seratus kilometer dari pusat kota Makassar untuk dibawa ke rumah sakit, sekaligus menanggung biaya pengobatan akibat dana dari manajemen yang kala itu terhambat.
Semua pengorbanannya sebagai pelatih di atas membuat Petar perlahan menjelma menjadi sosok yang dicintai suporter PSM. Ketika ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan pelatih kepala PSM, pertandingan perpisahannya di Stadion Andi Mattalatta diliputi suasana haru.
Sebagai tribute untuknya, media officer PSM, Andi Widya Syadzwina, menulis buku tentang kisah hidup Segrt yang akhirnya terbit dengan judul “Petar Segrt: Tumbuh di Daerah Konflik Hingga Kecintaannya Terhadap PSM Makassar.”
Selepas meledaknya bom di Afghanistan yang diceritakan di atas, Segrt sempat memperoleh telepon dari kawan-kawannya di Jerman, antara lain pelatih tim nasional Jerman, Joachim Loew, dan legenda Jerman, Oliver Bierhoff. Mereka sempat menganjurkan agar Segrt pulang saja ke Jerman untuk melatih klub-klub lokal daripada mengambil risiko dengan nyawanya.
Namun, pada saat itu ia menjawab, “Saya percaya pada dasarnya semua manusia memiliki kebaikan di dalam hati mereka. Itulah sebabnya saya senang melatih sepak bola di negara-negara yang jauh.”
Ah, di mana pun Anda nantinya akan melatih, semoga dirimu sehat selalu, Coach!
Author: Mahir Pradana (@maheeeR)
Mahir Pradana adalah pencinta sepak bola yang sedang bermukim di Spanyol. Penulis buku ‘Home & Away’.